UNGKAPAN VERBAL PROSES PEMBUATAN
TAHU DI DESA KALISARI KECAMATAN CILONGOK
KABUPATEN BANYUMAS: KAJIAN ETNOLINGUISTIK
Dosen
pengampu Ermi Dyah Kurnia, S.S., M.Hum.
Oleh
Muji
Lestari
2601412050
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA JAWA
BAHASA DAN
SASTRA JAWA
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2015
UNGKAPAN
VERBAL PROSES PEMBUATAN TAHU DI DESA KALISARI
KECAMATAN
CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS:
KAJIAN
ETNOLINGUISTIK
Muji
Lestari
2601412050
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
BAHASA DAN SASTRA JAWA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
A.
LATAR
BELAKANG
Kajian
linguistik terhadap bahasa yang digunakan manusia tampak tidak ada henti karena
bahasa terus berkembang sesuai dengan perkembangan manusia beserta daya
pikirnya. Objek kajian linguistik pun semakin melibatkan berbagai aspek diluar
bahasa. Aspek yang dimaksud adalah kosa kata. Struktur, satuan lingual, makna,
maksud, asal usulnya, pelestarian dan penggunaanya.
Penggunaan
bahasa oleh masyarakat penuturnya bermakna dan mengacu pada suatu peristiwa,
tindakan, benda dan keadaan. Peristiwa yang terjadi direalisasikan dengan bahasa
dan mencerminkan pikiran dengan bahasa karena masyarakat akan selalu
menggunakan bahasa dalam menyampaikan pikiran dan gagasan yang mengiringi
tindakannya. Demikian halnya dalam pengungkapan peristiwa budaya dan semua
aspek kehidupan, penutur bahasa mendayagunakan potensi bahasa.
Menurut
Koentjaraningrat menggunakan sesuatu yang disebutnya
“kerangka kebudayaan”,
yang memiliki dua aspek tolak yaitu (1) wujud kebudayaan, dan (2) isi
kebudayaan. Wujud
kebudayaan dapat berupa gagasan, prilaku, dan fisik atau benda. Sementara isi
kebudayaan terdiri
dari unsur yang bersifat universal, artinya unsur tersebut terdapat dalam setiap
masyarakat manusia
yang ada di dunia. Unsur-unsur tersebut oleh Koentjraningrat (1990:203‒204)
dibagi
menjadi tujuh unsur, yaitu: (1)
bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem pencaharian hidup atau
ekonomi, (4) organisasi sosial, (5)
sistem
pengetahuan, (6) sistem religi, dan
(7) kesenian.
Etnolinguistik merupakan ilmu menelaah bahasa bukan hanya dari
struktursemata, tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi
sosial budaya. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etnolinguistik
merupakan cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan
masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Menurut
pendapat Wilhelm con Humboldt, bahwa perbedaan persepsi kognitif
dan perbedaan pandangan dunia dari suatu masyarakat
dapat dilihat dari bahasanya. Kajian etnolinguistik tidak terbatas pada bahasa suku bangsa yang tidak mempunyai tulisan tetapi yang sudah mempunyai tulisan pun dapat dikaji. Spradley (dalam Elizabeth, 1997: 140) berpendapat bahwa setiap bahasa mempunyai banyak istilah penduduk asli yang digunakan oleh masyarakat untuk merujuk hal-hal yang mereka alami dan nama benda yang ada di sekitar mereka.
Duranti
(1997: 84) menjelaskan bahwa karena studi etnolinguistik mengkaji bentuk
linguistik yang mengungkapkan unsur kehidupan sosial, maka peneliti dalam
bidang ini harus memiliki cara untuk menghubungkan bentuk bahasa dengan
kebiasaan (perbuatan) budaya. Misalnya, orang Jawa mengenal ungkapan verbal
pengrajin tahu/pedagang terkait dengan mata pencaharian utama masyarakat
pedesaan seperti, ngekum, nyelip,
nggodog, nyaring, nglaroni, nyetak, dipres, mbuntel, nguniri, ngentasi, natani,
ceting, dan nyandhat. Pengrajin tahu
juga mempunyai ungkapan untuk menyebutkan alat pembuatan tahu seperti disel, pawon, suluh, widig, sandat, tenong,
tampah, jagrag, sorok, saringan, jembangan, dan kandi. Satuan lingual kata tersebut dapat dimaknai
secara jelas rujukannya karena pengguna menyampaikan dengan nilai rasa yang
dalam sesuai dengan kebiasaan mereka dan berdasarkan konteks sosial dan budaya.
Ungkapan
senada oleh Hymes (dalam Oktavianus, 2006: 116) dinyatakan bahwa melalui
etnolinguistik dapat ditelusuri bagaimana bentuk linguistik yang dipengaruhi
oleh aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis; apa hakikat sebenarnya dari
bentuk dan makna serta bagaimana hubungan keduanya. Bentuk linguitik atau
ungkapan yang terdiri atas satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat,
paragraf, dan teks dimaknai berdasarkan aspek sosial budaya, mental, dan psikologis
antara penutur dan petutur. Satuan lingual meliputi klausa, kalimat, paragraf,
monolog, minimum dialog, dan conversation (Sudaryanto, 1983: 179). Namun
demikian, dalam penelitian ini, satuan lingual yang dibahas hanya kata, frasa,
dan maksud kedua satuan lingual berdasarkan konteks sosial dan budayanya.
Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan
atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa (KBBI, 2001: 513). Secara tradisional kata dikelompokkan menjadi 10 kelas, yaitu nomina, verba, adjektiva, kata ganti pronomina, numeralia, adverbia, konjungtor, preposisi, kata sandang (artikula), dan kata seru (interjeksi). Di samping itu, terdapat kata ulang (reduplikasi), yaitu kata yang diucapkan atau dituliskan secara berulang dengan makna dan jenis yang berbeda-beda (Mangunsuwito, 2002: 315). Selain beberapa jenis tersebut, dalam bahasa terdapat satuan lingual kata majemuk, yakni gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan dengan suatu makna yang baru dan makna barunya itu tidak dapat ditelusuri dari unsur-unsur pembentuknya.
Verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai produksi
dalam beberapa bahasa lain. Verba mempunyai ciri morfologis seperti kata, aspek
dan pesona atau jumlah. Sebagian verba memiliki unsur semantis perbuatan,
keadaan dan proses, kelas kata dalam bahasa Indonesia ditandai dengan
kemungkinan untuk diawali dengan kata dan tidak mungkin diawali dengan kata
seperti sangat, lebih, dan sebagainya, menurut Harimurti Kridalaksana (dalam
Handout Morfologi Lanjut Bahasa Jawa). Verba merupakan unsur terpenting dalam
kalimat karena dalam banyak hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur
lain yang boleh ada atau harus ada dalam kalimat itu. Verba dapat ditentukan
berdasarkan tiga kriteria. Ketiga kriteria itu adalah ciri morfologis, perilaku
sintaksis dan perilaku semantik.
Proses
pembuatan tahu ternyata juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang terkait dengan
peristiwa budaya yaitu bisa didengar dari pengucapan masyarakatnya. Tulisan ini
membahas bentuk satuan lingual ungkapan verbal para pengrajin tahu berserta
maksudnya. Satuan lingual yang dimaksud adalah satuan lingual ungkapan dalam
proses pembuatan tahu yang berada di desa Kalisari untuk untuk 1 kali produksi
dan dilakukan dalam waktu 1 hari dan ungkapan apa saja yang disebutkan oleh
masyarakat Desa Kalisari dalam mengungkapkan alat yang digunakan untuk membuat
tahu tersebut.
Desa
kalisari adalah salah satu desa yang masyarakatnya bekerja pada sektor industri
kerajinan kecil yang berupa pembuatan tahu, mereka memproduksi dan menjualnya
sendiri.
Sejauh
pengetahuan peneliti, ungkapan pengrajin tahu atau dalam pembuatan tahu itu mempunyai hal yang menarik dan belum ada
yang membahasnya, oleh karena itu penulis ingin mendeskripsikan ungkapan verbal
dalam proses pembuatan tahu karena setiap ungkapan itu mempunyai arti atau
makna budaya, penulis dapat
menyimpulkan rumusan masalahnya yaitu bagaimana ungkapan verbal proses
pembuatan tahu di Desa Kalisari Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dan
mendeskripsikan ungkapan yang digunakan berdasarkan konteks sosial di daerah
tersebut.
B.
TUJUAN
PENELITIAN
Sesuai
dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mendeskripsikan
ungkapan verbal proses pembuatan tahu di Desa Kalisari Kecamatan Cilongok
Kabupaten Banyumas.
2. Mendeskripsikan
ungkapan yang diperoleh berdasarkan konteks sosial di Desa Kalisari Kecamatan
Cilongok Kabupaten Banyumas.
C.
METODE
PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif dan metode etnografi yang berupa penyajian hasil ungkapan verbal
proses pembuatan tahu. Semakin disadari bahwa bahasa merupakan manifestasi
terpenting dari kehidupan mental penuturnya. Bahasa juga merupakan piranti
untuk mengklasifikasikan pengalaman. Oleh karena itu, keragaman bahasa yang ada
dapat dipahami jika peneliti dapat mengklasifikasikan pengalaman manusia secara
berbeda. Seringkali hal ini kurang disadari oleh para penutur bahasa. Dengan
demikian, seperti diungkapkan Palmer (1999), pengklasifikasian pengalaman
manusia dapat tercermin melalui sistem tata bahasanya. Pengklasfikasian pun
mempunyai keterkaitan pula dengan masalah psikologis penuturnya. Kalangan sarjana
seperti Sapir dan Whorf telah mengkaji hubungan bahasa dan budaya dan telah
menyatakan bahwa terdapat hu-bungan antara bahasa dengan pikiran, yang telah
melahirkan konsep yang terkenal dengan relativitas bahasa (linguistic
relativity). Kerangka teoretis yang terkait dengannya terkenal sebagai
Hipotesis Sapir-Whorf (Sapir-Whorf Hypothesis). Pada prinsipnya
hipotesis itu menjelaskan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat bahasa
ditentukan oleh struktur bahasanya. Pada mulanya, perhatian itu tertuju kepada
keterkaitan antara bahasa dan cara pandang dunia dari penuturnya dan yang
kebanyakan terlihat dalam tata bahasa (gramatikanya). Selain itu, dapat
pula diamati melalui pemakaian kosa katanya. Gagasan Sapir yang terkenal yaitu
tentang analisis kosakata suatu bahasa, dapat menguak lingkungan fisik
dan sosial tempat penutur suatu bahasa berdiam serta hubungan antara kosakata
dan nilai budaya yang bersifat multidireksional. Sesuai dengan pandangan tersebut,
cara pandang suatu etnik terhadap dunia di sekitarnya dapat diamati melalui
bahasanya. Bahasa yang dimaksud di sini berkaitan dengan tradisi lisan, seperti
tampak dalam wujud aneka ragam sastra lisan, baik yan berbentuk prosa liris,
seperti yang tercermin dalam cerita mitologi, maupun yang berwujud peribahasa,
ungkapan, atau berbagai ekspresi lain.
Data
yang dikumpulkan untuk penelitian ini berupa mendeskripsikan atau menggambarkan
bagaimana ungkapan verbal yang digunakan masyarakat Desa Kalisari dalam proses
pembuatan tahu untuk satu kali produksi. Peneliti akan mendeskripsikan dan
menjelaskan secara rinci ungkapan-ungkapan tersebut beserta maknanya.
Lokasi
penelitian adalah Desa Kalisari kecamatan Cilongok kabupaten Banyumas. Desa
Kalisari atas 3 grumbul, yaitu Kalisari lor, Dukuh tengah dan Kalikidang.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa baik ngoko, krama madya, maupun
krama inggil. Informan yang menjadi
responden untuk penelitian ini adalah para pedagang tahu yang berada di Desa
Kalisari. Sumber data dilakukan dengan cara wawancara yaitu percakapan dengan
pedagang tahu. Data wawancara dengan para pedagang dicatat sebagai catatan
lapangan. Ada dua pengumpulan data yaitu wawancara dan simak catat. Wawancara
dilakukan dengan beberapa pedagang dan data yang dikumpulkan dengan teknik
simak catat. Wawancara yang dilakukan peneliti merupakan interview yang
bersifat lentur, dan terbuka. Pertanyaan untuk wawancara sudah disiapkan
sebelumnya namun karena muncul ide di lapangan terkait dengan permasalahan
penelitian maka pertanyaan dikembangkan tetapi tidak terlalu keluar dari
permasalahan yang sudah ditetapkan. Dalam wawancara ditanyakan ungkapan-ungkapan
yang digunakan pedagang selama proses kegiatan pembuatan tahu mulai dari
perendaman kedelai sampai penjualan. Di samping wawancara digunakan metode
observasi terhadap penggunaan ungkapan verbal yang digunakan dalam proses
pembuatan tahu. Peneliti mencatat berbagai ungkapan verbal terkait dengan
pembuatan tahu sampai penjualannya. Observasi ini dilakukan di tempat produksi
tahu.
D.
ANALISIS
DATA PENELITIAN
Kalisari
adalah desa di kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia, kode pos
35162, luas tanah sekitar 500 hektar, jumlah penduduk 1932547ribu, kepadatan 56985jiwa/km.
Desa kalisari terletak di sebelah utara Desa karanglo, di sebelah selatan Desa
Karangtengah, sebelah timur Desa Panembangan dan sebelah barat Desa Ciroyom. Desa
Kalisari ini pada sektor ekonomi yang paling dominan adalah pada sektor
perdagangan, seperti terlihat pada tabel berikut.
Perekonomian
Desa Kalisari
No
|
Jenis Usaha
|
Jumlah Usaha
|
Jumlah Tenaga Kerja
|
Keterangan
|
1.
|
Pertanian
|
134 tempat
|
198 orang
|
Padi
|
2.
|
Peternakan
|
12 tempat
|
37 orang
|
Ayam, sapi
|
3.
|
Perikanan
|
100 kolam
|
86 orang
|
-
|
4.
|
Perdagangan
|
349 tempat
|
708 orang
|
UKM tahu
|
5.
|
Industri pangan
|
9 tempat
|
24 orang
|
Konveksi
|
6.
|
Industri pakaian
|
1 tempat
|
5 orang
|
|
7.
|
Industri kayu
|
2 tempat
|
6 orang
|
Mobil dan motor
|
8.
|
Jasa perbengkelan
|
9 tempat
|
1 orang
|
-
|
Dari
tabel diatas, sektor ekonomi berada pada sektor pedagang dan sejajar dengan
penelitian ini yang meneliti tentang ungkapan verbal proses pembuatan tahu.
Rata-rata pedagang di desa Kalisari ini berdagang sekaligus memproduksi sendiri
produk dagangannya, walaupun ada yang menyewa jasa orang untuk memproduksi tahu
itu. Para pengrajin tahu itu mempunyai tempat produksi sendiri-sendiri dan
termasuk industri kerajinan kecil. Menurut informasi, industri tahu sudah
sangat lama yaitu sejak sebelum kemerdekaan. Saat ini, produk tahu Kalisari
tidak hanya dikenal di Kabupaten Banyumas saja, melainkan sudah banyak
didistribusikan di kabupaten-kabupaten lain seperti Tegal, Brebes, dan
sebagainya. Banyaknya produksi tahu yang tersebar di 349 tempat menunjukkan
tingginya volume produksi serta bahan baku kedelai yang dibutuhkan yang
mencapai 7,2 ton/hari. Pada kondisi tersebut, keberadaan koperasi bisa membantu
khususnya dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku kedelai yang selama ini banyak
membeli dari luar kecamatan.
Dalam
proses pembuatan tahu, banyak ungkapan-ungkapan verbal yang dikemukakan oleh
sang pemilik industri maupun pengrajin tahunya. Ragam bahasa yang terdapat pada
data banyak menggunakan ragam ngoko karena rata-rata pengrajin tahu hanya
lulusan SD. Misalkan saja dalam proses pertama pembuatan tahu, pasti diawali
dengan merendam kedelai, pengrajin tahu biasanya menyebut ungkapan itu dengan ngekum kedelai yang sama artinya dengan
merendam kedelai. Ngekum sendiri
termasuk dalam kategori kata kerja, pengrajin tahu apabila mengungkapkan kata ngekum sudah otomatis mengandung arti
merendam kedelai. Satuan lingual kata ini mencerminkan budaya penggunanya,
karena menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau
masyarakat yang belum mempunyai tulisan (KBBI, 2001: 309).
Berdasarkan
analisis data yang terkumpul, ungkapan verbal proses pembuatan tahu di Desa
Kalisari Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas hanya terdiri dari ungkapan
verbal yang berupa satuan lingual kata. Ungkapan verbal tersebut berjumlah 14
kata pada proses pembuatan tahu untuk satu kali produksi dan 13 kata pada
ungkapan alat yang digunakan. Contoh kata yang dimaksud antara lain ngekum ‘merendam kedelai’, nyelip ‘menghancurkan dan menghaluskan
kedelai’, nggodHog ‘merebus kedelai
yang sudah halus’ , nyaring ‘menyaring
hasil rebusan (pati)’, nglaroni ‘memberi
laru khusus tahu’, nyetak ‘mencetak
tahu’, dipres ‘menekan tahu pada
cetakan dengan batu agar menjadi padat’,
mbuntel ‘membungkus tahu dengan kain yang tipis’, nguniri ‘memberi kunir pada saat merebus tahu’, ngentasi ‘mengangkat tahu yang sudah
matang’, natani ‘menata tahu di widig (papan dari bambu) agar cepat
dingin’ , nyorok ‘mengangkat tahu
yang telah digoreng’, ngrajang ‘mengiris
tahu agar mudah digoreng dan direbus’, dan
nyandhat ‘menali tempat tahu yang sudah ditata di tenong’. Hasil data
tersebut merupakan ungkapan verba atau kata kerja untuk menunjukan proses
pembuatan tahu dalam satu kali produksi. Pengrajin tahu juga mempunyai ungkapan
untuk menyebutkan alat pembuatan tahu seperti disel ‘alat untuk menghaluskan kedelai’, pati ‘hasil kedelai yang sudah dihaluskan’, pawon ‘alat untuk merebus tahu’, suluh ‘kayu’, widig ‘tempat
tahu’, sandat ‘tali’, tenong ‘tempat tahu untuk dijual’, tampah ‘penutup tenong’, jagrag ‘tempat
tahu agar lebih rajin’, sorok ‘alat
penggorengan’, saringan ‘alat untuk
menyaring’, jembangan ‘tempat untuk
hasil saringan’, ranjem ‘ampas tahu’,
ceting ‘alat untuk mengambil tahu
yang sudah matang’ dan kandi ‘alat untuk membungkus ampas
tahu’.
Data
bahasa yang berupa ungkapan verba dalam bentuk satuan lingual kata dapat
mencerminkan budaya yaitu budaya yang digunakan para pedagang dan pengrajin
tahu, hal itu dapat dilihat dari fungsinya yang adalah untuk mengungkapan
ungkapan verbal dalam proses pembuatan tahu ditunjukan dari data bahasa yang
berupa kata kerja seperti hassil di atas. Ungkapan tersebut digunakan
berdasarkan konteks sosial di Desa Kalisari Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.
Karena Banyumas terkenal dengan bahasa yang ngapak, jadi ungkapan tersebut
digunakan oleh hampir seluruh pedagang dan para pengrajin tahu khususnya di
Desa Kalisari.
Peneliti
mengambil ungkapan tersebut dari hasil wawancara terhadap subjek penelitian.
Untuk hasil observasi peneliti akan menyajikan gambar-gambar tentang proses
pembuatan tahu dan alat-alat yang digunakan.
Alat untuk
menghancurkan kedelai
|
Nyelip dan hasilnya berupa pati
|
Nggodog
‘merebus kedelai dan tahu’ dan suluh
(kayu)
|
Nyorok ‘mengangkat tahu
yang telah digoreng, alatnya bernama sorok
|
Ngrajang
|
Ngentasi
|
Nyandhat
|
E.
SIMPULAN
Berdasarkan
analisis data, dapat disimpulkan mengenai ungkapan verbal proses pembuatan tahu
di Desa Kalisari Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas yaitu mendeskripsikan
ungkapan verbal proses pembuatan tahu yang hasilnya seperti ngekum, nyelip, nggodog, nyaring, nglaroni,
nyetak, dipres, mbuntel, nguniri, ngentasi, natani, ceting, dan nyandhat. Pengrajin tahu juga mempunyai ungkapan untuk
menyebutkan alat pembuatan tahu seperti disel,
pawon, suluh, widig, sandat, tenong, tampah, jagrag, sorok, saringan, jembangan,
dan kandi.
DAFTAR PUSTAKA
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic
Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Diknas.
Haryanti, Dwi dan Agus Budi Wahyudi.
Ungkapan Etnis Petani Jawa di Desa Japanan Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten:
Kajian Etnolinguistik. Surakarta: PBS FKIP UMS. http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/198
diunduh pada 25 Oktober 2014 pukul 10.00.
Koentjaraningrat.1984. Kebudayaan
Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kurnia, Ermi Dyah. 2013. Morfologi Lanjut Bahasa Jawa Handout
Perkuliahan. Semarang: Unnes.
Mangunsuwito, S.A. 2002. Kamus Bahasa
Jawa: Jawa-Indonesia. Bandung: Yrama Widya.
Oktavianus. 2006. “Nilai Budaya dalam
Ungkapan Minangkabau: Sebuah Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik.”. Jurnal
Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. Tahun ke 24. Nomor 1.
Spradley, James P. 1997. (Terjemahan
Elizabeth, Misbah Zulfa). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudaryanto.1983. Linguistik Esai
tentang Bahasa dan Pengantar ke Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
0 comments:
Post a Comment