MAKNA DAN PESAN
BUDAYA
DALAM UNGKAPAN
JAWA MELALUI
KAJIAN SEMANTIK
Disusun
untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Semantik
Dosen
Pengampu : Drs. Widodo
Oleh
Muji
Lestari
2601412050
Rombel
02
JURUSAN BAHASA
DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA
DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2014/2015
ABSTRAK
Makalah
ini berisi mengenai makna-makna dan pesan budaya yang terdapat pada ungkapan
bahasa jawa. Hal yang dikaji termasuk dengan jenis makna. Tidak semua orang
jawa memahami setiap ungkapan jawa yang mempunyai makna dan mempunyai
nilai-nilai yang luhur itu. Ungkapan jawa
merupakan bekal bagi generasi muda yang semakin menghilang.
Kata
kunci : ungkapan jawa, pesan budaya, jenis makna
Latar
Belakang
Makna merupakan penghubung bahasa
dengan dunia luar. Ia hadir dalam benuk kontruksi sesuai dengan kesepakatan
para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti dan dipahami maksudnya. Ajaran kebijaksanaan dalam
kebudayaan Jawa dimaksudkan untuk menjaga agar kehdupan masyarakat teratur,
baik dan damai. Ajaran itu juga memiliki tujuan mendatangkan keadaan yang
tentram dan tenang. Ajaran kebijaksanaan didasari pemikiran kejawaan yang biasanya
disampaikan melalui ungkapan. Ungkapan yang ada di masyarakat Jawa mempunyai
pelajaran bagi siapapun yang menerapkannya. Ungkapan tersebut masih menjadi
sarana yang sering digunakan oleh orang Jawa untuk menyampaikan kebijaksanaan.
Di kalangan orang-orang Jawa, terutama orang Jawa Kejawen juga masih
menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa, baik yang disebut pepatah
(peribahasa), pasemon (ibarat) maupun ajaran falsafah hidup Jawa (Imam S dalam
Setiawan Ade Cahyadi, 2011: 16). Falsafah hidup Jawa yang terdapat dalam
ungkapan, erat kaitannya dengan ajaran kebijaksanaan. Falsafah atau filosofi
hidup yang dimaksudkan sebagai ajaran moral, baik yang berwujud anjuran maupun
larangan, tersebar dalam berbagai bentuk, antara lain: paribasan, bebasan sanepa, saloka, wangsalan, panyandran, unen-unen dan
pemali (Tarnono dalam Setiawan Ade Cahyadi, 2011: 16). Ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan ungkapan tradisional yang diangkat dan ditemukan dalam karya
sastra dan tradisi lisan yang menyiratkan realitas kehidupan faktual dan
fenomena.
Secara sosial, setiap individu
khususnya yang memegang teguh tatanan Jawa dilarang mengungkapkan perasaan,
keinginannya dan kehendaknya secara langsung (to the point). Oleh karena
itu, orang Jawa lebih sering bertindak secara pragmatik, baik ketika perprilaku
maupun ketika bertutur kata. Dengan kepragmatikan itulah, terkadang orang
terjebak dalam pencarian makna tersebut. Falsafah hidup jawa yang terdapat pada
ungkapan Jawa misalnya Wong jowo ki
gampang di tekuk-tekuk. Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang
dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan
ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul
dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh
sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan
selalu ulet dalam meraih cita- citanya. Filosofi inilah yang membuat masyarakat
suku jawa tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan disayangi oleh suku lain.
Tidaklah mungkin apabila orang jawa itu mudah untuk dilipat-lipat. Ungkapan
Jawa tersebut juga termasuk makna konotasi atau makna kiasan.
Mulai dari itulah penulis ingin
menganalisis lebih lanjut tentang ungkapan-ungkapan jawa yang berisi tentang
ajaran, larangan, pesan yang bisa ditemukan di paribasan, bebasan sanepa, saloka, wangsalan, panyandran, unen-unen dan
pemali (Tarnono dalam Setiawan Ade Cahyadi, 2011: 16).
Dari latar belakang di atas, penulis
bisa merumuskan rumusan masalah yaitu.
a. Ungkapan
Jawa apa saja yang memiliki makna dan pesan budaya?
b. Bagaimana
kaitannya dengan kehidupan jaman sekarang?
Analisis Ungkapan
1. Narima ing Pandum
Narima ing pandum ‘menerima dengan ikhlas apa yang
diberikan atau didapatkan’
Ungkapan
tersebut mengandung ajaran tentang sikap pasrah tentang sikap menerima sesuatu.
Inti ajarab dari makna konvensional ungkapan narima ing pandum adalah manusia
dituntut untuk dapat menerima dengan senang hati terhadap pemberian Tuhan.
Analisis Makna Leksikal dan Makna
Gramatikal
Ungkapan
tersebut dibentuk dari kata narima, ing, pandum. Kata-kata tersebut
masing-masing membentuk rangkaian.
a. Narima
Kata narima menyatakan makna menyerahkan apa adanya
kepada kenyataan. Dalam konteks ungkapan ini, narima menyatakan makna menerima
apa yang dibagikan.
b. Ing
pandum
Kata ing menyatakan makna acuan untuk menjelaskan sesuatu,
kata pandum menyatakan makna sesuatu yang sudah ada dan menjadi bagian. Dalam
konteks ungkapan ini, ing pandum menyatakan makna sesuatu yang dibagikan oleh
Tuhan.
Secara
kontekstual, ungkapan narima ing pandum digunakan untuk menyatakan pesan
tentang ketetapan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat mengenai apa yang
dibagikan-Nya kepada manusia, sehingga manusia hanya dapat menerima pembagian-Nya.
Analisis Pesan Budaya
Ungkapan
ana dhaulate ora ana begjane mengandung ajaran bahwa manusia harus menyadari
akan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Kemampuan yang ada pada diri
manusia pada dasarnya terbatas, tidak selamanya kemampuan dapat digunakan untuk
mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Keberuntungan yang datang dari
Tuhan dapat mengalahkan segala kemampuan yang dimiliki oleh manusia, karena
kemampuan yang dimiliki manusia bukan segala-galanya yang dapat menentukan
hasil. Ungkapan ana dhaulate ora ana begjane mengajarkan manusia untuk
senantiasa sadar akan keterbatasannya.
2.
Alon-alon
waton klakon
Alon-alon waton klakon
‘pelan-pelan asal terlaksana’
Ungkapan
ini maknanya sudah sangat jelas yaitu mengerjakan sesuatu dengan pelan-pelan
saja asalkan bisa terlaksana. Akan tetapi untuk saat ini apabila pekerjaan
dikerjakan dengan pelan-pelan akan menyita banyak waktu.
Filosofi ini
sebenarnya berisikan pesan tentang safety . Orang dahulu sudah mengisyaratkan
arti penting filosofi ini, tapi banyak orang melecehkan bahkan menganggap
sebagai sifat malas orang jawa. Padahal kandungan maknanya sangat dalam.
Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah,
keuletan, dan yang jelas tentang safety. Di dunia modern masalah safety menjadi
bagian terpenting untuk keberhasilan suatu pekerjaan karena didalamnya ada
aturan-aturan yang menginstrusikan menghindari resiko-resiko yang akan terjadi.
Misalkan saja pada wanita, apabila mempunyai sifat yang seperti itu, pasti akan
lebih berhati-hati dalam bertindak.
Makna leksikal dan makna gramatikal
Ungkapan
tersebut terdiri dari 3 kata yaitu alon-alon, waton, dan kelakon. Kata-kata itu
membentuk menjadi sebuah rangkaian.
a. Alon-alon
Kata alon-alon sendiri mempunyai maksud pelan-pelan.
Pelan-pelan dalam mengerjakan sesuatu agar lebih teliti.
b. Waton
Waton artinya asal.
c. Kelakon
Kelakon artinya terlaksana, semua pekerjaan harus
terlaksana dengan baik.
Analisis Pesan Budaya
Pesan
budaya yang terdapat dalam ungkapan alon-alon waton kelakon mengandung nilai
bahwa salah satu sikap hidup orang Jawa yang tidak ingin gagal dalam meraih apa
yang diinginkan. Kata alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna cara.
Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana seseorang akan mencapai tujuan
karena yang penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus terlaksana)
daripada kebat kliwat (tergesa-gesa tetapi gagal).
3. Mangan ora mangan sing penting ngumpul
Mangan ora mangan sing penting
ngumpul ‘Makan tidak makan yang penting kumpul’.
Jenis makna
yang terdapat dalam ungkapan ini yaitu makna konotasi dan denotasi. Mangan ora mangan sing penting kumpul
tidaklah hal yang benar. Apabila orang hanya berkumpul tanpa makan pasti akan
kehabisan tenaga dan bisa sakit ataupun meninggal. Tapi filosofi ini adalah
sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara
aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa
kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti
akan aman, tentram dan sejahtera. ‘Mangan ora mangan’ melambangkan eforia
demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang
lain pihak tidak. Yang tidak dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’
melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan
bersama.
Analisis Pesan Budaya
‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’
adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa
Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai. Agar bisa menjadi bangsa yang kokoh,
rukun, tentram dan sejahtera. Satu hati, satu pemikiran untuk membangun bangsa
yang lebih baik, bangsa yang maju. Seperti ungkapan sakit satu maka sakit semuanya.
4. sepi
ing pamrih rame ing gawe.
Bermakna
dalam melakukan pekerjaan apa pun sebaiknya bekerja sungguh-sungguh dan
iklas tanpa memikirkan imbalanya. Bekerjalah jangan banyak menuntut
imbalan.
5. Nabok
nyilih tangan
Secara
umum bermakna seseorang ingin memfitnah atau menyakiti orang lain namun tidak
berani secara langsung melainkan lewat orang lain. Sikap-sikap ini tentu saja
tidak baik karena orang yang diibaratkan seperti itu adalah orang yang tidak satria
dan tidak bertanggung jawab. Tetapi apa pun alasannya perbuatan yang
diumpamakan seperti nabok nyilih tangan adalah perbuatan tidak baik. Begitu
juga dengan ungkapan-ungkapan lain yang mengandung perumpamaan yang
mencerminkan sikap buruk dan tidak perlu dikembangkan dan diterapkan.
6. opor
bebek awake dhewek
artinya
bahwa seseorang yang memetik kesuksesan karena tekad yang kuat dalam dirinya
sendiri untuk belajar, berusaha dan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh
untuk sebuah kesuksesan. Ungkapan-ungkapan di atas adalah kearifan lokal yang
perlu terus dihayati agar masyarakat tetap memiliki tekad yang kuat dan semangat
dalam meraih cita-cita dalam hidup dan kehidupan ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Ungkapan dan peribahasa Jawa baik yang berbentuk
bebasan, parikan, paribasan, sanepa, saloka merupakan ungkapan yang
menggambarkan keadaan manusia. Keadaan tersebut dapat berupa ajaran kehidupan
manusia, fakta realaitas yang tidak biasa terjadi, sindiran, sarkasme, dan
suatu kenyataan yang paradok. Keseluruhan itu disampaikan melalui sarana bahasa,
baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Bahasa tersebut kemudian perlu
dimaknai agar mampu dimengerti dan difamahami maksud dan isinya.
Ungkapan jawa yang berisi makna dalam makalah ini Narima ing Pandum, Alon-alon
waton klakon, Mangan ora
mangan sing penting ngumpul, sepi ing pamrih rame
ing gawe, Nabok nyilih tangan, opor bebek awake dhewek.
DAFTAR PUSTAKA
Poerwadarminta,
WJS. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij
N.V.
Rachmatullah,
Asep. 2009. Falsafah Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Logung Pustaka
Sudaryanto.
2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setiawan,
Ade Cahyanto. 2011. Analisis Sikap Pasrah dalam Ungkapan Bahasa Jawa Melalui Kajian Semantik.
Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. http://ade
cahyanto.blogspot.com/2011/analisis-sikap-pasrah-dalam -ungkapan-bahasa-jawa-melalui-kajian-semantik.html (diakses
06/12/14).
0 comments:
Post a Comment