sugeng rawuh

wonten blog sinau basa jawa :)

Saturday, March 14, 2015

ANALISIS KAJIAN SEMANTIK








MAKNA DAN PESAN BUDAYA
DALAM UNGKAPAN JAWA MELALUI
KAJIAN SEMANTIK
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Semantik
Dosen Pengampu : Drs. Widodo

Oleh
Muji Lestari
2601412050
Rombel 02


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014/2015
ABSTRAK

Makalah ini berisi mengenai makna-makna dan pesan budaya yang terdapat pada ungkapan bahasa jawa. Hal yang dikaji termasuk dengan jenis makna. Tidak semua orang jawa memahami setiap ungkapan jawa yang mempunyai makna dan mempunyai nilai-nilai yang luhur itu. Ungkapan  jawa merupakan bekal bagi generasi muda yang semakin menghilang.

Kata kunci : ungkapan jawa, pesan budaya, jenis makna
Latar Belakang
            Makna merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar. Ia hadir dalam benuk kontruksi sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti dan dipahami maksudnya.            Ajaran kebijaksanaan dalam kebudayaan Jawa dimaksudkan untuk menjaga agar kehdupan masyarakat teratur, baik dan damai. Ajaran itu juga memiliki tujuan mendatangkan keadaan yang tentram dan tenang. Ajaran kebijaksanaan didasari pemikiran kejawaan yang biasanya disampaikan melalui ungkapan. Ungkapan yang ada di masyarakat Jawa mempunyai pelajaran bagi siapapun yang menerapkannya. Ungkapan tersebut masih menjadi sarana yang sering digunakan oleh orang Jawa untuk menyampaikan kebijaksanaan. Di kalangan orang-orang Jawa, terutama orang Jawa Kejawen juga masih menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa, baik yang disebut pepatah (peribahasa), pasemon (ibarat) maupun ajaran falsafah hidup Jawa (Imam S dalam Setiawan Ade Cahyadi, 2011: 16). Falsafah hidup Jawa yang terdapat dalam ungkapan, erat kaitannya dengan ajaran kebijaksanaan. Falsafah atau filosofi hidup yang dimaksudkan sebagai ajaran moral, baik yang berwujud anjuran maupun larangan, tersebar dalam berbagai bentuk, antara lain: paribasan, bebasan sanepa, saloka, wangsalan, panyandran, unen-unen dan pemali (Tarnono dalam Setiawan Ade Cahyadi, 2011: 16). Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan ungkapan tradisional yang diangkat dan ditemukan dalam karya sastra dan tradisi lisan yang menyiratkan realitas kehidupan faktual dan fenomena.        
            Secara sosial, setiap individu khususnya yang memegang teguh tatanan Jawa dilarang mengungkapkan perasaan, keinginannya dan kehendaknya secara langsung (to the point). Oleh karena itu, orang Jawa lebih sering bertindak secara pragmatik, baik ketika perprilaku maupun ketika bertutur kata. Dengan kepragmatikan itulah, terkadang orang terjebak dalam pencarian makna tersebut. Falsafah hidup jawa yang terdapat pada ungkapan Jawa misalnya Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk. Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita- citanya. Filosofi inilah yang membuat masyarakat suku jawa tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan disayangi oleh suku lain. Tidaklah mungkin apabila orang jawa itu mudah untuk dilipat-lipat. Ungkapan Jawa tersebut juga termasuk makna konotasi atau makna kiasan.
            Mulai dari itulah penulis ingin menganalisis lebih lanjut tentang ungkapan-ungkapan jawa yang berisi tentang ajaran, larangan, pesan yang bisa ditemukan di paribasan, bebasan sanepa, saloka, wangsalan, panyandran, unen-unen dan pemali (Tarnono dalam Setiawan Ade Cahyadi, 2011: 16).

            Dari latar belakang di atas, penulis bisa merumuskan rumusan masalah yaitu.
a.      Ungkapan Jawa apa saja yang memiliki makna dan pesan budaya?
b.      Bagaimana kaitannya dengan kehidupan jaman sekarang?



Analisis Ungkapan

1.      Narima ing Pandum
Narima ing pandum ‘menerima dengan ikhlas apa yang diberikan atau didapatkan’
Ungkapan tersebut mengandung ajaran tentang sikap pasrah tentang sikap menerima sesuatu. Inti ajarab dari makna konvensional ungkapan narima ing pandum adalah manusia dituntut untuk dapat menerima dengan senang hati terhadap pemberian Tuhan.
Analisis Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Ungkapan tersebut dibentuk dari kata narima, ing, pandum. Kata-kata tersebut masing-masing membentuk rangkaian.
a.       Narima
Kata narima menyatakan makna menyerahkan apa adanya kepada kenyataan. Dalam konteks ungkapan ini, narima menyatakan makna menerima apa yang dibagikan.
b.      Ing pandum
Kata ing menyatakan makna acuan untuk menjelaskan sesuatu, kata pandum menyatakan makna sesuatu yang sudah ada dan menjadi bagian. Dalam konteks ungkapan ini, ing pandum menyatakan makna sesuatu yang dibagikan oleh Tuhan.
Secara kontekstual, ungkapan narima ing pandum digunakan untuk menyatakan pesan tentang ketetapan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat mengenai apa yang dibagikan-Nya kepada manusia, sehingga manusia hanya dapat menerima pembagian-Nya.

Analisis Pesan Budaya
Ungkapan ana dhaulate ora ana begjane mengandung ajaran bahwa manusia harus menyadari akan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Kemampuan yang ada pada diri manusia pada dasarnya terbatas, tidak selamanya kemampuan dapat digunakan untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Keberuntungan yang datang dari Tuhan dapat mengalahkan segala kemampuan yang dimiliki oleh manusia, karena kemampuan yang dimiliki manusia bukan segala-galanya yang dapat menentukan hasil. Ungkapan ana dhaulate ora ana begjane mengajarkan manusia untuk senantiasa sadar akan keterbatasannya.
2.      Alon-alon waton klakon
Alon-alon waton klakon ‘pelan-pelan asal terlaksana’
Ungkapan ini maknanya sudah sangat jelas yaitu mengerjakan sesuatu dengan pelan-pelan saja asalkan bisa terlaksana. Akan tetapi untuk saat ini apabila pekerjaan dikerjakan dengan pelan-pelan akan menyita banyak waktu.
Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety . Orang dahulu sudah mengisyaratkan arti penting filosofi ini, tapi banyak orang melecehkan bahkan menganggap sebagai sifat malas orang jawa. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang safety. Di dunia modern masalah safety menjadi bagian terpenting untuk keberhasilan suatu pekerjaan karena didalamnya ada aturan-aturan yang menginstrusikan menghindari resiko-resiko yang akan terjadi. Misalkan saja pada wanita, apabila mempunyai sifat yang seperti itu, pasti akan lebih berhati-hati dalam bertindak.
Makna leksikal dan makna gramatikal
Ungkapan tersebut terdiri dari 3 kata yaitu alon-alon, waton, dan kelakon. Kata-kata itu membentuk menjadi sebuah rangkaian.

a.       Alon-alon
Kata alon-alon sendiri mempunyai maksud pelan-pelan. Pelan-pelan dalam mengerjakan sesuatu agar lebih teliti.
b.      Waton
Waton artinya asal.
c.       Kelakon
Kelakon artinya terlaksana, semua pekerjaan harus terlaksana dengan baik.
Analisis Pesan Budaya
Pesan budaya yang terdapat dalam ungkapan alon-alon waton kelakon mengandung nilai bahwa salah satu sikap hidup orang Jawa yang tidak ingin gagal dalam meraih apa yang diinginkan. Kata alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna cara. Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana seseorang akan mencapai tujuan karena yang penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus terlaksana) daripada kebat kliwat (tergesa-gesa tetapi gagal).

3.      Mangan ora mangan sing penting ngumpul
Mangan ora mangan sing penting ngumpul ‘Makan tidak makan yang penting kumpul’.
Jenis makna yang terdapat dalam ungkapan ini yaitu makna konotasi dan denotasi. Mangan ora mangan sing penting kumpul tidaklah hal yang benar. Apabila orang hanya berkumpul tanpa makan pasti akan kehabisan tenaga dan bisa sakit ataupun meninggal. Tapi filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera. ‘Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yang tidak dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’ melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama.

Analisis Pesan Budaya
Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai. Agar bisa menjadi bangsa yang kokoh, rukun, tentram dan sejahtera. Satu hati, satu pemikiran untuk membangun bangsa yang lebih baik, bangsa yang maju. Seperti ungkapan sakit satu maka sakit semuanya.
4.      sepi ing pamrih rame ing gawe.
Bermakna dalam melakukan pekerjaan apa pun sebaiknya bekerja sungguh-sungguh dan iklas tanpa memikirkan imbalanya. Bekerjalah jangan banyak menuntut imbalan.
5.      Nabok nyilih tangan
Secara umum bermakna seseorang ingin memfitnah atau menyakiti orang lain namun tidak berani secara langsung melainkan lewat orang lain. Sikap-sikap ini tentu saja tidak baik karena orang yang diibaratkan seperti itu adalah orang yang tidak satria dan tidak bertanggung jawab. Tetapi apa pun alasannya perbuatan yang diumpamakan seperti nabok nyilih tangan adalah perbuatan tidak baik. Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan lain yang mengandung perumpamaan yang mencerminkan sikap buruk dan tidak perlu dikembangkan dan diterapkan.
6.      opor bebek awake dhewek
artinya bahwa seseorang yang memetik kesuksesan karena tekad yang kuat dalam dirinya sendiri untuk belajar, berusaha dan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh untuk sebuah kesuksesan. Ungkapan-ungkapan di atas adalah kearifan lokal yang perlu terus dihayati agar masyarakat tetap memiliki tekad yang kuat dan semangat dalam meraih cita-cita dalam hidup dan kehidupan ini.



PENUTUP
Kesimpulan

Ungkapan dan peribahasa Jawa baik yang berbentuk bebasan, parikan, paribasan, sanepa, saloka merupakan ungkapan yang menggambarkan keadaan manusia. Keadaan tersebut dapat berupa ajaran kehidupan manusia, fakta realaitas yang tidak biasa terjadi, sindiran, sarkasme, dan suatu kenyataan yang paradok. Keseluruhan itu disampaikan melalui sarana bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan.  Bahasa tersebut kemudian perlu dimaknai agar mampu dimengerti dan difamahami maksud dan isinya.
Ungkapan jawa yang berisi makna dalam makalah ini Narima ing Pandum, Alon-alon waton klakon, Mangan ora mangan sing penting ngumpul, sepi ing pamrih rame ing gawe, Nabok nyilih tangan, opor bebek awake dhewek.




DAFTAR PUSTAKA

Poerwadarminta, WJS. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij N.V.
Rachmatullah, Asep. 2009. Falsafah Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Logung Pustaka
Sudaryanto. 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setiawan, Ade Cahyanto. 2011. Analisis Sikap Pasrah dalam Ungkapan Bahasa Jawa Melalui Kajian Semantik. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. http://ade cahyanto.blogspot.com/2011/analisis-sikap-pasrah-dalam   -ungkapan-bahasa-jawa-melalui-kajian-semantik.html (diakses 06/12/14).







0 comments:

Post a Comment