sugeng rawuh

wonten blog sinau basa jawa :)

Saturday, March 14, 2015

KOSMOLOGI DAN KOSMOGONI DALAM NOVEL BERBAHASA JAWA


1.      Novel Pawestri Tanpa Identhiti (karya Suparto Brata)

1)        Latar belakang novel Pawestri Tanpa Identhiti
Novel Pawestri Tanpa Idhentiti ini mencakup tentang feminisme, emansipasi wanita atau lebih jelasnya tentang kesetaraan gender. Dimana Suparto Brata mengangkat derajatnya Pawestri (tokoh utama), tokoh wanita yang dituduh menjadi wanita penggoda oleh Pangestu dan dianggap membuat ricuh keluarga Panuluh-Pandora. Pawestri juga dituduh akan merampas harta dari keluarga Panuluh-Pandora, tapi tuduhan itu semuanya tidak benar. Tokoh Pawestri, oleh pengarangnya diceritakan tidak hanya cantik parasnya akan tetapi juga cantik hatinya. Pawestri juga cekatan dalam bekerja, pinter, terampil tentang bisnis dan sopan santun terhadap siapa saja. Oleh sebab itu, pengarang berusaha menolak pendapat dari masyarakat bahwa wanita itu biasanya orang yang bodoh, dan pemalas. Sifat Pandora dan Pawestri dihadirkan sama, yaitu sama-sama pintar dan mampu mengembangkan bisnis.
Cerita dari novel tersebut tokoh Pawestri yang dilukiskan dengan watak perempuan pekerja keras, cerdas dan memiliki sopan santun. Dalam novel Pawestri Tanpa Idhentiti diceritakan tentang kehidupan orang jawa yang mengelola bisnis daging jendhel “daging beku” yang diimpor dari Meatcorp Australia dan usahanya itu berkembang baik, apalagi setelah kehadiran seorang wanita yaitu Pawestri/wanita tanpa identitas membuat bisnis itu berkembang sangat pesat dengan membuka cabang dibeberapa tempat dan berhasil menjadi perusahaan terbesar pada saat itu. Kehebatan itulah yang ditonjolkan dari novel ini, walaupun seorang wanita yang hilang ingatan akan tetapi bisa bekerja dengan sangat baik.
Pada umumnya, wirausahawan/bos-bos itu dipegang oleh laki-laki, akan tetapi dalam novel ini ditunjukan bahwa wanita juga bisa bekerja keras dan mampu mengunggulinya.
Istilah emansipasi wanita ini muncul dikarenakan dahulu kaum wanita menginginkan persamaan hak dan kewajiban dalam politik, sosial, budaya dan ekonomi antara laki-laki dan wanita. Wanita tidak ingin hanya bediam diri dirumah, tetapi ingin berkembang selayaknya laki-laki.
Tokoh perempuan dalam novel ini padahal sangat pekerja keras, sopan terhadap siapa saja akan tetapi hanya karena salah satu laki-laki yang tidak menyukainya, membuat tidak menghargai kemampuan perempuan. Peran tokoh perempuan yang disini ditokohkan oleh Pawestri tanpa identitas yaitu sosok perempuan yang berkarakter tegas, mandiri, dan maju di bidang publik dan memperjuangkan pemikiran tentang perlakuan yang sama terhadap semua orang tanpa melihat status atau kedukan. Nilai feminisme atau emansipasi wanita dalam novel ini berupa perjuangan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, peran publik dan produktif, dan pandangan hidup. Novel ini juga terdapat nilai-nilai pendidikan yang terungkap yaitu nilai kemanusiaan yaitu mengajak agar pembaca suka menolong, nilai pendidikan yaitu mengajak pembaca untuk suka belajar, dan nilai moral yaitu mengajak pembaca untuk tidak memiliki sifat balas dendam dan tidak suka menuduh tanpa bukti.
1.1  Konsep Wanita Pelayan/nakal (wanita pelayahan)
Pawestri sebagai tokoh utama disini dianggap sebagai wanita pelayan (wanita pelayahan/wanita nakal). Awalnya keluarga Panuluh Barata yang mempunyai bisnis daging beku yang diimport dari Australia. Ceritanya dimulai dari rapat bisnis di Hotel Batavia Inn, Jatinegara Januari 2007. Rapat itu berisi tentang kontrak import daging dari Australia yang disepakati dan ditandatangani oleh Panuluh Barata sebagai pemesan dan Victor Holiday dari pihak penjual. Akhir dari rapat itu Panuluh dimintai tolong oleh Victor Holiday untuk membantu menyelamatkan wanita cantik yang tertangkap basah berada di dalam kamar mitra usahanya itu. Wanita itu terlihat sangat pucat sehingga Panuluh mau menolongnya dari sergapan polisi, dengan mengakui wanita itu menjadi sekretarisnya dan membawanya ke rumah sakit Waluyajati Bekasi, dan ternyata wanita tanpa identitas itu hilang ingatan yang tidak bisa mengingat sama sekali tentang dirinya. Rasa iba Panuluh bertambah, sehingga Panuluh membawanya untuk menginap dirumahnya yang gabungan dari kantornya juga di Jatiwaringin. Ceritanya bertambah rumit ketika Pangestu mengetahui bahwa Panuluh membawa wanita dari hotel (wanita nakal). Sampai akhir cerita konsep wanita nakal tersebut hilang karena misteri tentang pawestri tanpa identitas itu terbongkar kebenarannya.

1.2  Perebutan Harta Warisan
Ketika Panuluh Barata meninggal dunia tiba-tiba. Bagi Pangèstu, meninggalnya bapaknya (Panuluh Barata) bahkan jadi senjata yang ampuh untuk mengusir Pawèstri dan anaknya, Damaree Pararatu (Rere), dari rumah Jatiwaringin dan dari PT Frozenmeat Raya.
Sampai di sini, usaha bisnis daging beku, sekalipun tanpa Panuluh, tetap bersemarak. Dan Pangèstu, sebagai peraga antagonis juga terus berusaha menjadi tokoh oposisi, yang selalu usaha merintangi kegiatan tokoh protagonis. Menurut teori peraga, jenis peraga protagonis dan antagonis perlu sekali dalam cerita agar cerita bisa bergejolak, terjadi ketegangan, sehingga jadi dinamis, tidak datar saja. Pada teori peraga, yang punya watak seperti Pangèstu disebut peraga antagonis. Setelah bapaknya meninggal dunia, Pangèstu wataknya sebagai peraga antagonis tidak berubah. Semangatnya mau mengusir Pawèstri dan anaknya (Rere) bahkan ditingkatkan.
Pangestu Barata yang tidak menyukai sosok Pawestri masuk dalam keluargane Panuluh dan Pandora.
...” Enake dipateni wae. Utawa dipitenah supaya ora duwe penguwasan ing kantor kana, uga disingkirake saka dalem Jatiwaringin kana barang”. (PTI:118).
...’ Enaknya dibunuh saja. Atau difitnah supaya tidak mempunyai kekuasaan di kantor sana, juga disingkirkan dari rumah Jatiwaringin sana saja.’
Pada rapat pemilihan gantinya Direktur Pratama PT Frozenmeat Raya, para pemilik saham memutuskan secara aklamasi Pawèstri terpilih jadi Direktur Pratama. Pangèstu  tidak bisa terima. Menurut dia yang wajib menggantikan kedudukan bapaknya sebagai Direktur Pratama harusnya darah Panuluh-Pandora, yang juga pemilik saham paling besar. Tidak mau menerimanya Pangèstu dengan semangatnya mau mengusir Pawèstri dari bisnis dan rumah Jatiwaringin hingga dilaporkan ke polisi dan diselesaikan di sidang Pengadilan umum.
“kowe kabeh aja melu-melu. Aku sing kepengin manggon ing omahe kene. Wis ayo, mulih. Dakenteni sajrone seminggu, lo, bu. Yen ora berubah pikiran, emoh lunga saka dalem kene, daklapurake pulisi.”(PTI halaman :314).
‘kamu semua jangan ikut-ikutan. Aku yang ingin menempati rumah ini. Sudah ayo, pulang. Saya tunggu satu minggu, lho, bu. Kalau tidak berubah pikiran, tidak mau pergi dari rumah sini, saya laporkan polisi.’
Pengadilan umum dijadikan ajang klimaks cerita novel PTI ini menang atau kalah dalam perkara tegas menurut hukum yang adil dan resmi menurut undang-undang.
Mencari benar dan salah lewat Pengadilan umum sangat langka dijadikan alur pada sastra Jawa, baik sastra Jawa prakemerdekaan maupun sampai sekarang. Cerita detektif kebanyakan telah selesai kedapatan penjahatnya sebelum masuk sidang pengadilan umum. Persoalan salah atau benar dalam suatu cerita bahasa Jawa sudah terbukti pada akhir cerita tanpa harus diadili di Pengadilan resmi atau menurut undang-undang. Di Pengadilan umum menang atau kalah dalam berperkara digelar menurut undang-undang negara dengan menghadirkan pesakitan, jaksa, pembela, hakim, saksi dan bukti-bukti yang dianggap sah. Ada aturannya, ada istilahnye khusus, misalnya: eksepsi, klien, attornney counsellor at law, a de charge. Karena begitu barangkali maka langka sekali Pengadilan umum dijadikan alur cerita pada sastra Jawa.

2)   Latar belakang kehidupan pengarang
1.3    Ideologi
Nama lengkap dari Suparto Brata adalah Raden Mas Suparto Brata terlahir di Surabaya pada tanggal 27 Februari 1923 dari pasangan Raden Suratman dan Bandara Raden Ajeng Jembawati. Kedua orangtuanya berasal dari Surakarta Hadiningrat. Suparto Brata adalah sastrawan yang produktif menerbitkan buku fiksi berbahasa Jawa dan Indonesia. Suparto Brata pernah mendapat penghargaan dari South East Asia Write Award(2007), penghargaan Rancage (2000, 2001 dan 2005) serta tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World Sixth Edition (1998) terbitan The American Biographical Institute, Inc, USA.  Dalam menulis, Suparto Brata seringkali menggunakan nama samaran, di antaranya Peni dan Eling Jatmiko. Suparto Brata menikah pada tahun 1962 dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Porwerejo (Jawa Tengah), dan mempunyai 4 orang anak yaitu Tatit Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neograha Semeru Brata (1969) dan Tenno Singgalang Brata (1971). Tahun 2010 yang baru lalu, Suparto Brata menerbitkan buku bahasa Jawa 5 judul, semua berupa roman atau novel. Yaitu Cintrong Paju-Pat (pernah dimuat sebagai cerita sambung di Panjebar Semangat, 2006), Nona Sekretaris (selesai ditulis tahun 1983-1984), ‘t Spookhuis (cerita bersambung Panjebar Semangat Februari-April 1991), Riwayat Madege Propinsi Jawa Timur, Lelabuhane Gubernur Jawa Timur I R.M.T.A.Suryo (terbit pertama 2010), dan Pawèstri Tanpa Idhèntiti (selesai ditulis Agustus 2009, terbit tahun 2010).
Dari 5 novel tadi, novel Pawèstri Tanpa Idhèntiti menarik perhatian. Ada beberapa hal yang menonjol yang pantas dicatat. Pertama, salain karya baru (ditulis 2009) juga objek yang digarap sangat jarang digarap oleh para penulis novel Jawa. Yaitu bab perusahaan dagang besar, khususnya di novel ini perusahaan dagang daging sapi beku yang diimport dari Australia. Perusahaan dagang daging beku dengan nama PT. Frozenmeat Raya itu milik Panuluh Barata dan almarhumah Pandora (isterinya).  Berkantor pusat di Jalan Jatiwaringin Jakarta Timur, yang  sekalian jadi rumah keluarga.

1.4    lingkungan kehidupan pengarang
Seperti tersebut di atas, mengamati novel PTI tanda yang terlihat pertama adalah para peraga yang punya profesi bisnis yang sama, perusahaan dagang daging beku. Mereka adalah Panuluh Barata sebagai Direktur PT Frozenmeat Raya, Victor Holiday, Direktur PT Meatcorp Inc. Lalu ada peraga wanita yang tanpa identitas (Pawèstri). Ada pula Dokter Rajiman teman Panuluh Barata, yang dalam cerita ini juga tidak lepas dari usaha bisnis daging beku. Munculnya peraga wanita tanpa identitas di Hotel Batavia Inn (Pawèstri) merupakan misteri yang tidak dimengerti oleh siapa saja. Misteri yang melekat pada diri pribadi Pawèstri itu terus meliputi sepanjang cerita novel PTI.
Di dunia sastra Jawa periode pascakamardikan, novel PTI merupakan novel Jawa yang pertama kali berbicara mengenai bisnis, yaitu bisnis daging beku yang diimport dari Australia. Novel ini mengingatkan kita kepada suatu novel zaman sebelum merdeka, yaitu novel Gawaning Wewatekan I dan II (GW I, II, 1928), terbitan Balai Pustaka, karangan Koesoemadigda. Novel GW I dan II adalah salah satu conto novel Jawa periode prakamardikan yang menceritakan: Jadi pegawai negeri itu bukan satu-satunya pekerjaan yang adiluhur. Banyak pekerjaan luhur lainnya yang juga halal, misalnya berdagang. Pada novel ini pengarang (Koesoemadigda) menyarankan para pemuda Jawa lulusan sekolah formal Belanda jangan malu tidak jadi pegawai negeri.  Para muda harus berani bekerja di bidang lain, yang juga halal dan bisa mendatangkan rezeki dan menaikkan derajat. Misalnya bisnis dagang. Lewat para peragatamanya yang punya wawasan luas dan niat yang tangguh, pada novel GW I, II, Koesoemadigda menunjukkan kepada para pembacanya agar tidak menganggap bahwa pegawai negeri itu suatu pekerjaan yang paling tinggi tanpa tanding kedudukannya.  Sebaliknya, perlu diketahui bahwa berdagang juga bukan pekerjaan yang hina. Buktinya pekerjaan dagang banyak dilakukan oleh bangsa Cina dan Arab (lihat juga novel Jawa Tan Loen Tik lan Tan Loen Chong, Ayu Ingkang Siyal, dan novel Pameleh). Seyogyanya bakat dagang juga harus dimiliki oleh bangsa Jawa seperti halnya yang diceritakan pada novel Gawaning Wewatekan I, II, tadi.
Hingga pada periode kemerdekaan ini, profesi dagang masih tetap jarang digarap oleh novelis Jawa. Padahal pada zaman sekarang sudah banyak sekali orang Jawa yang sukses melakukan pekerjaan bisnis dagang besar. Oleh karenanya, sepantasnyalah kalau novel Pawèstri Tanpa Idhèntiti (PTI, tahun 2010) karya Suparto Brata ini disebut novel pioneer (perintis), atau yang pertama kalinya berbicara bab bisnis dagang besar yang dilakukan oleh orang Jawa, yaitu Panuluh Barata. Novel tadi tebalnya 392 halaman, dengan ukuran buku kwarto.  Sesuai dengan majunya zaman, bisnis yang dilakukan oleh keluarga Panuluh Barata tadi bisnis daging sapi beku yang diimport dari PT Meatcrop Inc di Perth, Australia. Tetapi yang paling menarik perhatian bagi para pembaca novel ini, cara menguraikan cerita dasarnya hal bisnis daging diokulasi dengan pelacakan misteri, dan konsep feminisme sehingga merupakan suatu novel bisnis daging beku yang wutuh dan indah, lagi “njawani” (bernada kejawaan).
Pada novel PTI banyak sekali peristiwa yang membetulkan (menerapkan) peraturan yang benar dan undang-undang yang berlaku. Misalnya tentang usaha dagang menurut peraturan yang benar, cara mengemudi mobil, akte kelahiran, hak waris, UU HaKI.
Pengarang tidak alergi menggunakan istilah manca yang mulai populer di masyarakat Jawa terpelajar untuk menggambarkan kisahnya secara jelas, misalnya istilah jetlag, cluster, cyber, QHSE, click learning, cardilac arrest. Istilah-istilah itu sudah dipakai dalam novel PTI.
Meskipun perkara di Pengadilan umum sekarang sudah jadi bacaan akut di suratkabar, tetapi sampai sekarang masih langka sekali dijadikan wacana pada sastra Jawa. Apakah para pengarang sastra Jawa alergi dengan perputaran zaman? Maka dari itu pengarang novel PTI ini boleh disebut pioneer. Semoga saja para pengarang sastra Jawa lainnya juga mengikuti jejaknya, tidak alergi dengan berjalannya zaman, lalu mengarang cerita yang latar peraganya berprofesi (pekerjaannya) modern, misalnya pengusaha real-estat, persaingan bank, para diplomat, bisnis pesawat terbang.  Pada berita (pers) bahasa Jawa sudah berani mengupas berkecamuknya profesi-profesi modern itu. Tetapi dalam cerita (sastra) bahasa Jawa, belum banyak yang berkisah perkara profesi modern tadi. Dalam cerita sastra Jawa hingga kini yang diceritakan masih soal (profesi/pekerjaan) lama, seperti guru, petani, tukang becak, pekerjaan tradisional, adat dan tentang asmara.

3)        Penutup/pesan yang terkandung dalam novel Pawestri Tanpa Idhentiti
Janganlah suka memfitnah orang lain karena akan membuat orang lain menderita, hendaklah selalu sabar dan tabah dalam mengarungi bahtera kehidupan, dan janganlah serakah terhadap apapun yang bukan menjadi hak kita karena akan merugikan diri sendiri.
Brata, Suparto. 2010. Pawestri Tanpa Identhiti. Yogyakarta:Narasi.

2.      Novel Sawise Langite Katon Biru (karya Yunani W. S)
1)      Latar belakang Novel Sawise Langite Katon Biru
Dalam novel Sawise Langite Katon Biru, pengarang lebih menonjolkan tentang masalah jiwa, yang dialami oleh tokoh Retno. Retno mengalami kebingungan antara kepentingan pribadi dan antara  persaudaraan. Tokoh Retno yang harus merelakan penglihatannya karena kecelakaan waktu berumur 9 tahun, menyebabkan dia merasa rendah diri atau mempunyai perasaan bahwa dia hidup sudah tidak ada gunanya lagi dan menganggap orang lain lebih sempurna, lebih beruntung hidupnya. Hal itu juga membuat Retno merasa putus asa, berfikir kalau hidup jauh dari keramaian itu adalah keputusan yang sangat tepat. Seperti kutipan berikut:
“Telulas taun Retno urip ing donya kang peteng lan sepi, rasane kaya wis pirang-pirang    puluh taun lawase. Dheweke wis nutup uripe saka pasrawungan lan karameyan, senenge mung ndhewe ing kamare ngalamun lan nelangsa. Tujune eyange tansah migatekake lan kerep ngancani dheweke. (Yunani, 2013:6).”
‘Tiga belas Tahun Retno hidup dalam dunia yang gelap dan sepi, rasanya seperti berpuluh-puluh tahun hidup dalam keadaan itu. Dia sudah menutup kehidupannya dari inteaksi dan keramaian, lebih senang menyendiri dikamar melamun dan meratapinya. Beruntungnya eyangnya terus memperhatikan dan menemaninya’
Kutipan di atas dimaksudkan bahwa Retno dalam novel tersebut orang yang rendah diri dan selalu menjauhkan hidupnya dari keramaian. Dia merasa rendah diri karena dia buta, siapa saja yang mengalami hal seperti itu pasti akan merasakannya juga. Hal yang menunjukan bahwa dia rendah diri yaitu ketika kakak perempuan yang sangat menyayangi dan disayangi itu menikah dengan dokter ahli mata, Retno diminta untuk hadir menyaksikan pernikahan itu, akan tetapi Retno tidak mau datang dan lebih memilih untuk tetap tinggal di Batu dikarenakan tidak ingin orang-orang mengetahui adik Endah (kakak perempuan) buta.
“Retno isuk iku nunggoni Siti masak neng pawon. Ana rasa sedhih lan goreh ing atine jalaran dheweke ora bisa menyang Surabaya nyekseni mbakyune nikah. Sejatine kulawargane kabeh iya wis meksa dheweke gelem dijak menyang Surabaya, nanging Retno puguh ora gelem. Saliyane isin yen mengko diweruhi tamu-tamu dheweke iya rumangsa minder merga cacade. Jalaran akeh wong sing ora weruh dheweke, ngertine adhine Endah kuwi neng Batu ndherek eyange. Retno ora kepingin ngrusak sawasana gembira mau klawan rerasane tamu-tamu, jebulane adhine Endah wuta. (Yunani,2013:20).”
‘ Pagi itu Retno menemani Siti memasak di dapur. Ada rasa sedih lan sakit di hatinya karena dia tidak bisa ke Surabaya melihat kakak perempuannya menikah. Selain malu apabila nanti dilihat tamu-tamu dia merasa minder karena cacat itu. Pasti banyak orang yang melihat dia, setahunya adiknya Endah itu di Batu ikut eyangnya. Retno tidak mau merusak suasana senang itu oleh sindiran tamu-tamu bahwa adiknya Endah ternyata buta’.
Yang menyebabkan masalah Jiwa dalam diri Retno yaitu pertama karena dia cacat mata yang digambarkan dalam kutipan dibawah ini
“Sawijining remaja putri kang ayu rupane nyingkap kordhen jendhela nyawang menjaba. Rambute kang rembyak-rembyak nutupi pundhak obah-obah keterak angin sore saya nambahi sulistyane. Nanging yen diwaspadhakake manike mripate kang endah ora obah-obah babarpisan, mung mandeng mengarep tanpa cahya sumunar. Mripat kuwi mung mandeng mengarep kaya mripat golekan, sepi lan nglangut. Eman banget dene pasuryan kang ayu kuwi rinengga mripat kang wuta.(Yunani, 2013:1)”
‘seorang remaja putri yang rupanya cantik jelita membuka korden jendele meluhat kaadaan diluar. Rambutnya yang diurai menutupi pundak. Tapi apabila diperhatikan, bola mata yang indah itu digerak-gerakan tidak berubah sama sekali, hanya memandang ke depan tanpa adanya cahaya sinar. Mata itu hanya menghadap seperti mata mainan, sepi dan larut. Kasihan sekali apabila muka yang cantik itu terdapat mata yang buta’.
Dan jauh dari keramaian atau jauh dari orang-orang yang setiap hari hanya ditemani oleh eyangnya digambarkan dalam kutipan berikut.
“Telulas taun Retno urip ing donya kang peteng lan sepi, rasane kaya wis pirang-pirang puluh taun lawase. Dheweke wis nutup uripe saka pasrawungan lan karameyan, senenge mung ndhewe ing kamare ngalamun lan nelangsa. Tujune eyange tansah migatekake lan kerep ngancani dheweke (Yunani, 2013: 6).”
‘tigebelas tahun Retno hidup dalam kegelapan, rasanya seperti sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Dia sudah menutup hidupnya dari kehidupan dan keramaian, kesenangannya hanya berada di kamarnya untuk melamun dan meratapinya. Beruntungnya eyangnya selalu memperhatikannya dan sering menemani dia’.
“Mas Retno kuwi isih ijo banget. Dheweke durung tau srawung karo priya. Pasrawungane durung jembar, pengalamane durung ana. ... (Yunani, 2013:67)”.
‘Mas Retno itu masih polos banget, dia belum pernah berdekatan dengan laki-laki. Kenalannya belum luas, pengalamane belum ada’.
Alurnya dari novel ini yaitu alur maju menyebabkan pembaca tidak kebingungan untuk memahami isi dari cerita. Penulis bisa membawa pembaca seperti menyaksikan langsung kejadian kejadian yang dialami oleh para tokoh.
Isi cerita dari novel Sawise Langite Katon Biru yaitu menceritakan tentang cinta segitiga yang dilakukan antara Retno, Hendratmo dan Endah. Retno yang buta dari umur 9 tahun hingga 21 tahun tinggal bersama eyangnya di Batu dan keluarganya berada di Surabaya. Retno mempunyai kakak perempuan bernama Endah yang sangat menyayangi Retno. Maka dari itu Endah mencari calon suami yang bekerja sebagai dokter agar bisa mengoprasi mata adiknya. Pada akhirnya Endah menemukan calon suami dokter yang bernama Hendratmo, mereka pun menikah. Tapi tidak menyangka bahwa Hendratmo justru mencintai Retno semenjak pertama kali bertemu. Hendratmo sering sekali menemui Retno di Batu dengan alasan untuk memeriksa matanya Retno yang akan dioprasi. Mulai saat itu rasa cinta tumbuh diantara Retno dan Hendratmo. Mereka berdua lama kelamaan hubungannya malah tambah dekat dan hal itu tidak diketahui oleh Endah. Suatu hari saat berada di rumah Surabaya, hanya ada Hendratmo dan Retno karena Endah pergi untuk menemani ibunya menonton wayang. Rasa cinta antara Retno dan Hendratmo sudah tidak bisa dihalang-halangi lagi, keadaan rumah yang sepi membuat mereka saling mengungkapkan rasa cintanya. Akan tetapi tiba-tiba Endah pulang dikarenakan dompetnya ketinggalan di rumah, tidak disangka Endah melihat Hendratmo dan Retno sedang berduaan. Endah jengkel dan marah besar ke Hendratmo terlebih lagi sama Retno. Endah tidak mau mengakui Retno sebagai adiknya lagi karena pengorbanannya yang dilakukan selama ini untuk Retno ternyata dibalas dengan perselingkuhannya dengan Hendratmo (suaminya). Retno diminta untuk tidak boleh menemui Hendratmo lagi. Retno menyadari bahwa dirinya memang berbuat salah dan berdosa, akhirnya Retno pulang ke Batu, disitu Retno mengungkapkan semua perbuatan dosanya kepada Rama Rubertus dan bertekad akan benjadi non atau biarawati.
Simpulannya tokoh Retno dalam novel ini adalah sebagai tokoh utama yang sedang mengalami kebingungan, antara cinta dan persaudaraan.
1.1.Perselingkuhan
Laki-laki mana yang kuat melihat seorang wanita tanpa cacat berada dipangkuannya di tempat yang sepi, rerangkulan Hemdratmo membuat retno diam sementara waktu untuk merasakan rasa yang belum pernah dirasakan selama hidupnya.
“Ning... aku luwih mulya ing sisihmu Ret, tinimbang sing sisihe Endah,” kandhane Hendratmo karo nyekel pundhake Retno kenceng banget. Panyawange maneng Retno landhep nanging kebak pengarep-arep njaluk diwelasi. Halaman 58.”
‘Ning...aku lebih mulya berada disampingmu Ret, ketimbang disamping Endah,” omongan Hendratmo bersama memegang pundak Retno sangat erat. Penglihatannya terhadap Retno yang tajam akan tetapi penuh dengan pengharapan untuk dikasihani’
Cuplikan tersebut menandakan Hendratmo sedang merayu Retno agar Retno mau menerima semua keinginannya.
“Retno, wis tinakdirake yen kita kudu ketemu lan nresnani. Aku ora saguh pisah karo kowe Ret...” Hendratmo gedheg-gedheg banjur ngrangkul Retno kenceng banget. Wiwitane Retno arep bangga. Nanging bareng pengrangkule Hendratmo saya dikencengi Retno ora bisa suwala, mung bisa pasrah. Halaman 58”
            ‘Retno, sudah ditakdirkan bahwa kita memang harus bertemu dan saling mencintai. Aku tidak sanggup pisah denganmu Ret...” Hendratmo menggelengkan kepalanya kemudian merangkul Retno dengan sangat erat. Retno bangga, tetapi ketika rerangkulannya Hendratmo tambah dieratkan menjadikan Retno tidak bisa bergerak, hanya bisa pasrah.’

“Retno, dakkandhani ya. Sejatine biyen sing ngoyak-oyak aku kuwi mbakyumu Endah. Dheweke mung ngoyak titelku. Kebeneran kulawargaku seneng karo Endah lan ibuku nate kepotangan budi karo dheweke. Nalika ibu operasi lan butuh getih, Endah sing nyumbangake getihe sing kebeneran cocog lan nalika iku cedhak. Dadi Endah sing nylametake ibuku. Retno, sejatine aku luih nresnani kowe tinimbang Endah sawise kepethuk kowe,” kandhane Hendratmo karo ngelus-elus rambute Retno sing ponine nutupi bathuke. Halaman : 62”
‘Retno, aku omongi ya. Sebenarnya dulu yang mengejar-ngejar itu Endah kakakmu. Dia hanya mengejar titelku. Kebetulan saja keluargaku senang dengan Endah dan ibuku pernah berhutang budi sama dia. Ketika ibu oprasi dan sedang membutuhkan darah, Endah yang menyumbangkan darahnya yang kebetulan cocok dan ketika itu menjadi dekat. Jadi endah yang menyelamatkan ibuku. Retno, sebenarnya aku lebih mencintai kamu ketimbang Endah seelah bertemu kamu,” omongan Hendratmo dengan membelai rambutnya Retno yang poninya menutupi batuk’
“Retno arep mbantah nanging keselak lambene Hendratmo neceb lambene Retno suwe banget supaya Retno ora bisa guneman maneh. Wiwitane Retno arep emoh nanging banjur manut wae ora bisa nulak ubaling geni asmara sing wiwit murub makantar-kantar. Swasana omah sing sepi saya aweh kebebasan marang wong loro kuwi ngumbar rasa kangen lan tresnane. Halaman 62”
‘Retno ingin membantah tetapi tiba-tiba Hendratmo menciumnya sangat lama supaya Retno tidak bisa membantahnya lagi. Pertama-tama Retno ingin menolaknya tapi malah manut dan tidak bisa menolak gejolak asmara yang terus berkobar-kobar. Suasana rumah yang sepi menambah kebebasan untuk pasangan itu mengumbar rasa kangen dan cintanya.’
Semua cuplikan novel diatas membuktikan bahwa adanya perselingkuhan antara Hendratmo suami dari Endah dengan Retno sebagai adiknya Endah sendiri.

1.2.Egois
Masalah lebih memilih kepentingan pribadi juga terdapat dalam tokoh Retno, yaitu selalu melakukan apa saja hanya untuk memuaskan diri sendiri dan tidak memikirkan bagaimana kehidupan orang lain disekitarnya. Perbuatan Retno yang termasuk egois atau memilih kepentingan pribadi yaitu menyukai Hendratmo. Walaupun Retno mengerti bahwa perbuatan itu salah dan berdosa, tapi Retno tetap mengungkapkan rasa sayangnya kepada Hendatmo. Dibuktikan pada kutipan berikut.
Sewulan, rong wulan nganti pirang-pirang wulan, sesambungan kang slithutan mau saya kepatri ing atine dhewe-dhewe tanpa ana sing ngerti. Sok-sok krasa nglarakake ati lan nuwuhake panelangsa tumrape sing padha nglakoni. Retno ngerti yen tumindake mau kleru lan dosa. Nanging dheweke ora kuwawa merangi rasa mau jroning atine, luwih-luwih yen pinuju adhep-adhepan karo Hendratmo. Anane mung manut karo pangajake Hendratmo lan eman nampik kanikmatan sing durung tau dirasakake mau. Lan Retno pancen mbutuhake kabeh mauing uripe ckang garing lan sepi saka priya lan katresnan. (Yunani, 2013:59).”
‘sebulan, dua bulan sampai berbulan-bulan, hubungan yang dijalani menjadi rahasia pribadi tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Terkadang menyakitkan hati lan menyebabkan penyesalan untuk yang melakukan. Retno mengerti bahwa perbuatannya itu keliru dan termasuk dosa. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa melawan perasaan yang ada dalam hati, terlebih lagi apabila berhadapan dengan Hendratmo. Hanya bisa manut terhadap keinginan Hendratmo dan menikmati kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Dan Retno memang membutuhkan semua itu selama hidupnya yang kering dan sepi dari laki-laki dan cinta’.
Keadaan yang dialami oleh Retno sebelum dioperasi membuat hidupnya menjadi gelap. Hidupnya hanya ditemani oleh neneknya. Orang tuanya sibuk dengan pekerjaanya, sehingga Retno kurang bergaul dengan orang lain terlebih lagi dengan seorang pria. Oleh karena itu, Retno yang setelah mendapatkan kembali penglihatannya dan setelah melihat Hendratmo yang sangat ngganteng membuat rasa cinta tumbuh didirinya. Walaupun Retno mengetahui bahwa mencintai kakak iparnya sendiri adalah perbuatan yang melanggar dosa.  
“Eyange bola-bali kirim layang nakokake kapan Retno bali menyang Batu. Seliyane wis kangen Bu Purwo uga kesepen banget tanpa Retno ing sisihe. Retno sing luwih seneng neng Surabaya tansah ngulur-ulur wektu supaya ora enggal bali menyang Batu. Apamaneh dheweke kudu ngrampungake olehe kursus privat sing ora sedhela wektune. Karepe Eyange kursus neng Malang wae, nanging Retno luwih seneng neng Surabaya. Mula eyange banjur nglayangi Endah, supaya Retno diolehi bali nyang Batu ngancani eyange. Wiwitane Endah kabotan yen Retno bali menyang Batu jalaran Retno uga butuh cedhak kulawargane, bapak-ibune. Wong tuwane Retno uga kepengin Retno manggon ing surabaya wae. Halaman 53”
‘Neneknya sering mengirimkan surat untuk menanyakan kapan Retno bisa pulang ke Batu. Selain sudah kangen Bu Purwo juga kesepian tanpa Retno disampingnya. Retno yang lebih senang di Surabaya malah engulur-ulur waktu supaya tidak cepat pulang ke Batu. Apalagi dia harus menyelesaikan les privat yang tidak membutuhkan waktu sebentar. Keinginan neneknya les di Malang saja, tapi Retno lebih senang di Surabaya. Oleh karena itu, neneknya mengirimkan surat ke Endah, supaya Retno dibolehkan pulang ke Batu untuk menemani neneknya. Sebenarnya Endah keberatan  apabila Retno pulang ke Batu karena Retno juga butuh dekat dengan keluarganya, bapak-ibunya. Kedua orang tuanya juga berkeinginan Retno untuk tinggal di Surabaya saja.’
“Neng Batu sepi ah,“ wangsulane Retno nalika ditari mbakyune bali menyang Batu ngancani eyange sing kesepen. Halaman 53”
‘di Batu sepi lah, jawaban Retno ketika ditawari kakaknya untuk pulang ke Batu menemani neneknya yang kesepian’.  
Cuplikan diatas menandakan bahwa Retno yang sebelum matanya di operasi (masih buta) lebih senang tinggal di Batu ketimbang di Surabaya karena tidak ada yang mengurusnya dan setelah penglihatannya kembali normal malah lebih senang tinggal di Surabaya, tidak mementingkan neneknya lagi yang telah merawatnya setelah bertahun-tahun dengan sabar dan penuh kasih sayang.
2)      Latar belakang kehidupan pengarang
2.1  Ideologi
Pengarang menulis novel ini berdasarkan hal nyata, yaitu terinspirasi oleh pengalaman orang yang mempunyai cerita. Sewaktu pengarang sedang jalan-jalan dikota Batu, Malang. Dia melewati sebuah gereja. Dari dalam gereja keluarlah seorang biarawati yang sangat cantik. Pengarang berfikir kenapa wanita secantik itu bersedia menjadi biarawati. Pengarang bertanya-tanya kepadanya dan setelah pengarang mendapatkan semua cerita dari biarawati tersebut kemudian pengarang menceritakannya kembali dalam bentuk tulisan dan dibuatlah novel dengan judul “Sawise Langite Katon Biru” yang diterbitkan pada tahun 2013 tepatnya bulan Februari dengan penerbitnya Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) makarya bareng AZZAGRAFIKA . Dari bab 6 ada kalimat yang “wengine saya sepi, angine saya atis. Bengi iku setan padha jejogedan ajak-ajak tumindak dosa”. Pada cuplikan tersebut banyak pembaca yang mengira bahwa Hendratmo dan Retno bertindak yang sudah melewati batas (dosa). Tapi pada kenyataannya antara Hendratmo dan Retno tidak bertindak yang melewati batas, seperti yang diterangkan oleh pengarang yaitu keduanya berselingkuh, namun belum sampai melakukan hubungan intim. Hal ini dikarenakan diakhir cerita Retno mengabdi sebagai Biarawati, sedangkan syarat menjadi Biarawati adalah masih suci.

2.2  lingkungan kehidupan
Novel “Sawise Langite Katon Biru” penulisnya adalah Yunani, salah satu penulis yang sudah sangat mahir dalam hal tulis-menulis. Yunani memulai untuk menulis yaitu tahun 1970 di majalah mingguan Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Novel yang sudah diterbitkan antara lain Dokter Wulandari, Katresnan Lingsir Sore, Kalung Barleyan (Antologi geguritan Pengarang/Prof. Dr. Suripan Sadi Hoetomo), Cinde Laras (dongeng anak basa jawa). Crita anak basa Indonesia: “Perjalanan ke Timur”, “Kartini Kecil dan Beberapa Cerita Pendek Lainnya”. Novel terakhir yaitu Angin Saka Paran (2005).
3)      Penutup/pesan dalam Novel Sawise Langite Katon Biru

Novel ini bisa dibaca untuk siapa saja, diharapkan :
·         supaya mengerti bahwa manusia tidak boleh mengumbar-umbar keinginannya saja,
·         harus selalu ingat kepada penciptanya.
·         Hormatilah orang yang menyayangi kita dan jangan menyakitinya.
·         Setialah terhadap pasangan dan jangan menyakitinya.
S. W, Yunani. 2013. Sawise Langit Katon Biru. Yogyakarta:Azzagrafika.




3.      Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi ( Suci Hadi Suwita)
1)      Latar belakang Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi
Novel Wedhus Gembel karangan Suci Hadi Suwita ini menceritakan perjalanan hidup seorang wanita cantik tetapi memiliki kaki pincang, perempuan ini bernama Darmini. Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi ini memiliki alur campuran, dan Suci Hadi Suwita banyak menulis ketegangan-ketegangan yang menciptakan rasa penesaran pembaca. Inti dari cerita ini adalah kala srenggi
Cerita ini diawali dengan menggambarkan masalah yang sedang dialami oleh tokoh utama yaitu Darmini yang memikirkan Mas Salim. Darmini bekera di toko Ramai sedangkan Salim bekerja dilosmen. Mas Salim adalah seorang pria yang jatuh cinta pada Darmini Salim jatuh cinta saat pandangan pertama, pada waktu Salim berboncengan dengan temannya. Pada waktu itu Salim melihat kecantikan Darmini. Salim mencari informasi tentang Darmini dan setiap hari Salim menunggu Darmini pulang hanya sekedar untuk melihat. Salim jatuh cinta kepada Darmini tetapi dia tidak percaya dengan perasaannya karena dia mencintai seorang yang cacat fisik. Pada waktu pendekatan Salim mengajak Darmini jalan-jalan ke Kopeng disana Salim bertemu dengan Duryat laki-laki paruhbaya yang sedang bermersaan dengan seorang wanita yang berbeda pula dengan wanita di losmen. Salim berkenalan dengan banyak wanita dan wanita yang dia kenal adalah wanita nakal karena dia bekerja di losmen Salim pernah kedatangan tamu yang berumur 55 tahun pria itu bernama Duryat. Salim terheran-heran karena di umur senja masih melakukan hal-hal yang tidak baik. Setelah banyak pengalaman Salim merasa percaya jika Darmini adalah wanita yang baik dan Salim bertekad untuk menyatakan cinta kepada Darmini. Salim menyatakan cinta kepada Darmini tetapi Darmini menolak karena dia tidak percaya dan dia meminta keseriusan kepada Salim. Untuk membuktikan keseriusannya Salim pergi kerumah Darmini untuk bertemu dengan Ibunya. Ayah Darmini entah pergi kemana pada waktu kecil ayahnya meninggalkannya ketika tau bahwa anaknya cacat. Setelah Salim kerumah Darmini, Darmini percaya bahwa Salim benar-benar serius mencintainya Salim ada niatan untuk melamar Darmini pada waktu itu juga tetapi Darmini dan Ibunya menolak karena takut Darmini akan ditolak oleh keluwarga Salim. Salim mengajak Darmini kerumah Salim keluwarga Salim menerima kedatangan Darmini. Ibunya Salim terkejut ketika melihat Darmini karena alis dan kening Darmini mirip sekali dengan seseorang yang selama ini dilupakannya dan ingatan itu muncul ketika melihat Darmini. Salim memiliki nasib yang sama dengan Darmini dia ditinggalkan oleh ayahnya pada saat ibunya masih mengandung.
Setelah keduabelah pihak menyetujui hubungan mereka Salim melamar Darmini. Mereka pun menikah dan mereka hidup bersama keluwarga Salim setelah beberapa bulan menikah mereka hidup di Dongkelan hidup dirumah yang sederhana. Darmini masih bekerja di toko Ramai dan Salim masih bekerja di Losmen di Malioboro tetapi Salim dipindah bekerja di Kaliurang, karena jarak antara rumah dan Kaliurang itu jauh sehingga Salim meninggalkan istrinya di rumah. Salim setiap minggu pulang untuk bertemu dengan Darmini. Darminipun hamil mereka sangat bahagia Salim menyuruh adik perempuannya untuk menemani Darmini di rumah.
Ketika Darmini dirumah dai kedatangan tamu perempuan cantik dan masih muda wanita itu mencari Salim wanita itu berkata kepada Darmini bahwa Salim memiliki hubungannya wanita itu bernama Warti. Warti itu jandha yang ditinggal pergi oleh suaminya ketika anaknya berumur dua tahun sehingga dia menyukai Salim tetapi Salim menolaknya karena dia telah memiliki istri oleh karena itu Warti ingin melihat istri Salim dan membuat Darmini cemburu. Ketika Salim pulang Darmini tidak berkata apa-apa dan Salim menyadarinya setelah itu Salim bertanya kepada Darmini dan menjalaskan tentang Warti Darminipun percaya kepada Salim.
Salim kembali bekerja di Kaliurang dia meninggalkan istrinya yang sedang hamil mereka berpisah untuk mencari uang. Suatu malam Salim kedatangan tamu seorang wanita cantik yang berumur kira-kira 35 tahun wanita menggoda Salim dan meminta Salim untuk menemaninya. Tetapi rasa cintanya Salim kepada Darmini tidak membuat Salim tergoda oleh wanita lain. Salim di Hotel itu bekerja dengan mbok Nah, mbok Nah itu orang yang memasak untuk para tamu. Mbok Nah memiliki anak yang bernama Harti mbok Nah ditinggal ayahnya Harti. Suatu hari Salim bertemu lagi dengan Duryat laki-laki yang sering pergi dengan wanita-wanita nakal, Pak Duryat itu menginap dikamar no enam bersampingan dengan wanita yang semalam menggoda Salim, mereka sangat cocok sehingga mereka tidur bersama tanpa ada ikatan pernikahan. Setelah kedatangan Pak Duryat kehotel itu mbok Nah menjadi aneh dia menjadi pendiam dan sering marah-marah. Salim pun bingung dengan tingkah laku mbok Nah. Salim mengobrol dengan Harti anak mbok Nah anak kecil itu memiliki alis dan kening yang sama dengan Darmini sehingga Salim ingin pulang dan bertemu dengan Darmini. Mbok Nah bertemu dengan pak Duryat dan pak Duryat kaget karena mbok Nah ada disini. Salim bertanya kepada mbok Nah siapa Duryat itu dan pak Duryat itu adalah ayah Harti mbok Nah bercerita kepada Salim bahwa Duryat itu adalah Hartono. Salimpun bertanya kepada Pak Duryat siapa itu Hartono pak Duryat pun menjelaskan kepada Salim bahwa dia seseorang yang nakal yang memiliki nama banyak dan dia sering mengelabuhi wanita-wanita bahkan dia memiliki anak dimana-mana anak-anaknyapun ditinggalkan begitu saja. Pak Duryat bercerita bahwa dia ke Kaliurang untuk bernoslatgian dengan kenangan-kenangan dengan mbok Nah. Pak Duryat juga bercerita dia masih memiliki istri anak dan cucu ydi Lampung tetapi dia tidak cinta dengan istrinya sehingga dia mencari wanita yang mencintainya dan dia juga mencintanya.Setelah pak Duryat tau bahwa Harti itu adalah anaknya dia memberi uang kepada Harti. Suatu hari pak Duryat bertemu dengan mbok Nah pak Duryat tau bahwa mbok Nah itu wanita yang selama ini dia cari karena sekian  banyak wanita yang ditinggalkan hanya mbok Nah yang tidak menikah dan pak Duryat tau bahwa mbok Nah masih mencintainya. Pak Duryatpun berbicara kepada mbok Nah bahwa dia akan menikahinya secara resmi. Tetapi mbok Nah tidak terima karena selama ini dia merasa disakiti oleh pak Duryat. Mereka bertengkar dan Salim menghampiri pak Duryat dan mbok Nah. Mbok Nah melempar pisau kearah pak Duryat tetapi Salim menghalanginya sehingga pisau itu mengenai Salim dan Pak Duryat. Salim dan pak Duryat di bawa ke rumah sakit dijogja dan mbok Nah dibawa kepolsek Kaliurang. Kemudian keluarga Salim dihubungi. Pak Marto ayah tiri Salim menengok Salim pada malam itu juga, luka Salim tidak parah hanya dijahit saja dan besok pagi sudah boleh pulang. Keesokan harinya Mbok Soma dengan adik adik dan ipar Salim datang, Darmini dan ibu Salim belum datang karena rumah sakit dengan rumahnya cukup jauh. Mbok bertanya kepada Salim bagaimana kronologisnya dan mengapa bisa terjadi hal seperti itu. Salim menceritakan semuanya, setelah itu Mbok Soma diajak Salim menengok pak Duryat, betapa terkejutnya mbok Soma melihat pak Duryat, pak Duryat itu adalah Darmono ayah Darmini. Salimpun terkejut dan dia khawatir jika nanti Darmini adalah adiknya karena selama ini dia bertemu dengan orang yang memiliki nasib yang sama dengannya seperti Darmini dan Harti dimana mereka memiliki ayah yang sama. Setelah ibunya dan Darmini datang Salim mengajak ibunya untuk bertemu pak Duryat, ternyata benar pak Duryat itu adalah ayah Salim. Betapa tidak bingung ketika dia tau bahwa istrinya adalah adiknya sendiri dan Salim sudah terlanjur cinta dan Darmini sekarag sedang hamil, dan anak yang ada di dalam kandungan itu adalah kala srenggi seprti dalam sebuah cerita wayang. Salim dan mbok Marto tidak membongkar cerita ini karena takut masalahnya semakin parah. Salim sudah boleh pulang Salimpun pulang kerumahya. Salim dan Pak Duryat pergi ke polsek untuk meringankan hukuman mbok Nah. Mbok Nah pun sudah keluar dari penjara pak Duryat melamar mbok Nah dan mbok Nah menerimanya. Tetapi pak Duryat harus memiliki izin dari istri pertamanya yang ada di Lampung. Pak Duryat pergi ke Lampung setelah mendapatkan izin pak Duryat menikahi mbok Nah dan memboyong mbok Nah ke Solo. Salim sudah kembali bekerja lagi, pak Duryat mbok Nah dan Harti pergi ke hotel Kaliurang untuk berlibur. Pada waktu itu ada hajatan di sebelah Hotel dan Salim mengajak Pak Duryat untuk menemaninya di jalan Pak Duryat dan Salim berhenti dipinggir jalan untuk istirahat dan saat itu juga Salim bercerita bahwa dia adalah anak Pak Duryat pada saat itu pula awan panas dari gunung merapi keluar atau yang sering disebut wedhus gembel. Dan pak Duryat berkata bahwa dia sangat bersalah sampai-sampai anaknya menikah. Pak Duryat dan Salimpun meninggal oleh awan panas atau wedhus gembel.
1.1.Kala Srenggi
Menurut saya inti dari novel ini adalah kala Srenggi. Kala Srenggi adalah tokoh wayang yang berupa raksasa yang perkasa. Cerita ini berawal dari kelakuan bapak Kala Srenggi kala itu Dewi Wara Sembrada berubah menjadi Permadi. Bahwa ibunya Kala Srenggi atau Permadi berubah menjadi Dewi Wara Sembrada. Setelah itu dia disuruh mencari Raden Permadi yang saat itu sedang pergi dari kerajaan Madukara. Setelah beberapa lama Bapak kala Srenggi bertemu dengan Permadi yang berubah menjadi Dewi Wara Sembrada di hutan. Mereka berdua memadu kasih setelah itu Permadi berubah kebentuk asalnya dan betapa terkejutnya bahwa dia telah bercinta dengan  saudaranya sendiri.
Cerita ini sama dengan cerita Darmini dan Salim yang berada di dalam novel Wedhus Gembel Gunung Merapi. Yang berawal dari cerita dialami oleh tokoh utama yaitu Darmini yang memikirkan Mas Salim. Darmini bekera di toko Ramai sedangkan Salim bekerja dilosmen. Mas Salim adalah seorang pria yang jatuh cinta pada Darmini Salim jatuh cinta saat pandangan pertama, pada waktu Salim berboncengan dengan temannya. Pada waktu itu Salim melihat kecantikan Darmini. Salim mencari informasi tentang Darmini dan setiap hari Salim menunggu Darmini pulang hanya sekedar untuk melihat. Salim jatuh cinta kepada Darmini tetapi dia tidak percaya dengan perasaannya karena dia mencintai seorang yang cacat fisik. Pada waktu pendekatan Salim mengajak Darmini jalan-jalan ke Kopeng disana Salim bertemu dengan Duryat laki-laki paruhbaya yang sedang bermersaan dengan seorang wanita yang berbeda pula dengan wanita di losmen. Salim berkenalan dengan banyak wanita dan wanita yang dia kenal adalah wanita nakal karena dia bekerja di losmen Salim pernah kedatangan tamu yang berumur 55 tahun pria itu bernama Duryat. Salim terheran-heran karena di umur senja masih melakukan hal-hal yang tidak baik. Setelah banyak pengalaman Salim merasa percaya jika Darmini adalah wanita yang baik dan Salim bertekad untuk menyatakan cinta kepada Darmini. Salim menyatakan cinta kepada Darmini tetapi Darmini menolak karena dia tidak percaya dan dia meminta keseriusan kepada Salim. Untuk membuktikan keseriusannya Salim pergi kerumah Darmini untuk bertemu dengan Ibunya. Ayah Darmini entah pergi kemana pada waktu kecil ayahnya meninggalkannya ketika tau bahwa anaknya cacat. Setelah Salim kerumah Darmini, Darmini percaya bahwa Salim benar-benar serius mencintainya Salim ada niatan untuk melamar Darmini pada waktu itu juga tetapi Darmini dan Ibunya menolak karena takut Darmini akan ditolak oleh keluwarga Salim. Salim mengajak Darmini kerumah Salim keluwarga Salim menerima kedatangan Darmini. Ibunya Salim terkejut ketika melihat Darmini karena alis dan kening Darmini mirip sekali dengan seseorang yang selama ini dilupakannya dan ingatan itu muncul ketika melihat Darmini. Salim memiliki nasib yang sama dengan Darmini dia ditinggalkan oleh ayahnya pada saat ibunya masih mengandung.
Setelah keduabelah pihak menyetujui hubungan mereka Salim melamar Darmini. Mereka pun menikah dan mereka hidup bersama keluwarga Salim setelah beberapa bulan menikah mereka hidup di Dongkelan hidup dirumah yang sederhana. Darmini masih bekerja di toko Ramai dan Salim masih bekerja di Losmen di Malioboro tetapi Salim dipindah bekerja di Kaliurang, karena jarak antara rumah dan Kaliurang itu jauh sehingga Salim meninggalkan istrinya di rumah. Salim setiap minggu pulang untuk bertemu dengan Darmini. Darminipun hamil mereka sangat bahagia Salim menyuruh adik perempuannya untuk menemani Darmini di rumah.
Ketika Darmini dirumah dai kedatangan tamu perempuan cantik dan masih muda wanita itu mencari Salim wanita itu berkata kepada Darmini bahwa Salim memiliki hubungannya wanita itu bernama Warti. Warti itu jandha yang ditinggal pergi oleh suaminya ketika anaknya berumur dua tahun sehingga dia menyukai Salim tetapi Salim menolaknya karena dia telah memiliki istri oleh karena itu Warti ingin melihat istri Salim dan membuat Darmini cemburu. Ketika Salim pulang Darmini tidak berkata apa-apa dan Salim menyadarinya setelah itu Salim bertanya kepada Darmini dan menjalaskan tentang Warti Darminipun percaya kepada Salim.
Salim kembali bekerja di Kaliurang dia meninggalkan istrinya yang sedang hamil mereka berpisah untuk mencari uang. Suatu malam Salim kedatangan tamu seorang wanita cantik yang berumur kira-kira 35 tahun wanita menggoda Salim dan meminta Salim untuk menemaninya. Tetapi rasa cintanya Salim kepada Darmini tidak membuat Salim tergoda oleh wanita lain. Salim di Hotel itu bekerja dengan mbok Nah, mbok Nah itu orang yang memasak untuk para tamu. Mbok Nah memiliki anak yang bernama Harti mbok Nah ditinggal ayahnya Harti. Suatu hari Salim bertemu lagi dengan Duryat laki-laki yang sering pergi dengan wanita-wanita nakal, Pak Duryat itu menginap dikamar no enam bersampingan dengan wanita yang semalam menggoda Salim, mereka sangat cocok sehingga mereka tidur bersama tanpa ada ikatan pernikahan. Setelah kedatangan Pak Duryat kehotel itu mbok Nah menjadi aneh dia menjadi pendiam dan sering marah-marah. Salim pun bingung dengan tingkah laku mbok Nah. Salim mengobrol dengan Harti anak mbok Nah anak kecil itu memiliki alis dan kening yang sama dengan Darmini sehingga Salim ingin pulang dan bertemu dengan Darmini. Mbok Nah bertemu dengan pak Duryat dan pak Duryat kaget karena mbok Nah ada disini. Salim bertanya kepada mbok Nah siapa Duryat itu dan pak Duryat itu adalah ayah Harti mbok Nah bercerita kepada Salim bahwa Duryat itu adalah Hartono. Salimpun bertanya kepada Pak Duryat siapa itu Hartono pak Duryat pun menjelaskan kepada Salim bahwa dia seseorang yang nakal yang memiliki nama banyak dan dia sering mengelabuhi wanita-wanita bahkan dia memiliki anak dimana-mana anak-anaknyapun ditinggalkan begitu saja. Pak Duryat bercerita bahwa dia ke Kaliurang untuk bernoslatgian dengan kenangan-kenangan dengan mbok Nah. Pak Duryat juga bercerita dia masih memiliki istri anak dan cucu ydi Lampung tetapi dia tidak cinta dengan istrinya sehingga dia mencari wanita yang mencintainya dan dia juga mencintanya.Setelah pak Duryat tau bahwa Harti itu adalah anaknya dia memberi uang kepada Harti. Suatu hari pak Duryat bertemu dengan mbok Nah pak Duryat tau bahwa mbok Nah itu wanita yang selama ini dia cari karena sekian  banyak wanita yang ditinggalkan hanya mbok Nah yang tidak menikah dan pak Duryat tau bahwa mbok Nah masih mencintainya. Pak Duryatpun berbicara kepada mbok Nah bahwa dia akan menikahinya secara resmi. Tetapi mbok Nah tidak terima karena selama ini dia merasa disakiti oleh pak Duryat. Mereka bertengkar dan Salim menghampiri pak Duryat dan mbok Nah. Mbok Nah melempar pisau kearah pak Duryat tetapi Salim menghalanginya sehingga pisau itu mengenai Salim dan Pak Duryat. Salim dan pak Duryat di bawa ke rumah sakit dijogja dan mbok Nah dibawa kepolsek Kaliurang. Kemudian keluarga Salim dihubungi. Pak Marto ayah tiri Salim menengok Salim pada malam itu juga, luka Salim tidak parah hanya dijahit saja dan besok pagi sudah boleh pulang. Keesokan harinya Mbok Soma dengan adik adik dan ipar Salim datang, Darmini dan ibu Salim belum datang karena rumah sakit dengan rumahnya cukup jauh. Mbok bertanya kepada Salim bagaimana kronologisnya dan mengapa bisa terjadi hal seperti itu. Salim menceritakan semuanya, setelah itu Mbok Soma diajak Salim menengok pak Duryat, betapa terkejutnya mbok Soma melihat pak Duryat, pak Duryat itu adalah Darmono ayah Darmini. Salimpun terkejut dan dia khawatir jika nanti Darmini adalah adiknya karena selama ini dia bertemu dengan orang yang memiliki nasib yang sama dengannya seperti Darmini dan Harti dimana mereka memiliki ayah yang sama. Setelah ibunya dan Darmini datang Salim mengajak ibunya untuk bertemu pak Duryat, ternyata benar pak Duryat itu adalah ayah Salim. Betapa tidak bingung ketika dia tau bahwa istrinya adalah adiknya sendiri dan Salim sudah terlanjur cinta dan Darmini sekarag sedang hamil, dan anak yang ada di dalam kandungan itu adalah kala srenggi seprti dalam sebuah cerita wayang. Salim dan mbok Marto tidak membongkar cerita ini karena takut masalahnya semakin parah. Salim sudah boleh pulang Salimpun pulang kerumahya. Salim dan Pak Duryat pergi ke polsek untuk meringankan hukuman mbok Nah. Mbok Nah pun sudah keluar dari penjara pak Duryat melamar mbok Nah dan mbok Nah menerimanya. Tetapi pak Duryat harus memiliki izin dari istri pertamanya yang ada di Lampung. Pak Duryat pergi ke Lampung setelah mendapatkan izin pak Duryat menikahi mbok Nah dan memboyong mbok Nah ke Solo. Salim sudah kembali bekerja lagi, pak Duryat mbok Nah dan Harti pergi ke hotel Kaliurang untuk berlibur. Pada waktu itu ada hajatan di sebelah Hotel dan Salim mengajak Pak Duryat untuk menemaninya di jalan Pak Duryat dan Salim berhenti dipinggir jalan untuk istirahat dan saat itu juga Salim bercerita bahwa dia adalah anak Pak Duryat pada saat itu pula awan panas dari gunung merapi keluar atau yang sering disebut wedhus gembel. Dan pak Duryat berkata bahwa dia sangat bersalah sampai-sampai anaknya menikah. Pak Duryat dan Salimpun meninggal oleh awan panas atau wedhus gembel.

2)      Latar Belakang Pengarang
Pengarang novel Wedhus Gembel Gunung Merapi adalah Suci Hadi Suwita, lahir di Yogyakarta tanggal 21 Januari 1936. Dia bersekolah di SMAN 1 Surakarta. Ibu Suci Hadi Suwita tidak pernah belajar tentang sastra pada waktu sekolah. Beliau menulis sastra Jawa pertama kali pada tahun 1991, pada waktu mengikuti lomba menulis geguritan yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta bersamaan dengan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta. Beliau belajar sastra di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta selama dua bulan sekali dan ikut bengkel sastra yang diadakan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta. Bu Suci Hadi Suwita tidak hanya seorang sastrawan tetapi beliau membuka wiraswasta di bidang kuliner yaitu membuat abon sapi, kering kenthang dan makanan ringan. Kebetulan anaknya yang paling bungsu kuliah di UGM di Fakultas Sastra sehingga beliau bisa belajar dari meminjam buku anaknya. Beliau membuat karya anatara lain membuat cerita sambung untuk anak-anak, cerita cekak atau cerkak, dan artikel, tetapi karya terbesarnya adalah geguritan. Oleh karena itu buku yang sudah dicetak berwujud antologi guritan, yaitu :
1.         Antologi geguritan Megar (2003) yang berisi 72 judul geguritan.
2.         Antologi geguritan Bakal Terus Gumebyar (2010) yang berisi 105 judul geguritan.
Novel pertama yaitu Wedhus Gembel Gunung Merapi, yang berawal dari tahun 1994. Dan semoga karyanya ini bisa menambah banyak pencinta karya sastra jawa.
2.1. Ideologi pengarang
Ideologi pengarang pada novel ini adalah menceritakan tentang likaliku percintaan biyasanya seorang wanita akan tertarik pada perjalanan cinta. Dan pengarang sangat menggambarkan keadaan kota Yogyakarta pada masa itu dan juga memunculkan peristiwa atau musibah yang dialami warga Jogja yaitu tentang dahsyatnya wedhus gembel atau awan panas gunung Merapi. Penulis menghubungkan cerita percintaan dengan keadaan sekitar. Sehingga muncul karya satra yang berjudul Wedhus Gembel Gunung Merapi yang berisi kisah percintaan dan hubungan kisah percintaan dan wedhus gembel terdapat pada akhir cerita dimana kakak yang telah menjadi suami Darmini dan ayahnya.

2.2. Latar belakang kehidupan pengarang
Pengarang atau Suci Hadi Suwita hidup di Yogyakarta sehingga dalam membuat karyanya beliau menggambarkan suasana Yogyakarta sehingga pembaca seolah-olah ikut berperan dalam cerita itu karena menggambarkan seting dnegan sangat jelas. Pengarang kebetulan seorang wanita sehingga beliau memunculkan tokoh utamanya seorang wanita. Padahal dalam ceritanya itu menonjolkan bahwa tokoh utamanya adalah Salim bukan Darmini karena ceritanya mendominasi kisah Salim. Dalam cerita juga tokoh Salim sangat berperan aktif dalam inti cerita. Mungkin penulis tidak ingin ceritanya menjadi cerita Kala Srenggi seperti dalam kisah pewayangan. Atau mungkin pengarang ingin menjunjung martabat wanita sehingga beliau memilih wanita sebagai tokoh utama.
Simpulan
Simpulan pada cerita ini adalah kisah perjalanan hidup yang dialami oleh Darmini dan Salim. Dimana mereka saling mencinta ternyata mereka bersaudara. Mereka sampai menikah karena mereka tidak tau bahwa mereka seorang kakak adik. Semua terungkap ketika Salim dan Duryat masuk ke rumah sakit karena dikenai pisau oleh mbok Nah. Tetapi inti cerita ini dirahasiakan oleh Salim dan Salim menceritakan ini kepada Duryat yaitu ayahnya Salim menceritakan sebelum mereka meninggal terkena awan panas gunung merapi atau yang sering disebut Wedhus Gembel.
Dari segi pengarang yaitu pengarang menceritakan di Yogyakarta yaitu dimana penulis berasal. Dan dalam cerita ini penulis menghubungkan lika-liku percintaan dengan bencana alam yang terjadi yaitu wedhus gembel dan menjadikan judul. Wedhus Gembel dijadikan judul karena rasa sakitnya terkena awan panas dengan kala srenggi sama-sama sakit.
3)      Pesan/amanat dari Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi
Novel yang sedikit membingungkan tapi mempunyai pesan yang terkandung didalamnya yaitu Jangan bersedih apabila pasangan ditakdirkan belum berjodoh, semua yang telah terjadi pasti ada hikmahnya.

Sumber :
Suwita, Suci Hadi. 2011. Wedhus Gembel Gunung Merapi. Yogyakarta:Elmatera
4.      Novel Carang-Carang Garing (Tiwiek, SA)
1)        Latar belakang Novel Carang-Carang Garing
Novel Carang-Carang Garing menceritakan tentang perjalanan suatu keluarga di suatu desa. Sang ayah yang bernama Suyatman bekerja sebagai tukang becak, namun memiliki kegemaran bermain judi. Istrinya, Darminah, berdagang bumbu pasar di pasar desa. Mereka memiliki 4 anak, Darmini, Darmono, Yanto, dan Darto. Keadaan ekonomi keluarga mereka serba kekurangan. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan yang memunculkan berbagai masalah baru. Dengan kata lain, hal yang ditonjolkan dari novel ini adalah tentang keadaan ekonomi yang serba kurang.
Realisasi di jaman sekarang juga masih terjadi, banyak yang nekad melakukan apa saja demi kebutuhan sehari-hari.
Kata Carang-Carang Garing memiliki arti tersendiri. Kata ini merupakan pasemon (perumpamaan) yang menggambarkan kesengsaraan rakyat kecil yang selalu menjadi korban penguasa. Selain harus hidup sengsara mencari nafkah untuk keluarga, masih harus menghadapi kenyataan pahit yaitu hidup di penjara. Ini tergambar dalam petikan berikut.
“Nasibe wong cilik. Wis rekasa ngupaya boga, isih kudu nyandhing lelakon pait kang munthes pangarep-arep dina mburi. Ibarate kayadene carang-carang garing, kang mung kena kanggo sugon geni minangka kayu bakar, tanpa bisa digunakake kanggo kaperluwan liya kang luwih migunani (hlm. 189)”
‘Nasibnya orang kecil. Sudah susah menyandang hidup, masih harus menerima kehidupan pahit yang harus ditanggung. Seperti carang-carang garing, yang hanya bisa untuk api seperti kayu bakar, tanpa bisa digunakan untuk keperluan yang lain yang lebih berguna’
Ringkasan cerita
Suyatman dan keluarganya hidup kekurangan. Banyak masalah yang harus mereka hadapi. Salah satu masalahnya adalah hamilnya Darmini oleh Bambang, dan ketika Darmini meminta pertanggungjawaban dari Bambang, Bambang malah melanggar janjinya. Masalah bertambah ketika Suyatman ingin menggugurkan kandungan Tatik, adik istrinya yang diperistri oleh Camat Heru melalui jamu dari dukun. Ini dilakukan karena Suyatman menginginkan harta Heru agar jatuh ke tangan Darmono, anak Suyatman yang menjadi anak angkat Heru. Ulah Suyatman digagalkan Darmini dengan menukar botol isi jamu tersebut dengan jamu untuk wanita hamil. Jamu dari dukun lalu diminum sendiri oleh Darmini sehingga ia berhasil menggugurkan kandungannya. Akhirnya Tatik tetap melahirkan putra yang bernama Wawan. Sebelumnya, kedatangan Lik Sumi dari Surabaya dengan perubahan yang begitu berbeda dari sebelumnya membuat Darmini ingin ikut dengannya. Lik Sumi sudah mengingatkan namun Darmini memaksa. Akhirnya Lik Sumi mengizinan Darmini untuk ikut dengannya, bekerja di Surabaya. Namun saat mengetahui bahwa Lik Sumi adalah seorang germo, Darmini ragu-ragu. Namun ia berpikir bahwa ia pun sudah tidak suci lagi. Akhirnya ia  memutuskan untuk bekerja dengan Lik Sumi. Saat mendapat job, ia bertemu Bambang. Melihat ada kesempatan untuk balas dendam, ia segera bertindak untuk membunuh Bambang. Setelah berhasil, ia melarikan diri. Di sisi lain, Suyatman yang mengetahui Darmono dipukul Heru menjadi marah, dan berniat menyingkirkan Wawan. Klimaks cerita adalah jatuhnya Wawan di kolam ikan sampai meninggal yang disengaja oleh Suyatman. Akhirnya dengan bantuan Adri, dapat diketahui bahwa yang membunuh Wawan adalah Suyatman. Suyatman akhirnya dijebloskan ke penjara.

1.1.Kemiskinan
Pada permulaan novel diceritakan bahwa Darmini menemui Bambang (seorang pemborong kaya) yang dulu telah berjanji untuk menikahinya. Namun setelah tiga bulan yang ditunggu ternyata tidak muncul kabarnya. Maka Darmini bertekad untuk mencari Bambang dan menagih janjinya. Namun setelah keduanya bertemu, Bambang melanggar janjinya. Ia justru mencaci maki Darmini. Darmini sadar dengan status dirinya sebagai orang miskin. Maka ia pulang tanpa hasil dengan amarah dan kesedihan yang ia pendam.
Dari cerita tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbedaan status sosial mempengaruhi tindakan dan perlakuan seseorang. Seseorang yang miskin dan tidak punya apa-apa  dianggap lemah, dan gampang diperdaya oleh orang kaya, yang lebih kuat. Dengan manisnya Bambang memanfaatkan kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap Darmini, anak dari keluarga miskin.
“Kula ngrumaosi Lik, wontene dipunapusi tiyang nggih mergi kula niki tiyang mlarat. Tiyang mlarat pancen mboten diajeni liyan. Nggih awit saking niku, kula nekad tumut Lik Sumi. Kula pengin sugih Lik,” wuwuse Darmini sawise rampung crita. Halaman 56”
‘Aku ya ngerti Budhe, kenapa dibohongi orang ya karena aku ini orang miskin. Orang miskin memang tidak dihargai orang lain. Maka dari itu, aku wis yakin ikut Budhe Sumi. Aku pengin jadi orang kaya Budhe,” ceritanya Darmini setelah selesai bercerita.’
Gambaran lain dari masyarakat sekitar juga tersirat dari petikan berikut.
… Kowe sesok menyanga Mirigambar, golekana dhukun bayi aran Mbok Sarjinten. Dheweke kuwi pinter gawe jamu sing bisa nyeblokake wetengan. Jamune mandi banget. Wong meteng waton durung kliwat limang sasi, dijamoni sepisan wae wetengane mesthi ceblok. Langganane akeh. Bocah sekolah sing meteng nganggur, bojon pejabat sing padha nyleweng, playune mesthi mrono! …
‘.... Kamu besok pergi ke Mirigambar, carikan dukun bayi yang bernama Mbok Sarjinten. Dia itu pinter membuat jamu yang bisa menggugurkan kandungan. Jamune manjur sekali. Orang hamil tua belum genap lima bulan, diberi jamu satu kali saja bisa langsung keguguran. Pelanggannya sudah banyak. Anak sekolah yang hamil duluan, para pejabat yang suka selingkuh, perginya pasti kesitu!’
Dari petikan di atas terlihat bahwa dengan dipercayanya Mbok Sarjinten, kasus hamil di luar nikah banyak terjadi di Mirigambar dan sekitarnya. Ini menunjukkan penurunan moral masyarakat. 

1.2. Terjebak menjadi wanita penghibur
Di sini masyarakat digambarkan dengan pola pemikiran yang masih tradisional, yang cenderung berorientasi pada peningkatan ekonomi diiringi kurangnya pertimbangan atau bahkan tanpa pertimbangan terhadap sesuatu hal yang akan dilakukannya.
 “Tiyang kagelan kados kula boten enten bentene mbutdamel awon napa sae. Sing baku angsal yatra lan cepet sugih Lik,” ujare Darmini manteb. Manteb lan nekat. Darmini sajak ora perduli. Dheweke wis ora mikir, sing arep dilakoni mengko kuwi klebu dosa apa pahala…. (hlm. 56)
‘orang berdosa seperti saya tidak ada bedanya kalau mencari pekerjaan yang benar. Yang penting menghasilkan uang dan bisa cepat kaya Lik,” ucapannya Darmini manteb. Manteb dan nekad. Darmini sudah tidak peduli. Dia sudah tidak mau ambil pusing, yang akan dilakukan nanti itu termasuk dosa atau pahala.’
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keraguan bagi Darmini untuk masuk ke dalam jurang kemaksiatan karena ia menganggap dirinya sudah kagol. Semangat hidupnya sudah pupus karena ia menganggap dirinya sudah tidak suci lagi . Orientasi Darmini beralih ke bagaimana cara untuk mendapatkan banyak uang.
“Ora beda karo Karsih biyen, najan wis dadi bau tengene Sumi nanging uga isih ngrangkep dadi dagangan. Panemune, yen mligi dadi pembantune Sumi bae ora cepet sugih. Mangka Darmini kepengin banget sugih. Mula pakaryan sing sedurunge babarpisan ora nate klebu angen-angen iku kepeksa dilakoni. Dadi waniya lanyah! Ning kelase Darmini luwih dhuwur yen dibanding karo kanca-kancane padha-padha dagangane Lik Sumi. Darmini kalebu wanita panggilan kelas menengah ke atas! Taripe larang. Sing nyenengake , tarip sing ditampa saka pelanggan ora wajib setor marang Lik Sumi. Sawutuhe dadi hake dhewe. Mula ora aneh yen celengane wis nglumpuk akeh. Halaman 57”
‘Tidak sama dengan Karsih dahulu, walaupun sudah menjadi pembantu atau tangan kanannya Sumi tapi juga sih merangkap menjadi “penjual”. Menurutnya, apabila hanya menjadi pembantunya Sumi saja tidak akan cepat kaya. Karena Darmini sudah sangat ingin kaya. Maka dari itu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah sama sekali diimpikan, itu terpaksa harus dilakukan. Menjadi wanita penghibur! Tapi kelasnya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang sama-sama penjualnya Budhe Sumi. Darmini termasuk wanita panggilan kelas menengah ke atas! Tarifnya mahal. Yang menyenangkan, tarif yang dihasilkan dari pelanggan tidak wajib menyetorkan ke Budhe Sumi. Seutuhnya menjadi hak pribadi. Maka tidak aneh apabila tabungannya sudah menumpuk banyak.’

1.3.Irrasional
Novel ini memberikan gambaran bagaimana keadaan sosial masyarakat yang cenderung mempercayai mimpi, gugon tuhon, dan takhayul. Keadaan masyarakat desa yang masih kental dengan adat tradisi mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku mereka.
Di awal novel diceritakan bagaimana reaksi masyarakat dengan keanehan yang terjadi di sungai. Sungai yang semula tidak pernah ada udang tiba-tiba mengeluarkan banyak udang. Banyak warga yang memanfaatkan peluang itu. Namun ada seseorang yang mengingatkan untuk menghentikan pencarian udang. Gambaran masyarakat pada saat itu tercermin dalam petikan novel berikut.
“Pak Gumbreg nyedhak karo krenggosan. Tembunge,”Nek pengin slamet aja kok bacutne nggonmu amek urang. Aku mentas ngimpi ditemoni mbah Brewok,”ujare Pak Gumbreg tumemen. “Heh?! Sapa Mbah Brewok iku Kang?” pitakone saweneh uwong.
‘Pak Gumbreng mendekat dengan was-was. Ucapannya, “Apabila ingin selamat janganlah kamu mencari udang. Aku tadi malam habis mimpi ditemui mbah Brewok, katanya Pak Gumbreng itu sering banget mencari udang. “Heh?! Siapa mbah Brewok itu Kang?” tanya orang.’
“Wah, mosok wong kene rung tau krungu? Cilaka ane! Mbah Brewok ki dhemit sing mbaureksa kali kene iki. Urang sing ujug-ujug muncul samene akehe iki klebu ingon-ingone. Ingon-ingone Mbah Brewok!”
“Hahh?! Wong-wong mbengok bareng. Banjur padha ngowoh. Gumun campur miris. …
Swasana bali gumyek. Pakaryan amek urang ing dina iku mandheg jegreg. Malah oleh-olehane padha diguwangi menyang kali. Sing dirembug ganti bab anggone arep asok tumbal. (halaman 29-31)”
‘”Wah, masa orang sini belum pernah mendengarnya? Bahaya banget! Mbah Brewok ini hantu yang menguasai sungai di sini. Udang yang tiba-tiba muncul banyak seperti ini termasuk peliharaannya Mbah Brewok!’
“Hahh?! Orang-orang berteriak semua, terus diam sejenak. Heran bercampur sedih. ...
‘Suasana kembali ramai. Pekerjaan menangkap udang pada hari itu berhenti semua. Malah hasil yang sudah tertangkap dikembalikan lagi ke sungai. Yang dibahas ganti tentang bagaimana kita mencari tumbal.’
Dari petikan tersebut dapat diambil simpulan bahwa masyarakat daerah tersebut masih percaya dengan adanya mimpi kadaradasih (akan menjadi kenyataan). Ini menunjukkan pola pikir masyarakat yang masih setia dengan gugon tuhon. Adanya rembugan untuk memberikan tumbal merupakan salah satu wujud guyup rukun masyarakat.
Wujud tenggang rasa juga terlihat dalam cerita ini. Ketika ada kesempatan bagi warga untuk memperoleh keuntungan dari munculnya kejadian yang tak terduga, masyarakat bersama-sama mencari, namun tidak tampak ada perebutan. Mereka merasa nglenggana bahwa mereka sama-sama mencari keuntungan yang diberikan Tuhan melalui kejadian yang tak terduga.
Untuk menyelesaikan masalahnya akibat perbuatan Bambang dan menghentikan rencana jahat Suyatman untuk menggugurkan kandungan Tutik, Darmini menggunakan trik dengan mimpi yang dibuat-buat. Ia paham bahwa Suyatman sangat percaya dengan mimpi. Mendengar bahwa anak Tutik kelak akan memberi kebahagiaan pada keluarganya, Suyatman kemudian membatalkan rencananya.
Dibuktikan dalam cuplikan novel berikut.
“Darmini mesem. Banjur, “Pak, Pak. Aku maeng bengi iki rak isa turu-turu. Eh, bareng esuk iki maeng isa turu dadakna ngimpi,” ujar Darmini wiwit ngetrepake rantamane. Halaman 33”
‘Darmini mesem. Terus, “Pak, Pak. Aku tadi malam ini tidak bisa tidur. Eh, sudah pagi baru bisa tidur jadi ngimpi,” kata Darmini mulai menjalankan misinya.’
“Ngimpi apa Min? Adakane ngimpi wayah ngarepake subuh ngono ki sok ndaradasihi,” tumanggape Suyatman. Halaman 33.   
‘Mimpi apa Min? Biasanya mimpi wayah pagi itu pertanda baik,” jawab Suyatman.
“Anu-e Pak, rumangsaku Bulik Tutik ki ngandheg. Ngene Pak, rumangsaku aku ki ditekani nini-nini tuwa nggawa teken. Nini-nini kasebut omong nyang aku, --Ndhuk... dakkandhani ya, bulikmu tutik mono saiki ngandheg ngono Pak kandhane,” crita karangan kuwi diucapake Darmini kanthi tumemen. Bubar moni ngono meneng sedhela, nyawang bapake ngiras meruhi kepriye reaksine wong lanang kang ngukir jiwa ragane iku. Halaman 34”
‘Itu Pak, menurutku Bulik Tutik ini sedang hamil. Kene Pak, menurutku aku ini didatangi nenek-nenek sambil membawa teken. Nenek-nenek itu ngomong ke aku, --Ndhuk... tak omongi ya, bulikmu Tutik itu sekarang lagi mengandung begitu Pak omongannya,” cerita karangan itu diucapkan Darmini dengan serius. Setelah bicara seperti itu terus diam sejenak, melihat bapaknya bagaimana reaksinya laki-laki yang mengukir jiwa raganya itu.’
2)        Latar belakang pengarang
2.1. ideologi
Tiwiek SA itu nama panggilan. Nama yang aslinya yaitu Suwignyo Adi. Tiwiek lahir di Tulungagung tepatnya tanggal 8 Juni 1948. Setelah tamat sekolah Guru (SPG 1970) terus langsung diangkat menjadi guru di SD Negeri Karangtalun 01 Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung (Jawa Timur). Mulai tanggal 1 September 1995 diangkat menjadi Kepala Sekolah di SD Negeri Rejosari 02, itu juga berada di daerah Kecamatan Kalidawir. Dan setelah pindah-pindah pada akhirnya kembali lagi ke SD Karangtalun 01 dan Insya allah nyampai pensiun.

Wiwiek mengarang mulai tahun 1972 yaitu menulis tentang cerita pendek (cerkak) yang pertama dengan judul Milah yang telah dimuat di Panyebar Semangat No. 27 1972. Mulai dari itu Tiwiek sering mengarang. Tulisannya tidak hanya cerkak tapi juga menulis novel , cerita rakyat , cerita anak, cerita remaja, artikel dan jurnalistik. Tulisan-tulisan itu termuat di majalah basa Jawa, seperti Panyebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, Parikesit, Jawa Anyar, dan Damar Jati. Sampai akhirnya tahun 2008 yang karyanya sudah meluas seperti cerita pendek ada 151 judul, cerita sambung (novel) 31 judul, cerita sambung 13 judul, cerita remaja sambung 12 judul, cerita anak sambung 7 judul, cerita pendek anak 29 judul, cerita pendek Jarwan 12 judul. Cerita rakyat yang telah diterbitkan ada 6 judul. Terakhir artikel dan jurnalistik tidak sempat untuk didokumentasikan.

Selain mengarang dengan ragam jawa, Tiwiek Sa juga sering mengarang menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam wujud novel anak dan umumnya sudah diterbitkan menjadi sebuah buku. Malah ada 5 judul yang digambarkan untuk bacaan anak SD se-Indonesia yaitu : Paskab Pasopati, Sumber Beji, Kedai Bisu, Keberanian Tak Terduga, dan Retno si Cabe Rawit. Yang memuaskan yaitu pernah menjadi juara mengarang (untuk Guru) tingkat Nasional tahun 1986 dan tahun 2005.
Tanggal 18 Mei 1980 bersama dengan Tamsir AS dan enam penulis muda lainnya mendirikan Sanggar Sastra Triwida yang anggotanya merupakan pengarang Jawa dari Blitar, Tulungagung dan Trenggalek. Akan tetapi baru saja bisa menerima anggota dari mana saja. Malah ada salah satu anggotanya yang berasal dari Suriname yaitu Almarhum Bamin Harjoprayitno. Sepertinya karena ikut membangun lahirnya sanggar untuk tempat melestarikan sastra Jawa ini yang sampai saat ini tetap aksis dan tambah berjaya di tahun 2008 Tiwiek SA mendapatkan penghargaan dari Yayasan Rancage dan dari Yayasan Umni Aminah Pondation.

Tiwiek SA yang mendapatkan gadis sedesanya bernama Ruliyah ini dikaruniai anak 3 perempuan semua. Anak yang pertama bernama Wahyu Widyoratno (lahir tahun 1972) menjadi guru Basa Jawa di SMP 01 Pucanglaban Tulungagung yang sudah memberikan cucu laki-laki. Anak yang kedua bernama Wahyu Rosita Dwei (lahir tahun 1977) sekarang menjadi staf pengajar di LPMBK Malang yang telah memberikan cucu perempuan. Anak yang terakhir bernama Wahyu Savitri Intan Hapsari (lahir tahun 1981) menjadi guru Teknik Bangunan di SMK 3 Tulungagung tetapi belum berumah tangga. Sekarang hidup tentram di desa Karangtalun RT 04/RW III Kecamatan Kalidawin Tulungagung (Jawa Timur).
Penulis Tiwiek SA merasa kasusastran Jawa modern cukup membuat miris. Antologi cerita cekak, antologi puisi dan novel mulai sejak 90anterus menerus terbit, seperti “Donyane Wong Culika”karangannyaSuparta Brata, Sarunge Jagung dan Donga Kembang waru karangan Trinil, dan Singkar karangan Siti Aminah. Buku yang terbit selain karya dari sastrawan-sastrawan yang sudah lama berkiprah di jagad kasusatran Jawa, juga hasil karyannya sastrawan muda yang mewakili jamannya.
            Tiwiek SA memang sadar bahwa sudah kehilangan sastrawan-sastrawan gamben, seperti Susilomurti, Esmiet, Muryalelana, Suripan Sadi Hutomo, Tamsir AS, Poer Adhi Prawoto, St. Lesmaniasita, Mochamad Nursyahidi P, Anjrah Lelana Brata, dan lain-lain. Tetapi bab itu tidak mengurangi semangat para pengarang-pengarang lainnya yang berada didalam dunia Kasusastran Jawa yang mewakili jamannya.
            Tiwiek SA (Suwignyo Adi mewujudkan pengarang sastra Jawa yang mahir. Hasil karyanya sudah menyebar di majalah-majalah yang terbit di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ciri khas novel dan cerita cekak karya dari Tiwiek SA ada yang ketika memilih tema yang berhubungan dengan kehidupan dipedesaan, alur cerita yang kompleks, dan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita terlihat jelas karakter-karakternya, begitu juga dengan setting (latar) yang kelihatan sangat hidup sekali, seolah-olah yang membaca seperti terhanyut didalam alam pikiran dan perasaan para paraga di cerita.
            Novel Carang-Carang Garing mempunyai kekuwatan yang berada di judul, tema, penggambaran parah tokoh-tokohnya, penggambaran latar, pemilihan kata-kata dan diksi. Kata  Carang-Carang Garing dipilih menjadi judul bukan karena tanpa alasan. Kata-kata itu adalah pengibaratan yang menggambarkan susahnya orang kecil yang selalu menjadi korban para penguwasa. Selai itu hidup yag susah mencari penghidupan untuk keluarga-keluarganya. Hal tersebut terbukti dalam kutipan sebagai berikut:
            Nasibe wong cilik. Wis rekasa ngupya boga, isih kudu nyandhing lelakon pait kang munthes pangarep-arep dina mburi. Ibarate kayadene carang-carang garing, kang mung kena kanggo sugon geni minangka kaya bakar, tanpa bisa digunakake kanggo kaperluwan liya kang luwih migunani (halaman 189)
            Tema kehidupan orang-orang di kalangan pedesaan yang sudah banyak diangkat didalam kesusatran Jawa modern. Tetapi tema didalam novel ini khas, susahnya hidup yang dijalani oleh Suyatman untuk mencukupi kebutuhan keluwarganya yang mempunyai anak empat. Semantara dia hanya berprofesi sebagai tukang becak yang sangat kekuranga. Suyatman masih mempunyai kebiasaan buruk yaiku judi dan togel.
            Selain itu Suyatman mempunyai pikiran jelek membunuh ponakannya (Aris Setiawan) arena menginginkan warisan dunianya dari adik ipar (Heru) yang menjadi Camat Kalidawir supaya diberikan kepada anaknya sendiri yang sudah dijadikan anaknya sendiri. Tema yag seperti ini bisa menumbuhkan greget kepada para pembaca yang ingin melihat kehidupan di pedesaan.

2.2. lingkungan kehidupan pengarang
Pengarang menulis novel tersebut dikarenakan ingin supaya pembaca bisa menambah pengalaman tentang hakikat hidup dan kehidupan. Bahasa dalam novel ini juga tidak terlepas dari dialek-dialek karena pengarang sengaja menonjolkan dialek terutama dialek Tulungagung (tempat kelahiran pengarang).novel ini sudah pernah difilmkan di TVRI.
Tiwiek SA merupkan nama kedua, nama aslinya adalah Suwignyo Adi. Tiwiek SA lahir di Tulungagung pada tanggal 8 Juni 1948.setelah tamat SPG (Sekolah Pendidikan Guru) kemudian dingkat menjadi guru di SD Negeri Karangtahun 1 Kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung (Jawa Timur). Mulai tanggal 1 September 1995 dipromosikan menjadi Kepala Sekolah di SD Negeri Rejosari 02 juga di Kecamatan Kalidawir. Dan setelah berpindah-pindah kemudian kembali lagi ke SD 1.
            Tiwiek SA mulai mengarang pada tahun 1972. Cerita cekak yang pertama ditulis yaitu yang berjudul “Milah” yang diterbitkan oleh Panyebar Semangat No. 27 tahun 1972. Mulai saat itu Tiwiek mulai rajin menulis. Tulisannya tidak hanya cerkak, novel, cerita rakyat, cerita anak, cerita remaja, artikel dan reportase. Tulisan-tulisannya tersebut dicetak di majalah-majalah berbahasa Jawa, seperti Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, Parikesit, Jawa Anyar dan Damar Jati. Sampai terakir tahun 2006 karyanya sudah ada cerkak yang berjumlah 151 judul, cerita anak bersambung 7 judul, cerita cekak anak 29 judul, cerita cekak jarwan 12 judul. Cerita rakyat yang terbit menjadi buku ada 6 judul.
            Walaupun mengarang dalam bahasa Jawa, Tiwiek SA juga sering mengarang degan bahasa Indonesia yang bewujud novel anak dan umumnya sudah diterbitkan menjadi buku. Bahkan ada 5 judul yang diimpreskan untuk bacaan anak SD seIndonesia yaitu: Paskab Pasopati, Sumber Beji, Kedai Bisu, Keberanian Tak Terduga dan Retno Si Cabe Rawit. Yang membuat heran Tiwiek SA pernah menjadi juara ngarang (kanggo Guru) tingkat Nasional tahun 1989 dan tahun 2005.
            Tanggal 18 Mei 1980berbarengan dengan Tamsir AS dan enam penulis muda lainnya mendirikan Sanggar Sastra Triwida yang sebagian anggotanya menjadi pengarang Bahasa Jawa dari Blitar, Tulungagung dan Trenggalek, tetapi masih bisa menerima anggota dari mana saja. Ada juga anggotanya yang beraal dari Suriname yaitu almarhum Ramin Harjoprayitno. 
            Novel “Carang-Carang Garing” ini dulu sudah pernah dicetak di majalh Jaya Baya dengan sambungan (JB No. 46/ Juli/ 1983 sampai JB No. 4/ September/1983). Juga sudah pernah dibuat sinetron yang disiarkan di TVRI Surabaya dengan judul “Ranting-Ranting Kering” dengan penulis skenario/sutradara Asmayadi. Sesudah diperbaiki dan diedit lagi kemudian film “Ranting-Ranting Kering” kemudian tercetaklah novel “Carang-Carang Garing”.
            Novel “Carang-Carang Garing” mempunyai kekuwatan yang beradda di judul, tema, penggambaran tokoh, penggambaran latar, dan pemilihan diksinya. Tembung Carang-carang Garing dipilih menjadi judul bukan karena tanpa alasan. Kata-kata tersebut menggambarkan penderitaan orang kecil yang menjadi korban para penguwasa. Selain hidup sengsara mencari nafkah untuk keluarga, masih harus menghadapi kenyataan pahit yaitu hidup dipenjara.

            3)   Penutup/pesan tentang Novel Carang-Carang Garing
Amanat yang terkandung dalam novel ini yaitu pembaca bisa memahami bagaimana hakikat kehidupan. Hidup tidaklah mudah, seperti dalam novel ini yang menceritakan tentang kehidupan tukang becak dengan ekonomi yang rendah.
Apabila sedang tertimpa musibah seharusnya terus berusaha dan berikhtiyar, meminta segala sesuatu hanya kepada Tuhan yang Maha Esa, janganlah mempercayai hal-hal yang irrasional karena kita hidup di jaman modern bukan lagi di jaman tradisional.

http://enirosdewi300194.blogspot.com/2014/12/kosmologi-dan-kosmogoni-novel-carang.html
SA, Tiwiek. 2009. Carang-Carang Garing. Surabaya: Alfina Primatama.
5.      Novel Singkar (karya Siti Aminah)
1)      Latar belakang novel Singkar
Singkar adalah novel berbahasa Jawa karya Siti Aminah. Singkar juga merupakan nama sebuah desa yang menjadi latar cerita tersebut. Dalam novel ini, dengan tokoh utama perempuan muda bernama Nani, pengarang mengangkat konflik sosial yang masih kental di masyarakat Jawa, yaitu masalah perjodohan.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel Singkar ini menitikberatkan pada peranan tokoh perempuan. Tokoh-tokoh tersebut yaitu Nani, Narumi, Sipon, Inten, Sartinah, Alsa, dan Mbak Marni. Tiap-tiap tokoh tersebut memiliki peran yang berbeda-beda, peran tokoh-tokoh tersebut meliputi peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Dalam novel ini terdapat tujuh tokoh perempuan dan lima di antaranya menjalani ketidakadilan gender yaitu Nani yang akan dijodohkan oleh ibunya dengan orang yang tidak ia cintai, tetapi Nani berani menentangnya. Narumi yang sejak kecil hidup sengsara, harus putus sekolah, dipaksa ibunya agar mau menikah dengan orang pilihan orang tuanya itu padahal Narumi sudah jatuh hati pada tetangganya, Nurdin. Demi ibunya, ia harus meninggalkan orang yang dicintainya, Narumi hanya bisa pasrah dan menuruti kata-kata ibunya. Sipon yang hidup sebagai janda dengan yang anak masih kecil-kecil, setiap hari dia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan sikap sabar yang dimilikinya, Sipon melalui hari-harinya tanpa didampingi seorang suami. Sartinah juga seorang janda. Dia diceraikan oleh suaminya karena sering menyakiti hati suami dan iri bila melihat tetangganya memiliki barang baru. Sebagai janda, Sartinah juga harus bekerja keras untuk membiayai sekolah anaknya dan mencukupi semua kebutuhan keluarga, ia menghadapi semua itu dengan sikap yang sabar. Adapun Alsa adalah seorang mahasiswa yang hamil di luar nikah akibat berkali-kali melakukan hubungan intim dengan pacarnya, Nusa. Setelah Nusa menjelaskan semua yang terjadi antara dia dengan Alsa kepada orang tua Alsa, bapak Alsa sangat marah. Nusa dengan keluarganya diusir oleh bapak Alsa. Alsa dilarang kuliah, dan juga dilarang bertemu dengan Nusa. Alsa hanya bisa pasrah dengan keputusan ayahnya. Perspektif pengarang terhadap tokoh perempuan dalam novel Singkar antara lain adalah lewat tokoh Nani. Sebagai seorang anak Nani berani menentang perintah ibunya yang ingin menjodohkan ia dengan Kurniawan. Karena terus dipaksa oleh ibunya, akhirnya Nani memutuskan untuk kabur dari rumah. Sebagai mahasiswa, selain mengerjakan skripsi, Nani juga masih sibuk dengan kegiatan BEM di kampusnya. Sebagai seorang remaja, Nani juga memiliki rasa cinta terhadap laki-laki. Buktinya ia memiliki pacar, yaitu Nusa.
Sekilas tentang sinopsis novel singkar dapat diceritakan sebagai berikut
Narumi akan memberikan uang saku pada Nani tapi dengan syarat ia harus menerima Kurniawan, bukan dulu untuk dinikahi tapi untuk dijadikan kekasihnya. Nani menolak dan langsung pergi dengan hati yang masih kesal karena ulah ibunya yang selalu memaksa untuk menerima Kurniawan. Narumi selalu memojokkan Nusa kekasih Nani yang tidak jelas keluarga dan nasipnya, sedangkan Kurniawan dianggap memiliki masadepan yang cerah. Nani membela Nusa, katanya nasip sesorang tidak ada yang tau siapa tau nasipnya akan bahagia dengan orang yang ia cintai, sedangkan Kurniawan yang menurut ibunya keluarga baik-baik apa buktinya, malah ayahnya saja menikah dengan orang lain lagi. Dengan pembelaan seperti itu Narumi bisa diam sejenak tapi nanti lain waktu pasti mengungkit-ungkit masalah itu lagi.
Seperti biasa Nani sepulang kuliah ia dijemput oleh Kurniawan. Saat akan pulang Kurniawan melihat Nani mengobrol mesra dengan laki-laki lain. Ditengah perjalanan pulang Kurniawan marah dengan dan meminta penjelasan, tapi itu ditanggapi remeh oleh Nani karena Nani merasa belum terikat kata jadian denganya. Nani mengatakan jika masih marah ia akan kembali ke kampus untuk meminta antar pulang denagn teman yang tadi, dengan terpaksa Kurniawan menyudahi perbincangan tadi. Kurniawan mengatakan semua bahwa ia sangat menyayangi Nani, Nani menjawab kalau dia sudah menggapggap Kurniawan sebagai kakanya sendiri bukan siapa-siapa.
 Narumi membayangkan dulu ia terlahir dari kelauga petani yang hidupnya bisa dikatakan kurang mampu. Apalagi saat ditinggal ayahnya meninggal maka ia sebagai anak sulung juga harus menbantu mencari nafkah untuk menghidupi adik-adikya. Ia juga harus putus sekolah karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah yang sedang kekurangan. Tidak selang beberapa waktu lama, Narumi dipaksa untuk menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Hatinya sangat sedih, melebihi sakit saat ia ditinggal meninggal oleh ayahnya. Hatinya bimbang karena ia sudah mempunyai pilihan sendiri siapa pendamping hidupnya tetapi ia juga tak amu mengecewakan orang tua yang tinggal satu-satunya yaitu ibu kandungnya. Tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan ibunya.
Tanpa fikir panjang Nani memutuskan untuk sementara waktu sebaiknya ia pergi dari rumah karena kalau dirumah pasti akan adu argumen denagn ibunya. Pagi-pagi titok adik Nani mengetok pintu kamar Nani yang dari tadi tidak keluar kamar ternyata Nani tidak ada dikmarnya. Atas perintah ibunya Titok mencari Nani kesana-kemari ke teman Nani sampai Ke Nusa Kekasih Nani ternyata tidak ada. Nusa tidak tau kalau Nani akan pergi meninggalkan rumah.Nusa mencoba mengirim pesan singkat sampai menelfonnya tapi telefon genggamnya tidak aktif. Nani sengaja mematikan telefon Genggam karena ia ingin kedamaiaan tanpa diganggu siapapun. Nani menginap dirumah Inten teman semasa SMA dulu.
Sekarang Nusa sedang menjalankan masa KKN disebuah desa yang berada di lereng gunung Merapi. Disana Nusa menjelaskan dan memberi pengarahan tentang pertanian. Awlnya orang-orang kurang setuju denagn ide Nusa yang selalu memberi penyuluhan tapi lama-kelamaan warga masyarakat mengakui ada gunanya mengikuti penyuluhan dari Nusa. Sewajarnya ada orang yang suka pasti ada orang yang kurang suka dengan ide-ide Nusa.
Keseharian Nani dirumah Inten kalau sore hari ia membantu Inten untuk mrngajar mengaji anak-anak disekitar rumah Inten yang bertepatan di Masjid terdekat. Selama di rumah Inten, Inten selalu menasihati Nani, kalau sebenarnya seorang ibu sanagtlah sayang pada anaknya, seekor ibu macan pun tidak akan memakan anaknya sendiri, termasuk  ibunya Nani ia yakin bahwa sangat menyayangi Nani. Dengan menjodohkan Nani dengan orang pilihan ibunya itu merupakan bentuk kasih sayangnya. Mungkin dari pihak ibuya menganggap bahwa dengan dijodohkan dengan orang yang kehidupan materi saat ini baik mungkin besoknya anaknya akan merasa bahagia tanpa kekurangan harta seperti yang dialami oleh ibunya dulu. Tapi hidup berdampingan dengan orang lain tidaklah pandang harta saja, apa gunanya kalau punya harta banyak tapi tidak ada rasa cinta. Setelah agak tenang dengan nasihat Inten, Nani menyalakan telefon genggamnya yang sudah dinon-aktifkan beberapa hari yang lalu. Setelah dinyalakan, masuklah semua pesan singkat yang dikirim untuknya baik dari Titok dan Nusa. Lalu Nina menelfon Nusa untuk besok mememui dirinya dirumah Inten sahabatnya dulu di masa SMA. Keesokan harinya Nusa terlambat karena bangun kesiangan. Nani yang menunggu sejak tadi merasa jenuh hampir saja ia pergi lagi, tapi kemudian Nusa datang. Langsung tanpa basa-basi Nani menjelaskan alasan ia meninggalkan rumah, Nani meminta supaya Nusa segera menemui kedua orang tua Nani yang menandakan keseriusannya menjalin hubungan dengan Nani. Mendengarnya Nusa bingung, ia hanya terdiam saja tanpa sepatah kata pun. Sampai ia berpamitan pulang Nusa tidak mengatakan YA.
Sementara di rumah Narumi,Kurniawan pulang ke rumahnya untuk menghadiri pernikahan ayahnya dengan isteri mudanya. Setelah pernikahan ayahnya dengan wanita lain Kurniawan harus berkerja menggantikan posisi ayahnya. Sampai ketika ia tidak punya uang sedangkan adiknya meminta uang bayaran sekolah. Ibunya hanya bisa menangis karena merasa tak berdaya. Lalu ada usul untuk menemui ayahnya untuk meminta bayaran. Awalnya Kurniawan menolak tapi demi adiknya tak apalah ia merendahkan diri dihadapan ayahnya. Selang berapa hari ayahnya datang dan menemui Kurniawan dengan memberi uang yang diminta, tak lupa ayahnya meminta maaf kalau ia menyakiti hati anaknya. Walaupun ayahya mengatakan dengan mengeluarkan air mata tapi Kurniawan tak meneteskan air mata sedkitpun itu dikarenakan rasa kecewanya pada ayahnya yang sudah amat sangat membekas.
Disaat usaha penyuluhan Nusa lancar disambut hangat oleh masyarakat, tiba-tiba datang segerombolan orang yang dipimpin oleh…… menyuarakan pendapat bahwa Nusa harus segera diusir dari desa, karena ia bukanlah laki-laki yang baik, ia telah mengahamili anak orang tanpa tanggungjawab. Mendengarnya  Nusa hanya bisa diam, karena memang begitulah kenyataannya. Tapi pak Parjo, orang yang punya rumah yang ditinggali Nusa mengatakan kasihanilah dia, biarkan ia menginap setidaknya sampai esok hari akrena sekarang sudah larut malam. Keesokan harinya semua barang sudah siap untuk dibawa pergi oleh Nusa. Tiba-tiba saja ada gempa yang mengguncang tanah Yogyakarta. Banyak orang yang meninggal termasuk Pak Parjo. Setelah mengurus jenazah Pak Parjo Nusa segera menuju ke rumah Nani.
Nani kaget dengan guncangan yang melanda, ia langsung teringat pada keluarganya yang berada di rumah. Ia segera pergi dari rumah Inten lalu pulang ke rumahnya. Setelah sampai dirumahnya tidak ada orang yang ditemuinya. Ia menduga bahwa keluarganya sekarang ada dirumah neneknya. Karena ia merasa belum selesai urusannya dengan ibunya maka ia hanya berada di rumah yang hampir rubuh itu. Saking lama ia duduk didepan rumah yang semilir ia tertidur. Tiba-tiba ia terbangun medengar suara motor yang berhenti di depan rumahnya. Ternyata yang data adalah Nusa. Bahagianya Nani dijenguk Nusa. Nusa menceritakan semua yang telah terjadi termasuk mengapa ia belum bisa bertemu dengan orang tua Nani. Dia menceritakan kalau ia telah diusir dari desa KKN karena ia diberitakan telah menghamili anak orang. Ia menceritakan kalau dulu sebelum KKN ia pernah dekat dengan cewek yang bernama Alsa yang berasal dari Surabaya. Awalnya hanya dekat tapi lama-kelamaan mereka berpacaran, karena Nusa sering pulang malam maka ia menginap di kontrakan Alsa. Tidak dipungkiri kalau sepasang kekasih bermalam dalam satu rumah tanpa ada pengawas maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka berdua melakukan hubungan yang layaknya dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Awalnya Alsa menolak tapi daya seorang wanita tidak bisa menandingi daya laki-laki maka alsa pun pasrah denagn yang terjadi. Hubungan itu dilakukan sering kali, sampai saatnya Alsa diketahui telah hamil. Nusa yang awalnya ingin tanggunga jawab dengan datang menemui orang tua Alsa tapi niat baik itu ditolak oleh orang tua Alsa. Mendengar cerita Nusa, Nani kanget sekagetnya entah apa yang harus dilakukan. Nusa apa masih pantas untuk ditunggu jawabannya atau tidak, ia bingug. Setelah cerita Nusa pergi demi menenangkan hati Nani. Nani yang bingung maka pergi menuju rumah neneknya. Disana ada keluarga penuh yang sedang kumpul bersama.
1.1.Poligami
Novel singkar menceritakan tentang poligami antara ibunya Kurniawan Sartinah dengan bapaknya Kurniawan yaitu Samhadi, sehingga Sartinah memilih menjadi single parent. Kurniawan sangat sedih ketika Samhadi lebih memilih menikah lagi dengan wanita lain, daripada bertahan hidup dengan Sartinah. Dibuktikan dalam cuplikan dibawah ini.
“Meh wae Kurniawan ngantemi bapake nalika iku. Atine kemropok. Wong lanang iku prasasat wis ora ana ajine ing ngarepe. Minangka wakile makne, Kurniawan ora ngidine Samhadi ngrabi Sriyati. Kanthi pawadan apa wae, Kurniawan ora nglilani. Nalika diwenehi pilihan, mbacutake sesambungan karo Sriyati kang tundhone kelangan anak bojo utawa ninggalake Sriyati lan bali marang kaluwargane, pranyata Samhadi ngeboti wong wadon kuwi. Sanalika pecah tangise Kurniawan. Tanpa mikir dawa, dheweke nundhung Samhadi lunga. Halaman 34.”
“Hampir saja Kurniawan memukul bapaknya ketika itu. Hatinya campur aduk. Laki-laki itu langsung tidak ada harganya didepannya. Sebagai wakil dari ibunya, Kurniawan tidak mengijinkan Samhadi menikahi Sriyati. Dengan alasan apa saja, Kurniawan tidak merelakannya. Ketika dikasih pilihan, milih antara Sriyati yang pada akhirnya akan kehilangan anak istrinya atau meninggalkan Sriyati dan kembali kepada keluawarganya, ternyata Samhadi memilih wanita itu. Setelah itu banjir tangisnya Kurniawan. Tanpa berfikir panjang, dia menyuruh Samhadi pergi.’
“Bareng ditinggal Samhadi lunga karo wadon liya, Sartinah rumangsa ana perangan kang ilang saka uripe. Najan wis ora tau ngambruk maneh, wong wadon iku asring thenger-thenger dhewe. Uripe kelangan daya. Dina-dinane malih peteng. Kebak luh. Rasa lara lan keranta-ranta. Sawah ora kopen, kebon kapiran. Tujune mbokne ora jeleh, sabendina ngelingake menawa anak-anake sartinah isih padha mbutuhake tanggung jawabe. Halaman 35.”
‘Setelah ditinggal Samhadi pergi dengan wanita lain, Sartinah merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Walaupun sudah tidak pernah sakit lagi, perempuan itu sering merasakan kesepian. Hidupnya kehilangan kekuatan. Hari-harinya berubah menjadi gelap. Penuh dengan air mata. Rasa sakit yang menyiksa. Sawah tidak terurus, kebun terlupakan. Tujuannya ibunya tidak salah, setiap hari mengingatkan bahwa anak-anaknya Sartinah masih membutuhkan tanggung jawabnya.’
Cuplikan novel diatas merupakan bukti bahwa dalam novel tersebut, salah satu tokoh perempuan menjadi objek poligami.
1.2.Percintaan
Selain perjodohan yang diungkit pada novel ini, ternyata percintaan juga mendominasinya. Misalkan saja percintaan yang dialami oleh tokoh Narumi dengan Nurdin, Nani dengan Nusa, Kurniawan dengan Nani, Nusa dengan Alsa. Dimana Narumi mencintai Nurdin, Nani mencintai Nusa, Kurniawan mencintai Nani dan Nusa mencintai Alsa. Seperti di buktikan dalam cuplikan novel berikut.
“Nani nyelehake awake ing dhipan, panggah ngekep guling sinambi sesengrukan. Sasuwene iki, dheweke nyoba nglelipur atine manawa panjangka kang beda antarane dheweke lan Nusa bakal ketemu ing sawijining wektu. Awit Nani percaya menawa tresna mono kuwawa nyawijikake dalan kang beda...” halaman 75.”
‘Nani menyandarkan badannya ke dipan, dengan memeluk bantal guling sambil menangis. Selama ini, dia mencoba menghibur hatinya supaya antaranya dia dan Nusa bisa bertemu di lain waktu. Karena Nani percaya bahwa cinta itu bakal menunjukan jalan yang berbeda.’
“Ora krasa Kurniawan mrebes mili. Rasa gagahe minangka wong lanang kala-kala ilang menawa mikir bab kenya kuwi. Katresnan kang kabangun tetaunan, karabuk sawayah-wayah, ora bakal nemokake panggonane. Nani wis nampik katresnane. Senajan Kurniawan ngasorake dhirine, ngemis katresnan, nyatane seprene pengarep-arep kuwi muspra. Senajan Narumi, ibune Nani nyengkuyung kekarepane, nanging kabeh kuwi tanpa guna. Nani wis nyantholake atine marang priya liya. Kurniawan ngusapi luhie kanggo lengen kaose. Tresna. Ndaheba rosane, ndaheba kuwasane. Keluwargane rojah-rojeh merga bapakne kang nresnani kenya Sriyati. Lan kang uga diadhepi, dheweke nandhang lara uga erga tresna. Tresna marang sawijining kenya kang njalari dheweke nglakoni tumindak durjana. Sesidheman maca buku hariane Nani, mbongkar rak-rakane kanggo nggoleki layang-layang katresnane. Oh... kabeh ora ana guna. Mung saya nambahi ati lara. Halaman 93.”
‘Tidak terasa Kurniawan mengeluarkan air mata. Rasa gagahnua sebagai laki-laki hilang ketika memikirkan hal itu. Rasa cinta yang telah dibangun bertahun-tahun, sudah dipupuk setiap hari, tidak akan menemukan tempatnya. Nani sudah menolak cintanya. Walaupun Kurniawan sudah merendahkan dirinya, mengemis cinta, tapi kenyataanya sekarang pengharapan itu hilang. Walaupun Narumi, ibunya Nani menyetujui hubungannya, tapi semua itu tidak ada gunanya. Nani sudah menggantungkan hatinya kepada laki-laki lain. Kurniawan menghapus tangisnya dengan lengan kaosnya. Cinta. Keluarganya sudah porak poranda karena bapaknya telah mencinyati Sriyati. Dan yang juga dihadapi, dia merasa sakit karena cinta. Cinta kepada salah satu wanita yang menyebabkan dia bertindak durjana. Setelah membaca buku hariannya Nani, membongkar rak-raknya untuk mencari surat-surat cintanya. Oh... semua itu tidak ada gunanya. Hanya menambah sakit hatinya.’
1.3.Kawin Paksa
Pada novel ini awal cerita diceritakan adanya kawin paksa atau perjodohan antara Nani dan Kurniawan. Nani dijodohkan dengan Kurniawan oleh ibunya yang bernama Narumi. Namun Nani tidak mau karena menurutnya Kurniawan berasal dari keluarga yang tidak jelas. Itu terlihat dari percakapan berikut.
“Kurniawan keluwargane kaya ngapa?bapakne wae lunga karo wong wadon liya!” Halaman 2.
‘Kurniawan keluarganya kaya apa? Bapaknya saja pergi dengan perempuan lain.’
Ibunya tetap tidak setuju dengan Nusa karena Nusa tidak memiliki pekerjaan yang jelas dan sekolah saja tidak selesai. Itu terlihat dari percakapan berikut.
“Kowe arep ngeboti Nusa cah gondrong kae? Apa sing diboti? Sekolah ra dadi, gaweyan ra karuan, keluwargane durung genah sisan. Halaman 1. ”
‘Kamu mau tetap mempertahankan bocah gondrong itu? Apa yang kamu pertahankan? Sekolah saja tidak jadi, pekerjaan saja tidak jelas, kelurganya tidak jelas juga.’
Nani tetap tidak mau menerima Kurniawan karena ia hanya suka dan cinta kepada Nusa meskipun dia tidak di setujui oleh ibunya yaitu Narumi. Kurniawan tetap memaksa dan merayu Nani agar dia mau menerimanya. Tetapi Nani tetap saja pada pendiriannya. Nani mengatakan kepada Kurniawan bahwa tresna atau kasih sayangnya sudah jatuh pada pria lain yang memang bukan Kurniawan. Meskipun ibunya tetap memaksa tetapi dirinya tidak akan peduli.
Bagi Narumi, Kurniawan itu sudah dianggap sebagai anak sendiri. Anak-anaknya Narumi juga sudah menganggap Kurniawan sebagai kakak laki-lakinya. Makanya Nani ]tidak menganggap Kurniawan sebagai orang lain dan tidak menyangka bahwa dia akan di jodohkan dengan dirinya.
Akhirya Nani dan Narumi ribut hanya karena perjodohan tersebut. Nani pergi dari rumah. Titok adik Nani mencari sampai bertanya kepada Nusa. Nusa hidup di desa yang bernama Singkar. Desanya di lereng pegunungan.
Nusa hidup sederhana penuh dengan kekurangan, setiap harinya ia hanya hidup sebagai petani di sawah. Makan saja setiap hari kekurangan.
Nani menelfon Nusa untuk besok mememui dirinya dirumah Inten sahabatnya dulu di masa SMA. Keesokan harinya Nusa terlambat karena bangun kesiangan. Nani yang menunggu sejak tadi merasa jenuh hampir saja ia pergi lagi, tapi kemudian Nusa datang. Langsung tanpa basa-basi Nani menjelaskan alasan ia meninggalkan rumah, Nani meminta supaya Nusa segera menemui kedua orang tua Nani yang menandakan keseriusannya menjalin hubungan dengan Nani. Mendengarnya Nusa bingung, ia hanya terdiam saja tanpa sepatah kata pun. Sampai ia berpamitan pulang Nusa tidak mengatakan apa-apa.
Tetapi beberapa hari kemudian, Nusa bertemu dengan perempuan lain yang bernama Alsa. Dia adalah anak Jendral. Nusa sangat menyayangi Alsa karena dia wanita cantik anak orang kaya juga. Nusa dan Alsa saat pacaran melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan sampai-sampai mereka harus berpisah dan tidak di restui lagi. Nani mengetahui bahwa Nusa memiliki perempuan lain. dia antara percaya atau tidak. Saat itu juga Nani teringat Kurniawan laki-laki yang di jodohkan oleh ibunya.
2)      Latar belakang pengarang
2.1. Ideologi pengarang
Pengarang novel singkar ini ditulis oleh Siti Aminah atau biasa dipanggil Amin. Siti Aminah lahir di sebuah kampung pinggiran Kota Yogyakarta. Banyak perubahan yang disaksikan di kampungnya. Mulai dari persawahan menjadi perumahan. Pengarang membuat novel ini untuk melestarikan budaya jawa khususnya sastra jawa. Ini merupakan novel pertama dari seorang sastrawan Siti Aminah, akan tetapi dia sudah banyak membuat cerita pendek (cerkak) dan opininya pernah dimuat di media cetak bahasa Jawa seperti Jayabaya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, dan juga Harian Suara merdeka. Selain media cetak bahasa Jawa, tulisan-tulisan Siti Aminah juga pernah dimuat di media bahasa Indonesia, diantaranya Jawa Pos, Kompas, Kawanku, dan penerbit internal lembaga-lembaga di Yogyakarta.
2.2. Lingkungan kehidupan pengarang
Pengarang menulis novel Singkar dikarenakan terinspirasi dari gempa jogja dan nama singkar sndiri termasuk dengan daerah atau tempat. Karena Siti Aminah tinggal di daerah Yogyakarta, jadi tidak sulit untuk menceritakan keadaan di daerah Yogyakarta.
            3)  Pesan/amanat yang terdapat dalam novel Singkar
Di jaman modern seperti ini, sepertinya sudah jarang dijumpai perjodohan seperti yang dikisahkan dalam novel ini. Rasa cinta itu tidak bisa dipaksakan, biarkan untuk mengikuti kata hati.

Sumber :
Aminah, Siti. 2008. Singkar. Semarang: Griya Jawi.



6.      Novel Mendhung Kesdaput Angin (karya AG Suharti)
1)      Latar belakang novel
Karena mengacu pada latar belakang kisah tokoh utama yang terdapat dalam novel tersebut yaitu Kadarwati dan Sulistya yang menerima berbagai macam ujian dan penderitaan, menanggung sengsara batin. Penderitaan yang mereka berdua alami ini karena mendapat karma dari Tuhan Yang Maha Esa dan juga karena sikap nalar yang dangkal dan tidak berpikir panjang apakah akibat akhirnya. Jadi hal yang ditonjolkan dalam novel ini yaitu tentang perjalanan hidup seseorang. Rangkaian cerita dari novel ini dapat diceritakan sebagai berikut.
Kadarwati adalah seorang anak desa yang baru saja lulus sekolah, karena kemiskinan dan beban hidup keluarganya yang berat dengan tanggungan adiknya banyak dengan kondisi keuangan keluarganya yang sangat sederhana. Latar belakang kehidupan keluarganya yang begitu susah itu membuat orang tua Kadarwati berniat untuk menjodohkan anaknya dengan anak seorang temannya dari kota Betawi bernama Sumadi yang sudah mempunyai pekerjaan mapan.
Pertama kali Sumadi bertemu dengan Kadarwati, ia langsung jatuh hati kepada perempuan desa ini padahal di kota ia juga sudah banyak melihat  wanita-wanita lain pilihan orang tuanya yang akan dijodohkan dengannya tetapi Sumadi sama sekali tidak tertarik. Beberapa waktu setelah itu Sumadi menikah dengan Kadarwati dan memboyongnya ke Batawi tetapi dalam hati Kadarwati masih setengah hati untuk menerima pernikahan hasil perjodohan orang tuanya tersebut. Kadarwati hanya bisa pasrah dengan nasibnya, dia berfikir yang penting dia dapat berbakti dan meringankan beban hidup orang tuanya dan Sumadi juga laki-laki yang sangat perhatian dengan Kadarwati kelak pasti ia dapat hidup berkecukupan materi walaupun ia tidak mencintai Sumadi.

Keluarga kecil Sumadi dan Kadarwati dikaruniai anak laki-laki yang bernama Satriyo, kehidupan mereka berkecukupan, apapun yang diminta oleh Kadarwati selalu dituruti oleh suaminya, Sumadi. Tidak hanya Sumadi yang gemati dengan Kadarwati tetapi juga ibu Sumadi yang sangat perhatian dengan Kadarwati. Keluarga mereka juga cukup terpandang di lingkungan tempat mereka tinggal, Kadarwati mudah bergaul dan dekat dengan ibu-ibu sekitar rumahnya karena sering berbincang-bincang bersama di pelataran rumahnya yang sering digunakan tetangga sekitar rumahnya untuk bermain badminton. Posisi Kadarwati yang menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan pekerjaan rumah sangat ditolong dengan pembantunya yaitu Sajem yang setia menemaninya
Konflik
Kadarwati berkenalan dengan seorang pemuda adik keponakan dari mbakyu Guritno (tetangga akrab yang rumahnya tidak jauh dari rumah Kadarwati) yang akan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum, bernama Sulistyo. Saat pertama kali berkenalan membuat hati Kadarwati bergetar tidak karuan, jantungnya berdebar kencang, saat berjabatan tangan mereka saling berpandangan dan tangannya seakan enggan terlepas dari Kadarwati, matanya menatap tajam seperti menerabas relung hatinya. Setelah beberapa saat Sulistyo sadar akan kesalahannya dan segera melepaskan tangan Kadarwati. Kadarwati merasa tidak enak dan bingung akan sikap Listyo, bayang-bayang Listyo selalu muncul dalam benak Kadarwati. Sehingga membuat hatinya resah dan selalu terbayang-bayang Sulistyo.
Awalnya Kadarwati menghindari jika berduaan dengan Listyo, saat diajak berbincangpun Kadarwati sedikit menjaga jarak karena ia tau perasaannya yang timbul ini berbeda dengan perasaan kepada laki-laki lain bahkan suaminya sendiri, Sumadi. Baru Listyo yang mampu membuat hatinya setidak karuan ini, setiap saat selalu terbayang-bayang Listyo. Kadarwati sadar bahwa itu perasaan cinta yang timbul dalam hatinya untuk Listyo tetapi ia tau ia sudah menikah. Hal ini membuat Kadarwati tambah bingung.
Lama kelamaan mereka akrab dan sering berbincang-bincang karena mereka menemukan kecocokan dalam berbagai obrolan mereka. Kadarwati menyambut itikat baik pertemanan dari dik Listyo itu, dik Listyo sering memuji Kadarwati karena kepribadiannya sesuai dengan criteria perempuan yang sangat ia idam-idamkan sebagai pasangan hidupnya kelak. Setelah itu Listyo sering bertamu ke rumah Kadarwati saat suaminya bekerja atau sedang pergi. Sulistyo dengan terbuka selalu mengutarakan perasaannya yang dalam pada Kadarwati. Tidak berapa lama Sumadi tau akan hal itu, dengan kesabaran dan kebijaksanaan Sumadi lalu berpesan kepada Kadarwati agar menghindar dari Sulistyo karena para tetangga sekitar rumah mereka mulai membicarakan kelakuan Listyo yang sering bertamu di rumah Sumadi. Hal tersebut jika terjadi berulang-ulang akan mendapat pandangan yang negatif dari tetangganya. Pesan dari Sumadi membuat Kadarwati semakin gelisah dan membuat hatinya bimbang.

Suatu hari Listyo bertamu lagi di rumah Kadarwati, ia mengungkapkan seluruh hatinya kepada Kadarwati. Ia menyatakan bahwa ia sangat mencintai Kadarwati dan ingin Kadarwati menjadi istrinya setelah itu Sulistyo memeluk dan mencium bibir Kadarwati. Sulistyo sangat berani melakukan hal itu karena ia tau bahwa Kadarwati sebenarnya mencintainya, pernikahan yang dilakukan Kadarwati hanya karena terpaksa menuruti keinginan orang tuanya. Kadarwati tidak bisa membohongi hatinya sendiri bahwa sebenarnya ia juga mencintai Sulistyo tetapi Kadarwati sadar apa yang dilakukannya itu salah karena ia sudah bersuami. Dia lalu menyingkir dan membentak Listyo tetapi Listyo tetap tidak mau berhenti memeluk Kadarwati. Tidak dikira ternyata Sumadi melihat perilaku mereka berdua, seketika itu juga ia marah dan menyuruh Listyo untuk pergi dari rumahnya. Sumadi tidak mengira istrinya melakukan perbuatan seperti itu, ia menyuruh Kadarwati untuk pergi dari rumahnya karena ia sudah tidak mau lagi melihat Kadarwati, tanpa mendapat perintah Kadarwati langsung mengemasi dan mengajak anaknya pergi dari rumah. Sebenarnya sikap Sumadi hanya sebagai gertakan dan tidak sebenarnya, tetapi Kadarwati sudah terlanjur sakit hati dibentak oleh suaminya dan akhirnya ia pun pergi karena lebih memilih hidup dengan Listyo.
Setelah menikah dengan Listyo hidup Kadarwati dikaruniai seorang anak perempuan bernama Sulistyowati dipanggil Listi, keluarga muda ini bahagia walaupun hidupnya sederhana. Kadarwati bisa menerima kehidupan yang demikian ( tidak seperti saat bersama Sumadi yang serba berkecukupan) karena memang sudah pilihan hidupnya. Suatu hari Kadarwati menemukan surat kecil bertuliskan dari Partiningsih di saku celana Sulistyo. Surat itu berisi bahwa Partiningsih telah hamil 2 bulan dan menuntut pertanggungjawaban Listyo untuk menikahinya. Setelah membaca surat Kadarwati langsung menangis seperti tidak percaya kelakuakn suaminya, membuat pemikirannya kepada Listyo berubah 180 derajat. Dia menganggap bahwa semua laki-laki sama saja, dulu ia mengira bahwa Listyo adalah laik-laki yang berbeda karena mau menerima seorang janda beranak 1 tetapi ternyata dia serong dengan wanita lain. Sehabis pulang dari kantor Listyo menanyakan celana yang terdapat surat kecil tetapi Kadarwati hanya diam saja, apapun pertanyaan Listyo tidak digubrisnya. Kadarwati sudah terlanjur sakit hati.
Kejadian itu berbarengan dengan kondisi Listi anak perempuannya yang baru berusia beberapa bulan sedang sakit, karena tidak mempunyai uang Kadarwati memutuskan menjual cincin kawin yang terukir namanya dan Sulistyo. Dia beranggapan suudah tidak ada gunanya lagi cincin kawin tersebut, karena Listyo sudah mengkhianati ketulusan cintanya. Setelah tau bahwa cincin kawinnya dijual, ia marah besar dan tidak sadar memukul pipi Kadarwati. Kadarwati menangis dan dilemparnya surat kecil itu dari sakunya, Listyo melihat lalu langsung memunggutnya karena dari tadi surat itu dicarinya ia takut jika Kadarwati mengetahuinya tetapi terlambat Kadarwati sudah mengetahuinya. Seketika itu Sulistyo memohon maaf kepada Kadarwati tetapi Kadarwati tidak memperdulikan, Listyo membujuk terus tetapi tetap sama saja. Saat Listyo berangkat bekerja, Kadarwati membawa kedua anaknya pergi dari rumah meninggalkan Listyo.
Sekian tahun Kadarwati berjuang keras untuk kelangsungan hidup anak-anaknya, bekerja membanting tulang sebagai orang tua tunggal. Jalan hidup yang dilalui Kadarwati tidak mudah, berbagai masalah dan beban berat ditanggung olehnya namun Kadarwati tidak gentar. Dia tinggal di rumah bu Onggo yang beralamat di Jatinegara yang merupakan kenalannya saat masih menjadi istri Sumadi yang juga budhe mantan pacarnya ketika masih sekolah di Jogja. Kondisi hidup yang serba susah dan penuh penderitaan itu tidak ditanggung sendiri oleh Kadarwati, tetapi juga dibantu oleh Baskoro yang member sumbangan dari segi materi maupun perawatan terhadap anak-anaknya yang sudah dianggap seperti anak keponakannya sendiri. Semuanya jerih payah serta didikan Kadarwati kepada anak-anaknya membuahkan hasil yang luar biasa, kedua anaknya mampu melanjutkan belajarnya sampai perguruan tinggi. Satriyo hampir lulus kuliah dan adiknya di tingkat 2, pendek cerita Satriyo berpacaran dengan seorang wanita bernama Susilowati yang tidak lain adalah anak hasil selingkuhan Listyo dengan Partiningsih dulu.
Pada suatu malam Listyo datang ke rumah Kadarwati, kedatangannya karena mengetahui Satriyo dan Listi menghadiri pesta anaknya Susi. Dia berniat untuk bertanggung jawab terhadap anaknya karena dia bapaknya yang lebih utama untuk menafkahi anak-anaknya. Namun demikian kedatangan Listyo tersebut belum bisa membuka hati Kadarwati meskipun Listyo sudah berulangkali memohon maaf atas kekhilafannya di masa lalu. Hingga akhirnya Kadarwati terbuka hatinya melihat wajah Sulistyo yang sudah banyak kerutan dan rambutnya yang tipis serta penuh dengan uban yang menandakan bahwa cobaan hidup yang dia alami sangat berat. Kadarwati menangis sambil meminta maaf lalu mencium kaki suaminya Sulistya. Sulistya bersyukur karena istrinya telah terbuka hatinya. Sulistya meminta kepada Kadarwati agar melupakan masa lalu dan membangun kembali keluarga bahagia dan sejahtera seperti yang diimpikan dulu ketika mulai berumah tangga. Setelah itu mereka membahas kedekatan hubungan Satriyo dengan Susi dan juga Listi dengan Santosa. Setelah Satriyo dan Listi pulang dari pesta Susi, Listy kaget karena ada bapak Listyo (bapak Susi) di rumahnya. Ibunya mengatakan bahwa doamu sudah terkabul nak karena bapakmu sudah datang. Listy masih bingung tapi kemudian dia mengerti dari keterangan bapak dan ibunya. Mereka bahagia bisa berkumpul kembali. Suatu hari Kadarwati, suami, ketiga anaknya dan Santosa pergi ke Jogja untuk mengunjungi orang tua dan saudara-saudaranya yang selama 21 tahun sudah tidak dikunjungi. Kedua orang tuanya bahagia melihat anak perempuannya yang dikira sudah hilang datang diiringi oleh suaminya yang gagah dan ank-anaknya yang cantik-cantik dan tampan. Orang tuanya kemudian diajak ke Jakarta sekalian dan sebagai rasa syukurnya Kadarwati menepati nadzarnya yaitu mengadakan syukuran dengan tetangga kanan kiri jika keluarganya bisa berkumpul kembali sekaligus melakukan acara tunangan untuk kedua anaknya. Akhirnya Kadarwati mantu dan Sulistyo serta Kadarwati memuji syukur kepada Tuhan karena sudah mempersatukan keluarga mereka kembali.

1.1.Perselingkuhan
Kadarwati yang telah mempunyai seorang suami dan sudah dikaruniai anak laki-laki, ketika berkenalan dengan Sulistyo. Dia berusaha mendekati Kadarwati sampai akhirnya Kadarwati bercerai dengan suaminya dan menikah dengan Sulistyo. Berikut bukti-nya.
“nDerek nepangaken, kula Sulistyo”. “Inggih Dhik, kula Kadarwati.” celathune karo banjur arep nglolos tangane.  Nanging tangane iseh kenceng ana ing regemane pemudha mau. Kadarwati kepeksa pandheng-pandhengan sadhela karo Sulistyo. Mak pyur, sanalika atine grasa deg-degan, geter. (halaman 24) .
 “perkenalkan, saya Sulistyo.” “Iya Dik, saya Kadarwati,” kata Kadarwati yang akan melepaskan tangannya. Tetapi tangannya masih erat digenggamannya pemudha tadi. Kadarwati terpaksa saling memandang dengan Sulistyo. Mak pyur, seketika hatinya berdegup kencang, getar.’
“Nalika wengi wis sepi, kabeh wong wis padha lerem ana ing panggonaning sang dewi ratri, kalebu uga Sumadi kang wis turu kepati, Kadarwati isih klisikan, durung bisa ngeremake. Wawayangane Sulistyo tansah katon gawang-gawang ana ing padoning netra. (halaman. 28)”
‘Ketika malam sudah sepi, semua orang sudah pada tidur di tempat sang dewi ratri, termasuk Sumadi yang sudah tertidur lelap, kadarwati masih tidak bisa memejamkan matanya. Sosok Sulistyo masih berada diujung matanya.’
“Sulistyo nganti diipat-ipati wong tuwane kang kecuwan atine, lan uga banjur disingkiri dening sanak sadulure. Ora beda karo kadarwati kang uga kapeksa gawe wirang lan prihatine wong tuwane. Mula nalika padha ijab, ora ana sanak sadulure kang teka.” ( Halaman 46)  
‘Sulistyo sampai dihindari oleh orang tuanya yang merasa kecewa hatinya dan juga dihindari oleh sanak keluarganya. Tidak berbeda dengan Kadarwati yang juga terpaksa membuat sedih dan prihatin orang tuanya. Sehingga waktu ijab, tidak ada satupun keluarga yang hadir.’
2)      Latar belakang pengarang
2.1. ideologi pengarang
Pengarang novel ini bernama AG Suharti merupakan seorang perempuan yang lahir di Yogyakarta, oleh sebab itu novel ini memuat unsur budaya jawa yang sangat kuat, apalagi novel ini dibuat sekitar tahun 1970, yang mana pada saat itu unsur – unsur kebudayaan jawa masih sangat kental di masyarakat Yogyakarta. Maka tidak bisa dipungkiri, bahwa novel ini sangat terpengaruh kebudayaan jawa.
2.2. lingkungan kehidupan pengarang
Ada beberapa alasan mengapa pengarang mengambil judul tersebut, karena pertama tokoh Kadarwati yang sudah berumah tangga dengan Sumadi pria yang sudah bisa nyembadani berbuat serong dengan Sulistya hingga akhirnya pada suatu hari ketahuan suaminya dan menimbulkan pertengkaran hebat yang berujung pada perceraian kemudian Kadarwati menikah dengan Sulistya dan membangun hidup baru di sebuah rumah sewaan yang terbuat dari bambu dengan perabot rumah tangga yang serba minim walaupun tanpa restu orang tua dan banyak saudara yang mencacat. Kedua, namun demikian keluarga yang mereka bangun hanya bertahan ±1,5 tahun karena Sulistya mendapat goda menghamili gadis bernama Partiningsih dan terpaksa menikahinya.
Dari perbuatan yang dilakukan oleh 2 tokoh utama tersebut maka mereka mendapat hukuman yang setimpal dari Tuhan. Mendengar suaminya telah berbuat serong, Kadarwati bersama kedua anaknya pergi dari rumah suaminya tanpa izin karena terlanjur sakit hati akibat cintanya yang suci telah dikhianati dan tidak ingin dimadu. Selama Kadarwati berpisah dari suaminya hidupnya prihatin karena harus mencari nafkah untuk dirinya dan kedua anaknya meskipun masih dibantu Baskoro kekasihnya ketika masih muda dan menanggung sengsara batin karena sesungguhnya dia senantiasa merindukan suaminya Sulistyo.
Begitupula Sulistyo hidup menderita, terlunta-lunta karena berpisah dengan anak istri yang dia cintai. Hukuman itu berlangsung selama 20 tahun.Hingga akhirnya pada suatu hari mereka dipertemukan kembali lantaran Satriyo anak buah perkawinannya dengan Sumadi mencintai Susilowati anak Sulistyo dengan Partiningsih. Dengan kemurahan Tuhan mereka akhirnya berkumpul kembali membangun keluarga yang bahagia, mulya dan dilimpahi banyak harta seperti yang mereka impikan ketika awal mula membangun keluarga karena Sulistyo sudah menjadi seorang pengusaha dagang yang sukses dan menjadi presdir.
Demikianlah alasan mengapa novel karangan Ag. Suharti tersebut diberi judul Mendung Kesdaput Angin berlatar belakang pada kisah tokoh utama sepasang suami istri yang bernama Kadarwati dan Sulistyo yang semula hidup prihatin, terlunta-lunta hatinya karena pilihan hidup yang mereka ambil namun akhirnya dapat hidup bahagia, mulia dan dilimpahi oleh banyak harta seperti yang mereka impikan dari awal mula membangun hidup bersama lantaran Sulistya sudah menjadi orang yang sukses dan anak-anak mereka sudah menjadi sarjana.
3)      Pesan/amanat dalam novel
Dalam novel mendhung kesaput angin ini banyak mengandung ajaran tentang manusia dalam menjalani kehidupan. Nilai pendidikannya cukup banyak nilai moral, nilai agama, nilai sosial. Nilai moral mengajarkan cara-cara dalam bergaul di masyarakat, adab kesopanan. Nilai agama berkaitan dengan ketaatan kepada Tuhan, senantiasa bersyukur. Dalam novel ini juga masih kental dengan unggah-ungguh orang jawa. Dalam novel ini amanatnya juga sangat baik untuk kita renungkan dan kita ambil hikmah dari setiap kehidupan.
Suharti, AG. 1980. Mendhung Kesaput Angin. Yogyakarta: Balai Pustaka.

7.      Novel Penganten (karya Suryadi W.S)
1)      Latar belakang
Tema pada novel berjudul “Pengntin” karya Suryadi W.S bertemakan tentang Kesetiaan. Novel Pengantin bertema kesetiaan karena dalam novel tersebut diceritakan kesetiaan  Pak Tumpa kepada bu Sawit dan juga sebaliknya walaupun mereka tak mempunyai anak. Cerita ini diawali oleh  suatu harapan yang dimiliki oleh bu Sawit. Dirinya meminta pak Tumpo untuk menikah lagi agar mereka bisa mempunyai anak atau keturunan. Berkali-kali bu Sawit mengatakan hal itu kepada pak Tumpo, namun pak Tumpo tetap tidak mau menurutinya.
Bu sawit sangat mengharapkan seorang anak. Berkali-kali dia memikirkan hal itu sampai akhirnya dia penyakitnya kambuh, dan pada waktu hari perayaan pemberian pendopo yang sangat dimeriahkan oleh pertunjukan wayang. Tiba-tiba bu Sawit meninggal. Entah apa sebabnya namun yang pasti adalah karena bu Sawit terlalu memikirkan keinginannya tersebut. Meilhat hal tersebut, perayaan yang tadinya sangat meriah akhirnya menjadi mencekam dan tidak menjadi perayaan lagi, namun adalah kedukaan.
Hal yang menjadi sebuah ketidakwajaran namun menjadi wajar adalah sesaat sebelum bu Sawit meninggal, dia sempat berpesan kepada Pak Tumpo bahwa kelak jika dia meninggal, jenazahnya diminta dimakamkan di belakang pendopo saja. Akhirnya, ingatlah pada pesan itu. Pak Tumpo segera berbicara pada orang yang mengurus jenazahnya bu sawit untuk dimakamkan di belakang pendopo. Setelah pemakaman sudah selesai, pak Tumpo menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, yang tidak menjadi biasa adalah tidak adanya bu sawit yang biasanya melayaninya.
Hari demi hari terlewatkan, tiba pada suatu hari semua berubah. Pak tumpo telah memikirkan hal yang sangat masak-masak. Dia berniat untuk menikahi seorang janda yang masih muda bernama Manik. Manik sudah dilamar, namun niat untuk menikahinya itu adalah hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh pak Tumpo, memang karena usia pak Tumpo yang sudah tidak muda lagi, sedangkan Manik adalah janda yang masih sangat muda jika dibandingkan dengan usia pak Tumpo.
Pak Tumpo kemudian menawarkan manik kepada supirnya, yaitu Sugiri. Sugiri tidak mampu menolak penawaran pak Tumpo. Karena, Sugiri sadar akan jasa-jassa pak Tumpo selama ini. Apalagi pak Tumpo sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. akhirnya Sugiri mau menerima dan menikahlah Manik dengan Sugiri.
Di hari pernikahannya, Sugiri sempat dibuat perang batin oleh pak Tumpo. Karena dia tidak melihat adanya pak Tumpo di sana. Walaupun semapat sejenak pak Tumpo manyaksikan acara pernikahan itu. Namun, hal itu rupanya menjadi sebuah amanat atau suatu tanda-tanda bahwa pak Tumpo ingn menyusul istrinyayang sudah meninggalkannya terlebih dahulu. Sugiri mencari pak Tumpo hingga akhirnya betemu di padepokan milik pak Tumpo. Pak Tumpo berpesan, jika diameninggal, dia ingin dimakamkan di samping makam istrinya. Ini adalah sebuah wujud atau simbol dari kesetiaan pak tumpo terhadap istrinya, dan semua hartanya diberikan kepada Manik dan Sugiri karena menurut Pak Tumpa harta itu tak akan berguna jika ditinggal mati. Permintaan terakhir Pak Tumpa untuk dikubur disamping istrinya adalah wujud dari kesetiannya.
1.1  Konsep Kesetiaan
Novel “Penganten” oleh Suryadi W. S ini menceritakan konsep kesetiaan yang dibangn oleh pasangan suami istri, yaitu bu Sawit dan pak Tumpo. Dalam konsep ini pengarang mengawali cerita dengan sebuah masalah dimana pasangan itu tidak mempunyai keturunan, sehingga bu Tumpo meminta pak Tumpo untuk menikah lagi, namun pak Tumpo tidak mau. Ia tidak tega menyakiti hati bu Sawit dan itu adalah wujud dari kesetiaannya. Seperti petikan novel di bawah ini.
            “Upami panjenengan krama malih ngaten, ....”
            “Eh, kowe ki omomg apa?”
            “Kula matur saestu”
            “Nanging kandhaa liyane kuwi wae. Awake dhewe ki wis tuwa, ora susah ngrembug kaya ngono”.
            “Punapa sampun boten perlu malih?”
            “Ora! Pangeran wis ora kurang anggone paring kanugrahan marang awake dhewe,......” (hlm. 7)
“Eh, kamu itu bicara apa?”
“Saya bicara yang sebenarnya”
“Tapi bicaralah selain itu. Kita ini sudah tua, tidak perlu membicarakan hal seperti itu”
            “Apakah memang tidak perlu lagi?”
            “Tidak! Pangeran sudah memberikan yang lebih terhadap kita.....”
1.1.Konsep Perjodohan
Dalam konsep ini pengarang menuliskan karyanya melaui cerita yang ditonjolkan adalah sebuah jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pak Tumpo terhadap supirnya. Kenapa konsep ini dibuat? Mungkin pengarang ingin memberikan kesan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan perjodohan yang seperti biasanya. Konsep perjodohan di sini adalah sebuah gejolak batin yang dialami Sugiri sebagai abdi pak Tumpo selama ini. Perjodohan ini berawal ragu-ragu. Namun, setelah dipikirkan masak-massak oleh Sugiri, akhirnya dia mau.  karena dia mengingat jasa-jasa yang telah diberikan oleh pak Tumpo kepadanya.
Hal ini bisa dilihat pada petikan novel di bawah ini.
“Mengku aku sing ngrembug. Cekake, anggepen aku iki gentine wong tuwamu sing wis ora ana iki, arep ngrabekake kowe. Ngono wae Giri. Kepriye, apa kowe gelem nglakoni?”
Yen pak Tumpo wis dhawuh mengkono, dheweke arep matur kepriye? Dheweke ora bisa matur liyane kajaba mung manut, sanajan atine gronjalan.
“Inggih Pak, kula nyendikani” ature karo tumungkul. (hlm. 27)
 “Saya yang membicarakan. Pendeknya, anggap saja saya sebagai pengganti kedua orang tuamu yang sudah tidak ada. Begitu saja Giri. Bagaimana, apa kamu mau menjalankannya?”
Jika pak Tumpo sudah berbicara seperti itu, dia mau bilang apa? Dia tidak bisa berbicara selain hanya menurut, walaupun hatinya sangat bergejolak.
“Iya Pak, saya menuruti bapak” jawabnya.
Pengarang menampilkan konsep ini dengan penuh improvisasi yang dimunculkan pada tokoh dan penokohannya. Konsep ini juga menggunakan alur flashback untuk menciptakan suatu kejadian yang menarik jika dibaca. Para pembaca sebelumnya tidak mengetahui hal tersebut, sehingga dengan adanya alur flashback ini para pembaca bisa menjadi lebih terbawa dalam suasana yang diciptakan oleh sang pengarang.
2)        Latar Belakang Kehidupan Pengarang
2.1  Ideologi
Latar belakang pengarang membuat novel ini adalah dilihat dari sudut pandangnya. Sudut pandang yang digunakan oleh prngarang dalam novel Pengantin adalah sudut pandang orang ke ketiga.
Hal ini bisa dilihat pada kutipan novel di bawah ini.
 “Dia” namun kadang juga disertai cerita yang lebih merupakan laporan pengamat seperti pada.
“Swara kentongan maneter saka langgare mbah Mangil ngelingake kuwajibane marang pangeran. Bocah-bocah ing pendhapa uga kaya dielingake marang dhawuhe Bu Sawit, padha bubar mulih menyang omahe dhewe-dhewe. Sadalan-dalan padha umyung ngrembug film kartun kang mentas ditonton ing layar cilik mau.”
 “Suara kentongan berbunyi dari suraunya mbah Mangli mengingatkan kewajibannya kepada Tuhan. Anak-anak di pendhapa juga seperti diingatkan kepada nasehatnya Bu Sawit, pulang satu per satu menuju rumahnya sendiri-sendiri. Sepanjang jalan rame membicarakaan film kartun yang baru saja ditontonnya.”
Disini sudut pandang tersebut mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja. Dalam sudut pandang “dia” sebagai pengamat yang benar-benar objektif, narator bahkan hanya dapat melaporkan (menceritakan) segala sesuatu yang dapat dilihat dan di dengar, atau yang dapat dijangkau oleh indra. Namun walau itu hanya melaporkan secara apa adanya kadar ketelitiannya harus diperhiotungakan, khususnya ketelitian dalam mencatat dan mendiskripsikan peristiwa, tindakan, latar samapai ke detil-detil terkecil yang khas. Naraator dalam hal ini, seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam dan mengabadikan suatu objek, sebagai contoh :
“Vespane rada dibanterake, daya-daya tekan ngomah. Arep manebakake ati. Sadalan-dalan ing jero atine tansah dumadi pasulayan. Rebut biada antarane rasa rumangsa wis tuwa lan dhudha kasepen kang tau antuk piweling saka bojone. Antarane rasa rumangsa uripe wis ora suwe maneh lan rasa kuciwa amarga durung duwe turun. Dheweke kepingin nindhes atine supaya tetep ngrumangsani tuwane. Nanging saya adoh saka bendungan iku, eseme Manik saya cetha kaya tumpempel ing tlapukan. Nganti tekan ngomah, nganti awan, nganti sore, nganti bengi.”
“Vespanya semakin dipercepat supaya cepat sampai rumah, akan menenangkan hati. Sepanjang jalan didalam hatinya hanya dilema. Antara merasa sudah tua dan duda kesepian yang mendapat amanat dari istrinya. Antara merasa hidupnya sudah tak lama lagi dan rasa kecewa karena belum mempunyai keturunan. Dia ingin memaksakan hatinya sadar diri bahwa dirinya sudah tua. Tetapi semakin jauh dari bendungan, senyuman Manik masih terbayang, hingga sampai rumah, hingga siang, hingga sore, hingga malam.”
2.2. Lingkungan Kehidupan Pengarang
Dalam konsep kesetiaan dan perjodohan tersebut tentunya memiliki latar belakang tersendiri bagi pengarang yang menciptakan hal tersebut. Pengarang menciptakan konsep kesetiaan adalah sebagai wujud rasa syukur kita terhadap sang pencipta yang sudah memberikan kita karunia berupa jodoh kita tersebut. Sedangkan dalam konsep perjodohan yang dialami oleh Sugiri tersebut lebih terlihat pada sikap baktinya kepada pak Tumpo yang selama ini telah banyak membantu di dalam kehidupannya, sampai-sampai hal jodohpun ia terima darinya.
Hal lain yang mendukung dari dari konsep-konsep tersebut adalah sebua latar dimana awal cerita itu mulai dimunculkan. Seperti yang dilihat di bawah ini.
Percakapan dimulai dengan kata-kata Pak Tumpa
“Uwis wah apik tenan padhepokan iku, senajan winangun gagrag lawas, nanging wong bakalane weton saiki. Dadi malah kaya pasemon jumbuh ing kagunan lawas lan anyar"
Boleh jadi memang mengandung ketidakjelasan bagi pembaca yang tidak mengerti konteks pembicaraan seperti itu, termasuk konteks pembicaraan di padhepokan baru antara orang –orang yang bersangkutan atau pembaca yang tak mampu membuat implikatur-implikatur. Pernyataan Pak Tumpa tersebut maksudnya adalah mengkonfirmasikan bahwa padhepokan barunya bagus sekali.
3)        Penutup/Pesan Tentang Novel
Secara garis besar pesan moral dalam novel Penganten ini adalah berupa hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungnnya dengan lingkungan alam. Tak selamanya kekayaan adalah jaminan kebahagiaan, seperti keluarga Pak Tumpa yang kaya raya namun tak mempunyai seorang anak, hidupnya tidak bahagia sebaliknya dengan Parjo yang hanya seorang penjual es dawet namun bahagia kehidupannya.
Pak Tumpa yang kaya adalah seorang yang dermawan oleh sebab itu banyak orang-orang yang menghormatinya. Bahkan rela dijodohkan dengan calon istri Pak Tumpa sendiri seperti yang dialami Suhir.
Kesetiaan yang digambarkan dalam novel ini jelas sekali kesetiaan Pak Tumpa dengan Bu Sawit begitu juga sebaliknya, walaupun mereka tak mempunyai anak tetapi mereka tetap setia. Pesan religius yang ingin disampaikan novel ini adalah kita harus terus memohon dan berdoa kepada Tuhan YME walaupun diberi cobaan besar, seperti yang terjadi pada Bu Sawit dan Pak Tumpa. Selain itu kata-kata wasiat orang yang telah meninggal juga harus dilaksanankan. Pesan sosial yang ingin disampaikan adalah menjadi bupati bukanlah untuk pamer, tetapi senantiasa membangun masyarakatnya dan tidak sombong seperti figur Pak Tumpa.





8.      Novel Jemini (karya Suparto Brata)
1)      Latar belakang
Novel Jemini ini menceritakan kehidupan wanita di jaman Belanda (penjajahan Belanda). Wanita mempunyai derajat yang lebih rendah dibanding dengan derajatnya laki-laki. Wanita dianggap tidak mampu bertindak tidak seperti laki-laki. Wanita dianggap sebagai barang yang hanya bisa dipilih, diperistri dan tidak harus dihargai oleh kaum laki-laki. Pada saat itu, beberapa orang mengupayakan supaya bangsa Belanda bisa cepat pergi dari bangsa ini, tapi ada juga beberapa orang yang memilih mengikuti kelompoknya orang-orang Belanda dan bergabung menjadi tentara. Tentara yang dibentuk Belanda ini mempunyai nama KNIL. KNIL itu singkatan dari basa Belanda het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau mempunyai makna yaitu tentara kerajaan Hindia-Belanda.
Kehidupan yang diceritakan di atas hampir sama dengan yang dialami oleh Jemini. Dari kecil Jemini dan keluarganya hidup di tangsi. Bapaknya menjadi tentara KNIL dan harus masuk di Tangsi dan membawa anak istrinya tinggal disana. Tangsi adalah tempat yang berwujud asrama untuk para tentara. Selain Jemini dan keluarganya, ada juga  keluarga Jawa lainnya yang menjadi tentara KNIL dan hidup di tangsi. Kejadian di tangsi ini yang menyebabkan munculnya kesengsaraan yang dialami oleh tokoh utama Jemini. Bab yang pertama menggambarkan kesengsaraan hidup dalam novel Jemini yaitu nikah paksa. Jemini dinikahkan dengan cara paksa dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Dari nikah paksa itu menyebabkan masalah-masalah yang lain yaitu Jemini menjadi germi dan orang yang senang menyiksa. Di bawah ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai novel Jemini.
1.1.Nikah Paksa
Nikah paksa yaitu tata cara menikahkan dengan paksa. Masalah nikah paksa yang tergambar dalam novel Jemini ini dialami sendiri oleh tokoh utama Jemini. Jemini akan dinikahkan dengan laki-laki yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Orang tauanya memaksanya supaya anaknya itu mau dinikahkan dengan laki-laki pilihannya. Kejadian itu dimulai ketika Parni, salah satu teman Jemini melihat Jemini sedang bersama teman-temannya. Parni mengira bahwa Jemini sudah tidak pantas apabila bermain dengan teman-temannya lagi karena dirasa sudah dewasa. 2 minggu lagi dia akan menjadi penganten.
Hal itu dibuktikan dalam petikan novel dibawah ini.
“Ing sawijining dina, Jemini karo kanca-kancane main kopyok neng ngisor wit pelem mburi Tangsi. Parni teka nggendhong adhine karo didulang. Weruh Jemini melu kopyok, terus nyaru, “E, Jem! Koen iku gak idhep esin. Wis gedhe ngono kok esik melu kopyok. Rong minggu maneng koen lak dadi manten-a, kathik gak eling mbarek gerangmu! Jeeem-Jem!”(halaman: 53).
’Pada suatu hari, Jemini sedang bersama teman-temannya bermain kopyok di bawah pohon mangga belakang Tangsi. Parni datang menggendong adiknya sambil menyuapinya. Melihat Jemini ikut kopyok, terus bilang, “E, Jem! Kamu itu tidak tau malu. Sudah besar kayak gitu kok masih ikutan kopyok. Dua minggu lagi kamu kan mau jadi manten, mbok ya eling! Jeem-Jem’
            Dari petikan novel tersebut diceritakan waktu kejadian yaitu ketika Jemini bermain dan melihat bahwa dia akan dinikahkan oleh orang tuanya. Bab pernikahan tersebut diketahui dari Parni. Parni bilang bahwa Jemini akan dinikahkan dengan 2 minggu lagi. Jemini kaget mendengar kata-kata Parni itu. Dia tidak menyangka kalau orang tuanya tega melakukan hal itu kepada Jemini. Teman-temannya mencemoohnya. Jemini yang malu akan hal itu, pulang sambil lari terbirit-birit dan menangis. Dia merasa bahwa orang tuanya sudah bertindak yang semena-mena terhadapnya.
Suatu hari, Wagiman mendapatkan tugas patroli. Dia ditugaskan bersama dengan Urip. Urip mengetehui bahwa Wagiman itu orang tuanya Jemini. Keduanya saling mengobrol sangat akrab. Obrolanya itu soal pernikahan, Urip mempunyai niat mau mengajak orang tuanya untuk ke rumahnya Wagiman dengan tujuan melamar Jemini. Wagiman sudah merasa cocok dengan laki-laki itu. Dia langsung menceritakan keinginan Urip ke istrinya. Keduanya pun senang dan menerima lamarannya Urip tanpa diketahui oleh Jemini. Jemini terpaksa menuruti keinginan orang tuanya.
Jemini dan Urip akhirnya dinikahkan. Acara pernikahannya dibuat pesta yang besar. Seminggu acara pernikahan itu dilakukan. Ditambah tontonan wayang dan tayuban, orang-orang tangsi ikut sibuk membantunya. Keduanya duduk bersanding dan para tamu menyalaminya. Sebenarnya Jemini tidak mau dinikahkan dengan Urip, tapi setelah kedua mempelai menemui para tamu, keduanya masuk kamar dan beristirahat. Jemini masih belum mau tidur bersama dengan Urip. Hal itu dibuktikan dalam penggalan novel berikut. 
“...........Sajrone didandani cara manten, dheweke ora gelem turu, mung lungguh wae. Sok-sok yen ngantuk banget dheweke ya ngglundhung ing klasa sing digelar ing ngarep peturon. Kuwi wae ora yen wayah bengi. Sok-sok wayah esuk, sok-sok wayah awan, nalikane dhayoh-dhayoh akeh sing padha kepengin weruh mantene. Yen wis ngglundhung ngono, manten lanang mung bisa nyodhorake bantal. Jemini isih durung gelem omong-omong karo manten lanang!” ( halaman : 58-59)
‘............selama dirias menjadi pengantin, dia tidak mau tidur, hanya duduk saja. Tiba-tiba mengantuk dan dia tidur di tikar yang ia gelar di depan tempat tidur. Itu juga apabila tidak wayah malam. Kadang-kadang wktu siang, kadang-kadang waktu pagi, ketika tamu-tamu banyak yang ingin melihat pengantinnya. Apabila sudah tudur seperti itu, manten laki-laki hanya bisa memberi bantal. Jemini masih belum mau biicara dengan suaminya itu.’
Dalam petikan novel tersebut dijelaskan bahwa nikah paksa antara Jemini dan Urip tidak dilandasi dengan rasa cinta. Maka dari itu,menyebabkan Jemini malas untuk berdekatan dan berbicara dengannya. Mulai acara mantenan itu, dia belum ingin menyapa calon suaminya. Ketika malam, dia hanya duduk di tikar. Jemini menggunakan cara tersebut supaya Urip tidak mendekatinya. Setelah acara pernikahan itu selesai, Jemini dipindah ke tangsinya Urip di Sambongan. Dia juga belum ingin dekat-dekat dengan Urip. Banyak cara yang dilakukan Jemini agar tidak dekat dengan Urip.
1.2.Konsep Munci
Munci atau dalam bahasa Jawanya Gendhik yaitu istri yang tidak sah atau istri gelap. Hubungan antara laki-laki dan perempuan itu berhubungan erat tapi tidak keikat dengan tali pernikahan. Hal tersebut sudah biasa dilakukan oleh orang Belanda dengan perempuan-perempuan pribumi atau pembantu-pembantunya ketika jaman kolonial Belanda. Kejadian itu dikarenakan jumlah wanita yang derajatnya lebih rendah ketimbah deraat laki-laki atau orang Belanda itu. Maka dari itu, banyak laki-laki Belanda yang mencari wanita pribumi.
Gambaran mengenai konsep munci yang dijelaskan diatas itu bisa temukan dalam novel Jemini. Setiap orang tangsi pasti sudah tau bab tentang munci atau gundhik. Sebagian wanita tangsi tersebut sering dijadikan gundhik oleh prajurit Belanda atau Jawa di kampung Belanda.
Orang yang tinggal di kampung Belanda tidak ada yang mempunyai istri, orang-orang itu sering menyuruh ibu-ibu atau wanita tangsi untuk membantu membersihkan rumah dan memasak. Menurut adatnya, para orang Belanda itu memilih wanita yang belum menikah untuk membantunya. Wanita yang sudah dewasa dan belum mempunyai pasangan sering dijadikan munci/gundhik oleh orang-orang di kampung Landa. Pernyataan itu terdapat dalam cuplikan di bawah ini.
“Nanging kerep wae pembantu-pembantu wadon iki cukup diwasa, durung ana sing ndhedheki, terus didadekake munci dening wong-wong Kampung Landa. Dimunci tegese didadekake babu, yen perlu nginep kono barang, dienggo kanca turu (halaman:24).”
‘Tapi sering pembantu-pembantu wanita ini cukup dewasa, belum ada yang mendekatinya, terus dijadikan babu oleh orang-orang Kampung Belanda. Dimunci artinya dijadikan pembantu, kalau perlu menginap disana dan dijadikan teman tidur.’
Wanita yang sering dimintai tolong untuk menjadi pembantu yaitu wanita yang cukup dewasa. Wanita yang belum mempunyai pasangan sering dijadikan gundhik oleh orang-orang Kampung Belanda. Apabila sudah dijadikan pembantu, wanita itu harus mau “melayani” tuannya dan menginap untuk menemai tidurnya. Nasibnya Jemini juga sama dengan wanita tangsi lainnya yang menjadi pembantu di Kampung Belanda itu. Dia merasa tidak enak dengan tangga-tangganya di tangsi yang sering menggunjing soal Jemini penganten baru sudah berpisah dengan Urip.
Jemini menjadi munci itu bermula dari ajakannya Kadinah. Kadinah itu wanita tangsi yang dijadikan gundhik oleh Den Sutras. Kadinah pernah mengajak Jemini ketika menyiapkan masakan untuk Den Sutras. Selain menjadi pembantu, dia juga dipercaya untuk “melayani” Den Radian. Kejadian itu bisa dilihat dalam petikan novel dibawah ini.
“Lumantar Kadinah, Jemini kerep melu ngeterake matengan menyang omahe Radian. Radian mono kaya Sutras, oleh omah dhewe neng njaban tangsi, marga pangkate wis pembantu letnan (halaman :75).”
“Seperti Kadinah, Jemini sering ikut mengantarkan masakan ke rumahnya Radian . radian itu seperti Sutras, mendapatkan rumah sndiri di luar tangsi, karena pangkatnya sudah pembantu letnan.’
Petikan novel tersebut menjelaskan hal-hal tentang Jemini berada dalam dunia pergundikan. Kebiasaan Jemini yang sering ikut mengantarkan makanan ke tempat Den Radian itu,  membuat hati sang laki-laki kepincut oleh Jemini. Jemini yang dirasa sudah dewasa memang terlihat jelas. Badannya bisa membuat gemetar jiwa laki-laki ketika melihat dirinya. Begitu juga Radian yang akhirnya terpikat hatinya ke Jemini.
2)      Latar Belakang Pengarang
2.1. Ideologi pengarang
Nama lengkap dari Suparto Brata adalah Raden Mas Suparto Brata terlahir di Surabaya pada tanggal 27 Februari 1923 dari pasangan Raden Suratman dan Bandara Raden Ajeng Jembawati. Kedua orangtuanya berasal dari Surakarta Hadiningrat. Suparto Brata adalah sastrawan yang produktif menerbitkan buku fiksi berbahasa Jawa dan Indonesia. Suparto Brata pernah mendapat penghargaan dari South East Asia Write Award(2007), penghargaan Rancage (2000, 2001 dan 2005) serta tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World Sixth Edition (1998) terbitan The American Biographical Institute, Inc, USA.  Dalam menulis, Suparto Brata seringkali menggunakan nama samaran, di antaranya Peni dan Eling Jatmiko. Suparto Brata menikah pada tahun 1962 dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Porwerejo (Jawa Tengah), dan mempunyai 4 orang anak yaitu Tatit Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neograha Semeru Brata (1969) dan Tenno Singgalang Brata (1971). Tahun 2010 yang baru lalu, Suparto Brata menerbitkan buku bahasa Jawa 5 judul, semua berupa roman atau novel. Yaitu Cintrong Paju-Pat (pernah dimuat sebagai cerita sambung di Panjebar Semangat, 2006), Nona Sekretaris (selesai ditulis tahun 1983-1984), ‘t Spookhuis (cerita bersambung Panjebar Semangat Februari-April 1991), Riwayat Madege Propinsi Jawa Timur, Lelabuhane Gubernur Jawa Timur I R.M.T.A.Suryo (terbit pertama 2010), dan Pawèstri Tanpa Idhèntiti (selesai ditulis Agustus 2009, terbit tahun 2010), Jemini (2012).
            2.2. Latar Kehidupan Pengarang
Novel ini ditulis seperti nyata, pengarang bisa membawa pembaca masuk ke dalam dunianya. Menurut saya, pengarang mengalami kejadian itu waktu jaman Belanda. 
Kesimpulan
·         Novel Jemini karya Suparto Brata merupakan salah satu karya sastra yang mengangkat tema mengenai kawin paksa yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya. Hal ini dapat dilihat pada episode ketika Semi dan Wagiman memaksa Jemini untuk kawin dengan prajurit yang berasal dari tangsi Sambongan.
·         Novel Jemini dibangun dari unsur-unsur pembentuk cerita yang saling berkaitan. Pada penelitian ini, seluruh unsur tersebut dianalisis dengan menggunakan teori struktural. Fakta cerita terdiri dari: karakter, latar, alur, dan tema. Sedangkan sarana sastra terdiri dari: judul, sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme, dan ironi.
·         Pemberian judul novel diambil dari salah satu tokoh sentral di dalam novel, yaitu Jemini. Tokoh Jemini merupakan tokoh sentral pada novel tersebut. Hal ini dikarenakan tokoh Jemini selalu berhubungan dengan tokoh lain pada setiap episode cerita. Tokoh lain tersebut antara lain: Wagiman, Semi, Oom Piet, Urip, Siti, Wak Talib, Radian, dan Kadinah. Latar yang muncul pada novel Jemini cukup bervariasi. Latar tempat antara lain: Kompleks Tangsi Surabaya yang terdiri dari Rumah Dinas Wagiman, Kampung Landa, Dapur Umum, dan Kamar Mandi Umum. Selain itu juga ada Tangsi Sambongan, Tangsi Betawi (Jagalan), Stasiun Pasar Senen, Stasiun Padalarang, Tangsi Batujajar, Rumah Raden Kartakusumah, Kantin Ibu Semi, Kampung Gatotan, Tangsi Batujajar, dan Pelabuhan Tanjungpriuk. Untuk latar waktu, antara lain: tanggal dua puluh lima, satu bulan lamanya Jemini di rumah Raden Kartakusumah, sebulan sekali setiap tanggal dua puluh enam, hari Minggu dengan adanya acara matinéé, pada suatu hari, pagi hari, bulan Oktober musim kemarau, dan malam hari.
·         Latar suasana yang tergambar pada novel Jemini antara lain: suasana meriah perkawinan Jemini dengan Urip, suasana menegangkan dan panas pada malam hari di awal perkawinan Jemini dengan Urip, suasana menyedihkan dan memilukan ketika Jemini disiksa oleh Radian, suasana bimbang dan bingung untuk menentukan arah tujuan ketika Jemini meninggalkan tangsi Betawi (Jagalan), dan akhirnya menuju Padalarang, suasana sedih ketika Jemini dimarahi oleh Wagiman karena meninggalkan Radian tanpa pamit, suasana sedih Oom Piet Coertszoon ketika putus dengan tunangannya Marie Wevers, suasana sedih Oom Piet Coertszoon ketika belum mendapatkan izin atasannya untuk mengawini Jemini, suasana kesedihan Siti ketika ditanya Jemini tentang anak-anaknya yang dibawa Oom Slompret kembali ke Belanda, suasana sedih Kadinah ketika akan melahirkan, ia meminta Jemini mendatangkan Siti untuk menunggui kelahiran anaknya, suasana kegembiraan Oom Piet Coertszoon karena akhirnya atasannya mengizinkan ia mengawini Jemini selanjutnya pesta perkawinan keduanya di Gereja, suasana gelisah Jemini ketika menantikan kedatangan kembali Oom Piet Coertszoon dari Belanda, dan yang terakhir suasana haru ketika melihat Oom Piet tiba dari Belanda di Pelabuhan Tanjungpriuk.
·         Alur pada novel Jemini termasuk lurus/maju. Dilihat dari kuantitas alurnya novel ini beralur tunggal, karena ceritanya berpusat pada tokoh utama saja, yaitu Jemini. Dilihat dari segi kuantitasnya, novel Jemini memiliki alur tunggal sebab ceritanya berpusat pada tokoh utamanya, yaitu Jemini. Sedangkan dari kualitas alurnya maka novel ini beralur renggang/longgar, karena peristiwa di dalam novel terdapat digresi-digresi. Akan tetapi degresi tersebut muncul untuk menunjukkan kejelian Suparto Brata dalam menguasai sebuah permasalahan. Adapun dilihat dari akhir ceritanya novel ini beralur tertutup, sebab pada akhir cerita tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai penyelesaian cerita dari novel Jemini tersebut.
·         Sudut pandang pada novel Jemini menggunakan metode orang ketiga atau gaya dia. Pengarang menyebutkan nama para tokoh yang muncul di dalam novel Jemini. Maka dengan metode orang ketiga ini, pengarang dapat menjelaskan isi cerita dengan sebebas-bebasnya.
·         Pengarang novel Jemini, yaitu Suparto Brata menggunakan beberapa gaya bahasa di dalam novel karyanya itu. Gaya bahasa tersebut antara lain: antitesis, repetisi, paradoks, hiperbol, simile atau persamaan, klimaks, dan anti klimaks. Selain itu, gaya humor pun diselipkan pula oleh Suparto Brata di dalam novel Jemini.
·         Simbolisme merupakan salah satu bagian dari sarana sastra. Simbolisme pada novel Jemini adalah upacara slametan Jemini ketika dirinya mengalami masa menstruasi. Selain itu pada acara “perkawinan” Jemini dan Urip diadakan acara tradisi Tayuban. Kedua peristiwa tersebut masuk ke dalam simbolisme.
·         Pada umumnya ironi didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang berlawanan dengan apa yang diharapkan. Ironi yang muncul pada novel tersebut adalah ketika Jemini menerima “lamaran” Urip maupun Radian. Jemini sesungguhnya belum siap berumah tangga dengan kedua lelaki tersebut. Akan tetapi karena paksaan dari orangtuanya, akhirnya Jemini menerima “lamaran” tersebut.
3)      Pesan/amanat yang ingin diungkapkan pengarang kepada pembaca dapat tersampaikan melalui novel tersebut. Amanat yang terkandung antara lain:
a.       Pentingnya pendidikan bagi orangtua dan anak
b.      Orangtua seharusnya melindungi dan menjaga anaknya, bukan menjerumuskannya dengan melakukan praktik kawin paksa.
c.       Seburuk apapun tingkah laku anak, orangtua akan selalu memaafkan dan menerimanya kembali.
d.      Baik buruk seseorang tidak berdasarkan warna kulit.
e.        Jagalah selalu nama baik keluarga terutama orangtua.
f.       Jadilah anak yang berbakti kepada kedua orangtua.
g.      Roda kehidupan itu selalu berputar, terkadang di atas tetapi terkadang juga bisa di bawah.
h.      Setelah penderitaan akan datang kebahagiaan jika sabar dan tawakal menjalaninya.
i.        Cinta sejati akan datang diwaktu yang tepat.
j.        Jangan suka mengumbar hawa nafsu dunia semata.
Brata, Suparto. 2012. Jemini. Yogyakarta: Narasi.
9.      Novel Anteping Wanita (karya Any Asmara)
Judul novel Anteping Wanita oleh Any Asmra menceritakan kisah hidup seorang wanita yang di dalamnya dia sedang mengalami percintaan. Endra dan Intarti (tokoh wanita tersebut) kedua pemuda yang sudah lama berkenalan dan juga sudah lama menjalin cinta kasih. Ketika keduanya akan meresmikan tali kasih, mereka harus merelakan peresmian tersebut hancur. Endra harus menikah dengan seorang wanita bernama Susilawati yang tidak lain adalah adik angkatnya sendiri. Endra dan Intarti mengalami dilema yang sangat besar. Keduanya saling berperang dengan hatinya masing-masing. Namun karena Intarti digambarkan sebagai wanita yang memiliki hati yang sangat kuat maka dengan kekuatan hati yang suci Intarti rela melepaskan Endra untuk menikahi Susilawati. Intarti tidak memperdulikan dirinya sendiri, dia rela berkorban demi nama baik Endra di hadapan keluarga Susilawati yang selama ini Endra sudah banyak berhutang budi dengan keluarga Susilawati. Endra sudah diasuh sejak kecil dan diangkat menjadi anak oleh R Ismangun dan R Ngt Ismangun. Maka mereka berdua harus menikah walaupun sebenarnya Endra tidak mencintai Susilawati, hal ini menyebabkan pernikahan mereka berdua tidak berlangsung lama. Susilawati merasakan kejenuhan dirinya dan kemudian meninggalkan Endra dengan laki-laki lain. Namun Endra tidak putus asa. Endra semakin kuat hatinya, sampai akhirnya dia bertemu lagi dengan Intarti dan kemudian hidup bersama-sama. Namun, ditengah kehidupan mereka berdua kedatangan seorang pengemis yang tidak lain adalah Susilawati. Keadaannya sangat berubah. Awalnya, Susilawati tidak mau mengakui drinya. Namun, atas desakan Endra yang sudah mengetahui bahwa pengemis itu adalah Susilawati akhirnya dia pun mengakui. Susilawati kemudian dirawat oleh Intarti dan ibunya, sampai akhirnya dia meninggal dan ibunya pun ikut menyusulnya karena dia sangat terpukul sepeninggalan Susilawati. Novel “Anteping Wanita” karangan Any Asmara ini termasuk novel lama. Novel ini diterbitkan sekitar tahun 1955. Ini terbukti pada penulisan ejaan yang masih menggunakan ejaan lama, seperti “dj” yaitu j, “tj” yaitu c, “oe” yaitu u, “nj” yaitu ny, “j” yaitu y. Ejaan ini bisa dilihat pada kutipan novel dibawah ini.
“Trjita iki mung fantasi bae, kang anggambarake lelakone wanita loro, sing sidji luhur bebudine lan sing sijdine kang kosok balene.
Anane tjrita iki sak karang, muga-muga dadija kupiya, awit ing kalangan masjarakat kita dewe, sanjatane isih akeh banget lelakon kaja isine tjrita iki. Muga-muga tjrita iki andadekna suka-pirenaning penggalihe para maos kabeh. (hlm 3)”
Kutipan tersebut juga menjadi dasar mengapa Any Asmara menulis novel tersebut. Novel tersebut ditulis sebenarnya hanya untuk fantasi atau sebagai media penghibur, namun setelah dilihat isi dari novel ini tidaklah hanya untuk hiburan semata. Pengarang menerbitkan novel tersebut dengan menggambarkan dua orang wanita. Seorang wanita memiliki watak yang berbudi baik sedangkan wanita yang satunya memiliki watak yang bertolak belakang dengan wanita yang pertama, atau dengan kata lain berbudi jelek. Pengarang mengambil cerita tersebut dengan harapan bisa menjadi tauladan atau contoh bagi pembaca, karena cerita tersebut mengangkat tentang kehidupan dua orang wanita dengan berbagai watakanya yang masih banyak terdapat di kalangan masyarakat kita sendiri.
Di dalam novel ini digambarkan bahwa Intarti sebagai wanita yang memiliki hati yang antep atau kuat. Dengan stulus hatinya, dia merelakan kekasihnya untuk menikah dengan wanita lain, yang tidak lain adalah adik angkat dari Endra kekasihnya tersebut. Dengan tekad hati yang mantap Intarti memutuskan untuk menemui adik angkat dari Endra yaitu Susilawati dan berkata kepadanya bahwa ia dengan ikhlas merelakan kekasihnya, Endra menikah dengan Susilawati. Ini bisa digambarkan pada petikan novel tersebut.
“Intarti nedya ngalah, ngalah, kanggo Susilawati lan ibune Susilawati, wondene awake dhewe ora dipikirake maneh. Kanthi sutjining atine lan eklas. Intarti kudu wani korban! Pantjen abot bangetwong arep aweh korban kuwi, nanging kepriye maneh, dalan lijane wis ora ana maneh. Intarti bisane ya mung kurban kuwi, kudu wani medhot katresnane karo Endra, wong sing tansah ditresnani, dheweke kudu wani korban sing semono gedhene, perlu kanggo kepentingan lijan, lan uga kanggo ngluhurake djenenge Endra........”
Bareng tekade wis mantep lan tetep, Susilawati bandjur dikandhani alon-alon, mangkene.....  (hlm 34).”
Hal tersebut diatas menjadi hal yang sangat menarik yang terlihat dari novel Anteping Wanita karya Any Asmara ini. Diceritakan tentang dua orang wanita yang memiliki watak saling berlawanan. Intarti tokoh wanita utama yang memiliki watak berbudi luhur. Dia sangat mencintai orang-orang yang di sekitarnya. Dia juga rela berkorban demi kepentingan orang lain. Intarti rela kekasihnya menikah dengan wanita lain dengan alasan bahwa kekasihnya harus berbalas budi dengan cara menikahi adik angkatnya, Susilawati yang menjadi tokoh kedua wanita yang berwatak jelek.
1.1  Konsep Mitra Sekolah
Dalam konsep “Mitra Sekolah” ini pengarang menceritakan tentang tokoh utama dengan menghadirkan orang lain atau dari penghadiran orang lain. Dalam konsep ini pengarang baru mengenalkan tokoh utama yaitu Intarti, dan yang ke dua adalah Endra sebagai kekasihnya. Konsep ini dilatarbelakangi atas dasar hubungan tali kasih antara Intarti dan Endra dimana hubungan mereka bermula sejak sekolah di SMP.
Di sini juga dikenalakan tokoh yang mendampingi Intarti, yaitu Endra, serta Susilawati yang termasuk tokoh yang sering muncul juga. Diceritakan juga latarbelakang kehidupan Endra. Dia adalah anak angkat dari R. Ismangun yang sudah memiliki anak perempuan bernama Susilawati (adik angkat Endra). Endra diangkat anak sejak umur 1 tahun ketika kedua orang tua Endra sudah meninggal. Sampai umur 22 tahun dan akhirnya lulus sekolah S.G.A Endra dan Intarti mengucapkan janji bahwa mereka akan saling setia, karena mereka juga akan berpisah lama Ini bisa dilihat dari kutipan novel di bawah ini.
“Endra maune kenale karo Intarti ja mung kenal lumrah bae, nanging suwe-suwe, sekarone pada kadunungan rasa sih – katresnan djati, pada dene tansah sih – sinihan, wusana sekarone pada prasetya, jen ing ing tembe mburi nedya urip bebarengan. (hlm 9).”
‘Awalnya Endra kenal dengan Intarti dengan hal-hal yang wajar saja. Namun, karena sudah lama terbiasa bersama akhirnya rasa cinta mereka semakin tumbuh. Sudah seperti suami istri yang berpasangan, dimana keduanya sudah saling berjanji bahwa nantinya akan hidup bersama-sama.’
1.2  Konsep Prasetya
Pada konsep ini pengarang bercerita menggunakan alur maju, yaitu dengan menceritakan kisah tali kasih keduanya. Namun, disini pengarang juga mulai menghadirkan konflik yang belum terlihat dengan jelas. Pengarang menggunakan perantara untuk menghadirkan konflik tersebut.
Konsep ini merupakan kelanjutan kisah dari perjalanan kesetiaan Intarti dan Endra setelah lulus dari sekolah S.G.A. Mereka menjalin tali kasih yang saling berjauhan namun mereka tetap bisa menjaga janjinya masing-masing. Pertemuan mereka hanya diwaktu hari libur saja. Akhirnya dalam waktu dua bulan setelah keduanya bertemu, mereka bisa membuktikan kesetiaan cinta mereka dengan peresmian hubungan mereka. Namun, setelah itu kembali seperti biasa. Hubungan mereka dijembatani tempat dan waktu yang jauh.
Pengarang menghadirkan pantun Jawa untuk memerpindah cerita pada konsep ini, sekaligus arti yang tersurat sebagai bukti dengan adanya kesetian tali kasih keduanya, seperti pada kutipan di bawah ini.
“Jen kramas adja nganggo merang, nanging nganggo godhong kenikir...... Ja mung kangmas, rina -  wengi sing tansah dadi pikir.”
Kalau keramas janganlah menggunakan merang, tapi gunakanlah daun kenikir...... Ya hanya Kangmas, yang setiap malam selalu difikir.’
“Tuku pasah njang Lohsemawe, pasahe ketul tanpa garan...... Gelem pisah karo kowe jen njawaku wis dipundhut ing Pangeran.”
Beli pasah ke Lohsumawe, pasahnya tumpul tanpa garan.... mau pisah dengan kau seorang jikanyawaku sudah kembali pada sang Pangeran.
“Aduh......, djeng, kaja-kaja wis tjukup prasetya kita wong loro iki, ja muga-muga bae Gunug Lawu kang djenggereng ana ngarepku, dadija seksi, lan muga-muga idam-idaman kita enggal bisa kasembadan. (hlm 22).”
Aduh......, djeng, sepertinya sudah cukup saling setia kita berdua ini, semoga saja Gunung Lawu yang ada di hadapanku, menjadi saksi, dan semoga yang kita harapkan bisa segera terwujud.’
Dari kutipan tersebut bisa diketahui bahwa pengarang menciptakan penokohan terhadap Intarti dan Endra termasuk tokoh yang protagonis. Dimana keduanya memiliki sifat dan watak yang hampir sama, yaitu saling memiliki prinsip yang kuat, saling menyayangi dan mencintai.
Pengarang juga memberikan nilai estetika yang berbeda dengan penggambaran kisah cinta yang pada umumnya, terlebih pada zaman sekarang ini. Intarti dan Endra menunjukkan rasa kasih sayangnya melalui kata-kata indah (kiasan). Jika zaman dahulu bisa dinamakan dengan saloka, atau yang termasuk “unen-unen Jawa”. Di zaman sekarang yang sudah modern ini mungkin juga hampir sama, namun yang menjadi perbedaan adalah zaman sekarang saloka tersebut disebut dengan puisi. Namun, tidakbanyak orang di zaman sekarang menggunakan puisi-puisi tersebut untuk menyatakan perasaannya kepada orang yang saling menyayangi. Adapun, mereka adalah orang-orang yang ahli dibidang bahasa atau sastra. Orang di era modern ini cenderung lebih simple.
Pada konsep “prasetya” ini, pengarang juga memberikan satu kejadian dimana kejadian itu merupakan suasana hati yang bingung yang dialamai oleh Endra. Endra mendapatkan surat dari ayah angkatnya, R. Ismangun. Di sinilah pengarang memberikan konflik  awal yang belum jelas disuratkan.
1.3  Konsep Anak Polah, Bapa Kepradah
Konsep ini dapat diartikan “wong tuwa nemu reribed amarga saka polahe anakke”. Pengarang menceritakan lebih jelas lagi, sebuah konflik dari yang sebelumnya. Konsep ini didasarkan pada sebuah perilaku anak yang akhirnya orang tua pun ikut merasakannya. Dalam konsep ini diceritakan bahwa anak polah bahwa anak dari R. Ismangun yaitu Susilawati selama ini ternyata mencintai Endra dimana dia adalah kekasihnya Intarti. R Ismangun memberitahu Endra setelah Susilawati mengirim surat kepada R Ismangun dan R Ngt Ismangun, sebagai orang tuanya. Keduanya juga merasakan kebingungan yang teramat sangat, sama seperti kebingungan yang sedang dialami Endra. Namun, apa daya. Kebingungan itu juga harus berujung pada persetujuan Endra untuk menikahi Susilawati dimana Susilawati tidak lain adalah adik angkatnya sendiri. Kedua orang tua Susilawati sebenarnya tidak memaksakan keputusan Endra. Namun, Susilawati sendiri yang justru memaksakan kehendaknya terhadap Endra.
Dalam konsep ini pengarang yaitu Any Asmara sangatlah terlihat lihai dalam membuat cerita kisah percintaan. Konsep ini dapat dikatakan juga sebagai konsep “Cinta Segitiga”. Dalam konsep ini adalah konsep yang mengandung konflik yang sangat memuncak. Konflik tersebut adalah konflik yang mengandungcerita yang menarik atau menonjol dari novel “Anteping Wanita”. Seperti judulnya, sang pengarang menggambarkan cerita dengan tokoh utama yaitu Intarti sebagai wanita yang memiliki hati yang antep atau kuat. Dengan stulus hatinya, dia merelakan kekasihnya untuk menikah dengan wanita lain, yang tidak lain adalah adik angkat dari Endra kekasihnya tersebut. Dengan tekad hati yang mantap Intarti memutuskan untuk menemui adik angkat dari Endra yaitu Susilawati dan berkata kepadanya bahwa ia dengan ikhlas merelakan kekasihnya, Endra menikah dengan Susilawati. Ini bisa digambarkan pada petikan novel tersebut.
Intarti nedya ngalah, ngalah, kanggo Susilawati lan ibune Susilawati, wondene awake dhewe ora dipikirake maneh. Kanthi sutjining atine lan eklas. Intarti kudu wani korban! Pantjen abot banget wong arep aweh korban kuwi, nanging kepriye maneh, dalan lijane wis ora ana maneh. Intarti bisane ya mung kurban kuwi, kudu wani medhot katresnane karo Endra, wong sing tansah ditresnani, dheweke kudu wani korban sing semono gedhene, perlu kanggo kepentingan lijan, lan uga kanggo ngluhurake djenenge Endra........”          
‘Intarti bersedia mengalah, mengalah, demi Susilawati dan ibunya, walaupun dirinya sendiri tidak Ia pikirkan. Dengan hati yang suci dan ikhlas. Intarti harus berani berkorban! Memang sangat berat orang yang harus berkorban itu. Namun, harus bagaimana lagi, jalan yang lain sudah tidak ada lagi. Intarti hanya bisa berkorban demikian, harus berani memutuskan tali cintanya dengan Endra, orang yang sangat dicintainya, dia harus berani berkorban yang sebegitu besarnya, hanya untuk kepentingan orang lain, dan untuk menjaga nama baik Endra....’
“Bareng tekade wis mantep lan tetep, Susilawati bandjur dikandhani alon-alon, mangkene.....  (hlm 34).
Dengan tekad yang mantap dan kuat, Susilawati lalu dinasehati pelan-pelan, seperti ini......
Hal tersebut diatas menjadi hal yang sangat menarik yang terlihat dari novel Anteping Wanita karya Any Asmara ini. Diceritakan tentang dua orang wanita yang memiliki watak saling berlawanan. Intarti tokoh wanita utama yang memiliki watak berbudi luhur. Dia sangat mencintai orang-orang yang di sekitarnya. Dia juga rela berkorban demi kepentingan orang lain. Intarti rela kekasihnya menikah dengan wanita lain dengan alasan bahwa kekasihnya harus berbalas budi dengan cara menikahi adik angkatnya, Susilawati yang menjadi tokoh kedua wanita yang berwatak jelek.
Jika dilihat di sekitar kita mungkin masih banyak terdapat cerita nyata seperti itu. Namun, sedikit sekali orang yang berwatak sama seperti Intarti, yang memiliki hati yang sangat kuat, walaupun sebenarnya dia rapuh. Namun, demi kebaikan semua dia bersedia merelakan segalanya dan meninggalkan kehidupannya tersebut untuk mencari kehidupan yang baru. Any Asmara membangun watak Intarti tidak hanya sekedar direkayasa, namun Any Asmara memiliki alasan lain, yaitu dia percaya bahwa wanita yang memang berbudi luhur, yang meiliki cinta sejati itu akan bersedia berkorban demi orang yang dicintainya.
3)      Latar Belakang Kehidupan Pengarang
Any Asmara, nama aslinya adalah Achmad Ngubaeni Ranusastraasmara. Kelahiran Banjarnegara, 13 Agustus 1913. Any Asmara terkenal karena menulis buku roman yang menceritakan tentang budi pekerti dengan menambahkan cerita-cerita yang menegangkan, kekejaman, dan khususnya tentang percintaan. Menurut saya, salah satu alasan Any Asmara mengangkat tentang percintaan adalah karena nama yang dimilikinya.
a.      Ideologi
Dalam cerita novel Anteping Wanita ini pengarang juga mencantumkan namanya sebagai tokoh dalam cerita. Walaupun tidak menempati tokoh utama namun Any Asmara selalu mencantumkan namanya disetiap karangan-karangannya. Entah nama asli yang dicantumkan atau hanya nama yang disamarkan? Hal ini masih menjadi dilema bagi para pembacanya. Any Asmara dalam novel ini memposisikan dirinya sebagai orang tua yang hanya menceritakan kisah anaknya yang bernama Intarti sebagai tokoh utama dalam cerita tersebut. Ini tergambar dalam petikan novel berikut.
“Intarti mau putrane R. Ranuasmara, pensiunan Asisten Wedana ing Sidoarjo Surabaja, putrane ja mung sidji til Intarti mau, kang saiki wis ngantjik umur 20 tahun, dadi nedeng-nedenge prawan diwasa. Intarti saiki sekolah ana ing S. G. A. Ngajodja, mlebu Ikatan Dinas. (hlm 7).
‘Intarti adalah anak dari R. Ranuamara, pensiunan Asisten Wedana di Sidoarjo Surabaya, anaknya hanya satu saja yaitu Intarti, yang sekarang ini sudah berumur 20 tahun, jadi menuju wanita yang dewasa. Intarti sekarang sekolah di S. G. A. Yogyakarta, masuk Ikatan Dinas.’
Berdasarkan pada kutipan di atas dapat diketahui pula bahwa Any Asmara dalam menghadirkan tokoh-tokoh dalam karangannya tidak lain adalah orang-orang yang ada di keluarganya sendiri. Seperti halnya Any Asmara yang menyebutkan dirinya  dengan nama R Ranuasmara yang mempunyai anak bernama Intarti. Tokoh lain yang masih berhubungan dengan keluarga Any Asmara adalah wanita yang bernama Susilawati. Wanita ini adalah adik angkat dari Endra. Orang tua dari Susilawati bernama R. Ismangun dan R Ngt Ismangun.
Sebuah hal yang menarik juga dapat kita lihat dari cerita-cerita yang dikarang oleh Any Asmara tersebut, bahwa cerita-cerita yang dikarangannya tidak lain adalah sebuah kisah nyata yang kemudian diangkat menjadi sebuah novel. Namun, di sisi lain, masih terdapat kebingungan. Apakah kisah nyata yang diangkat oleh Any Asmara ini dialami sendiri atau hanya sekedar menceritakan dengan sebuah penggambaran dari orang lain? Hal ini dapat dibuktikan dari dua novel karangan Any Asmara. Dalam novel Anteping Wanita, Any Asmara tidak mengalami langsung kisah tersebut. Dia hanya memposisikan dirinya sebagai orang tua tokoh utama dan hanya diperkenalkan di awal cerita seperti cuplikan yang sudah tertera di atas. Sedangkan di dalam novel yang berjudul Kumandhanging Katresnan, Any Asmara menjadi tokoh utama dalam novel tersebut sekaligus kisah yang diangkatnya adalah dari cerita nyata.
b.      Lingkungan Kehidupan
Lingkungan kehidupan menjadi sesuatu yang penting di dalam sebuah cerita novel. Menegapa demikian? Lingkungan kehidupan inilah yang menjadi suatu cerita dapat dikenali keberadaannya. Any Asmara mengambil cerita novel “Anteping Wanita” ini adalah tidak lain  di daerah-daerah dimana Ia sendiri yang mengalami cerita tersebut. Dalam novel “Anteping Wanita” ini disajikan langkungan kehidupan di daerah-daerah yang asri, daerah-daerah pedesaan yang memiliki hawa sejuk, namun juga sebuah daerah dimana terdapat sebuah aktivitas yang ramai dari daerah tersebut. Contohnya adalah, daerah Djogdjakarta. Daerah ini merupakan daerah pelajar. Dimana dapat dipastikan sebuah aktivitas yang mendominasi adalah di bidang pendidikan. Sama seperti pengarang menceritakan latarbelakang dari perasaan kisah cinta dari Intarti dan Endra.
Dalam novel ini pengarang tidak hanya menyajikan sebuah kehidupan lingkungan yang asri, sejuk dan ramai juga, melainkan sebuah daerah dimana tempat tersebut memang tempat terjadinya cerita. Daerah-daerah lingkungan kehidupan tersebut tidak hanya di sekitar tempat kelahiran pengarang, namun pengarang menyajikan daerah-daerah secara merata.
4)      Penutup/Pesan Mengenai Novel
Berdasarkan cerita novel “Anteping Wanita” beserta analisisnya, dapat kita lihat sebuah pesan yang sangat menarik jika dilihat dari sudut pandag zaman sekarang. Jika dilihat di sekitar kita mungkin masih banyak terdapat cerita nyata seperti itu. Namun, sedikit sekali orang yang berwatak sama seperti Intarti, yang memiliki hati yang sangat kuat, walaupun sebenarnya dia rapuh. Namun, demi kebaikan semua dia bersedia merelakan segalanya dan meninggalkan kehidupannya tersebut untuk mencari kehidupan yang baru. Any Asmara membangun watak Intarti tidak hanya sekedar direkayasa, namun Any Asmara memiliki alasan lain, yaitu dia percaya bahwa wanita yang memang berbudi luhur, yang memiliki cinta sejati itu akan bersedia berkorban demi orang yang dicintainya tersebut, dan dia percaya bahwa akan ada hikmah yang diberikan Allah Swt dibalik semuanya.



10.  Novel Wewadi Alas Pejaten (karya C. Is Sarjoko)
1)      Latar Belakang
Novel ini banyak menonjolkan permasalahan peristiwa-peristiwa sosial meliputi kehidupan dari tokoh utamanya, yang memiliki latar kehidupan yang kurang baik, serta pergaulan Budi Angkoro yang keliru sehingga membuat dia menjadi sosok perampok di masa dewasanya. Sikap pendendam dan aroganya terbentuk karena dia tumbuh pada lingkugan yang kurang baik. permasalahan dalam batinnyapun juga ikut berpengaruh dalam cerita. Secara  sadar  atau  tidak  sadar,keadaan  batin Budi Angkoro terkadang menentang serta tidak setuju  dengan  kelakuan  kasarnya, akan  tetapi juga   sering   kalah   dengan   kebutuhan   dan tuntutan  untuk  bertahan  hidup,  sehingga  dia nekat untuk melakukan pembalakan liar di hutan.
Diceritakan bahwa saat Budi Angkoro masih kecil sudah melakukan pencurian kayu di hutan. Budi Angkoro sedikit demi sedikit mencuri  kayu  sehingga  sudah  menjadi kebiasaan. Kebiasaannya yang demikian membuat Budi Angkooro semakin nekat sehingga ketika ia telah dewasa. Ia mendirikan kelompok  pembalakan  liar  dan  diangkat menjadi ketua kelompok tersebut.Budi Angkoro menjadi dalang peristiwa pembalakan liar yang terjadi di hutan. Peristiwa pembalakan itu merupakan titik awal kemunculan permasalahan yang terdapat pada novel ini.
1.2.Pembalakan
Peristiwa pembalakan saat Budi Angkoro masih kecil dan pada masa remaja merupakan peristiwa pendukung menuju peristiwa pembalakan utama. Pembalakan besar yang dia pimpin tidak selalu berhasil dengan lancar, pada saat Dibyo bertugas (seorang polisi baru) dan mencium pembalakan Budi Angkoro beserta kelompoknya. Keberadaan Dibyo yang menjadi polisi membuat Budi Angkoro menjadi berhati- hati dalam bertindak sehingga suatu malam saat menjalankan aksinya, kaki Budi Angkoro tertembak timah panas milik polisi baru tersebut. Kejadian tersebut membuat Budi Angkoro menjadi marah dan memiliki rasa dendam kepada polisi Dibyo. Kemarahan Budi Angkoro yang tak terbendung, membuat Budi Angkoro menjadi  lebih  nekat.  Budi  Angkoro membalaskan dendamnya dengan cara merampok dan membunuh dan menculik anaknya polisi Dibyo.
Novel Wewadi Alas Pejaten ini, selain banyak   menonjolkan   peristiwa   pembalakan yang terjadi, juga menyuguhkan tentang kisah percintaan yang dibumbui beberapa permasalahan. Prabowo dan Rara Prananti adalah  dua  makhluk  yang  dirundung  cinta, meski terhalang mereka berusaha untuk mempertemukan dan melabuhkan cinta mereka. Permasalahan dalam kisah ini merupakan dampak dari permasalahan pembalakan yang dilakukan Budi Angkoro, sehingga dapat dikatakan permasalahan percintaan dalam novel ini   adalah   sebagai   selingan   dari   peristiwa pokoknya. Rentetan permasalahan yang rumit tersebut menjadikan novel Wewadi Alas Pejaten karya C. Is Sarjoko lebih menarik lagi
Wewadi Alas Pejaten karya Catarina Is Sarjoko merupakan novel yang di dalamnya ditemukan keistimewaan-keistimewaan yang memberikan ciri khas. Keistimewaan dalam novel Wewadi Alas Pejaten ini adalah peristiwa- peristiwa   pembalakan   yang   merambat   dari bagian awal hingga akhir cerita. Struktur dalam novel Wewadi Alas Pejaten menyuguhkan unsur- unsur pembangun strukur cerita melalui alur (plot), tokoh dan penokohan, dan latar serta amanat cerita. Selain unsur intrinsik tersebut, juga  terdapat  unsur-unsur  ekstirinsik  dan rentetan permasalahan-permasalahanyang terus berkembang. Rentetan permasalahan yang sedemikian rupa membuat cerita dalam novel ini menjadi menarik untuk diteliti. Permasalahan diawali dengan kisah pembalakan liar oleh Budi Angkoro kemudian merembet pada kepada Prabowo  saat  menjalankan  kewajibannya sebagai polisi dan seterusnya.
Berdasarkan  uraian  tersebut,  novel  ini akan dikaji dari unsur-unsur struktur cerita akan mengupas peristiwa-peristiwa pembalakan melalui alur, tokoh penokohan dan latar serta amanat ceritanya akan terasa menarik. Pengkajian ini dilakukan sebab dari analisis tersebut  terungkap  fakta-fakta  yang  menarik serta dapat dilihat seberapa besarnya keistimewaan dalam novel Wewadi Alas Pejaten karya  C.  Is  Sarjoko ini.
Latar   yang   terdapat   dalam   novel   ini adalah latar tempat, latar waktu dan . Berikut adalah  salah  satu  kutipan  yang  menunjukan latar tempat dalam novel ini.
“Budi  Angkoro mono wiwit cilik  omahe ya kono kuwi. Desane Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Dohe saka alas jati sing jembare atusan hektar iku mung kira- kira rong atusan meter. Mula ya ora mokal yen wiwit cilik sabane , dolane, ya neng alas jati kuwi ngiras golek rencek kanggo masak mbokne...”(WAP Halaman 6)
“Budi Angkoro dari kecil merupakan warga dari Desa Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak  tempuh antara rumahnya ke hutan   jati   diperkirakan   sekitar   dua   ratus meteran. Maka dari itu tidak heran kalau dari kecil dia sering bermain disitu. Ya di alas jati itu dia mencari kayu kering untuk memasak ibunya.”
Kutipan di atas menjelaskan tentang latar tempat secara detail dari daerah asal Budi Angkoro.  Hutan  jati  tempat  kejadian pembalakan juga disebutkan dalam kutipan di atas. Tempat tersebut berada di Desa Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak tempuh antara rumahnya ke hutan jati diperkirakan sekitar dua ratus meteran.
Latar waktu dalam novel ini antara lain waktu Budi Angkoro masih kecil hingga Budi Angkoro dewasa  dan  menjadi seorang  bapak. Budi Angkoro hidup di jaman yang sudah termasuk moderen karena dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sudah menampilkan adanya gergaji mesin dan pistol yang dipergunakan dalam cerita sebagai barang masa kini. Adanya bandara menjunjukan latar waktu yang sudah maju yaitu di jaman sekarang ini. Berikut adalah salah satu kutipan yang menunjukan latar waktu dalam novel ini.
“Polisi wis tekan bandara Ahmad Yani. Jadwal pesawat Garuda iku take off jam 17.00 mangka wektu wis nuduhake jam 14.30 kanyata Kolonel Jatmiko lan Kolonel Wicaksono wis ngerikake anak buahe kanthi sesidheman tumuju bandhara Ahmad Yani Semarang.” (WAP halaman 36)
 “Polisi sudah sampai di Bandara Ahmad  Yani. Jadwal pesawat Garuda itu take off pukul 17.00 lalu waktu sudah menunjukan pukul 14.30 kenyataannya Kolonel Jatmiko dan Kolonel Wicaksono sudah menyiapkan anak buahnya menuju Bandara Ahmad Yani Semarang.”
Kutipan di atas menunjukan bahwa cerita ini berada pada jaman moderen karena sudah ada  angkutan umum  berupa  pesawat terbang. Adanya bandara dan pesawat menunjukan bahwa latar waktu yang belum terlalu lama.
Tata cara kehidupan sosial dalam novel ini menggambarkan status sosial yang rata-rata menengah. Kehidupan Budi Angkoro kecil yang diceritakan mencari recek  untuk  bahan  bakan masak ibunya menunjukan bahwa untuk membeli minyak tanahpun dia tidak mampu sehingga menggunakan dahan-dahan kering untuk bahan bakarnya. Kehidupan sosial Prananti juga digambarkan sebagai wanita yang tidak dapat meneruskan pendidikannya dan memilih tinggal di desa kemudian mencari uang sebagai penari dan berkebun untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya. Itu ditunjukan dari beberapa peristiwa sebagai berikut:
“Budi  Angkoro mono wiwit cilik  omahe ya kono kuwi. Desane Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Dohe saka alas jati sing jembare atusan hektar iku mung kira- kira rong atusan meter. Mula ya ora mokal yen wiwit cilik sabane , dolane, ya neng alas jati kuwi ngiras golek rencek kanggo masak mbokne...(WAP halaman 6)”
“Budi Angkoro dari kecil merupakan warga dari Desa Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak  tempuh antara rumahnya ke hutan   jati   diperkirakan   sekitar   dua   ratus meteran. Maka dari itu tidak heran kalau dari kecil dia sering bermain disitu. Ya di alas jati itu dia mencari kayu kering untuk memasak ibunya.”
Kutipan di atas merupakan gambaran sosial yang cenderung rendah, dikarenakan cara memasakya saja masih menggunakan kayu sebagai  bahan  bakarnya.  Kayu  tersebut diperoleh secara gratis, hanya perlu mengais dahan-dahan kering yang sudah bergeletakan di hutan tersebut.
Setelah menentukan unsur intrinsik alur, tokoh penokohan dan latar, tahapan selanjutnya adalah menemukan amanat dalam novel ini. Adapun nilai moral yang terkandung dalam novel ini yaitu hormat kepada orang tua, berani menyampaikan pendapat, selalu membela kebenaran,   berani   dan   bertang-gung   jawab, sabar dalam menghadapi permasalahan apapun itu, mendidik anak dengan sebaik-baiknya walalupun orang tua tersebut bukan orang baik- baik.
Faktor-Faktor    Pembalakan    dalam    Novel Wewadi Alas Pejaten Karya C. Is. Sarjoko. Peristiwa pembalakan yang terjadi dalam Novel Wewadi  Alas   Pejaten Karya C. Is. Sarjoko pastinya memiliki faktor yang melatarbelakanginya. Berikut ini merupakan kutipan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pembalakan.
a.      Faktor Keserakahan
“Budi   Angkoro   mono,   yen   atine   dhong wening, jane ya getun yen mentas nyentak-nyentak sing  wadon  sing  tansah  setya  bekti  iku. Ngrumangsani uripe sing lethek, tangane sing wis kelepotan getihe wong sing ora dosa, mung merga nuruti kamurkaning ati srakah. Pingin urip kepenak lan  numpuk  bandha,  kanthi  tanpa  nyambut  gawe sing halal. Budi Angkoro ngakune laku dagang, bathon karo kancane sing jeneng Candholo. Kerep- kerepe budhal saka ngomah wayah sore, lungane sok nganti pirang-pirang dhina. Mangka sejatine, Budi Angkoro mono tetuwane rampong jroning alas jati sing padha dieringi ing anak buahe.
Dheweke kawentar lan julig ngatur strategi marang begundhale nganti wis ping pira wae dheweke digrebeg polisi alas, nanging tansah slamet, lolos saanak buwahe. Kejaba kayu jati seng tansah diincer, kepepete nggarong ngrampog ing karang padesan sing adoh karo omahe uga  kerep  ditindakke.  Tekan  wektu  iku,  pakaryan mau mulus, nganti bojo lan anake wae ora padha ngerti, pakaryan apa sing ditindakke. (WAP halaman 2-3)”
“Budi Angkoro itu, kalau hatinya kadang sedih, kalau habis memarahi istrinya yang berbakti itu. Sadar diri hidupnya yang hina, tangannya yang sudah berlumuran darah orang yang tidak berdosa, hanya karena menuruti keinginan hatinya yang serakah. Ingin hidup enak dan menumpuk harta, dengan cara bekerja yang tidak halal. Budi Angkoro mengakunya berdagang, dengan temanya Candholo.
Sering- sering pergi dari rumah sore hari, perginya kadang sampai beberapa hari. Padahal sejatinya, Budi Angkoro itu ketua rampok dalam hutan jati   yang   diiringi   oleh   anak   buahnya.   Dia terkenal pandai dalam mengatur strategi kepada anak buahnya sampai sudah beberapakali digrebek pilisi hutan, tetapi selalu selamat, lolos semua termasuk anak buahnya. Kalau kayu jati yang   dia   incar,   terpaksanya  dia   merampok didesa yang jauh dari rumahnya sering juga dilakukan. Sampai waktu itu, peristiwa itu berjalan   dengan   mulus,   sampai   istri   dan anaknya tidak mengetahui apa yang dia kerjakan.”
Kutipan   di    atas    menunjukan   faktor keinginan hatinya yang serakah. Budi Angkoro ingin hidup enak dan kaya tetapi tidak mau menempuh jalan yang halal. Ingin menumpuk kekayaan tetapi dengan cara yang salah. Merampok, mencuri, serta melakukan pembalakan adalah cara dia untuk dapat memperoleh harta dengan cepat. Cara yang haram tersebut dia lakukan dari kecil hingga lanjut   usia.   Sikapnya   yang   kurang   terpuji tersebut  merupakan  sikap   yang   tidak   layak untuk ditiru. Tindakan perampokan sering dilakukan jika dia tidak berhasil membalak kayu dihutan. Target oprasi pencurian yang dilakukan itu   ialah   daerah   yang   jauh   dari   daerah rumahnya.
b.      Faktor Lingkungan dan Kebutuhan
“Oh…apurane aku, Le. Bapak pancen wong leletheking jagad  sing  ora  pantes  tinulad  ing  anak putu.  Mbokmu lan  kowe  ora  ngerti,  yen  aku  seng ngaku bapakmu iki, sejatine wong sing ala lan culika. Anggonku seneng maling, ngrampok, ngecu kuwi ora mung saiki wae, ning taklakoni wiwit aku isih jaka. Wiwitane ya mung nyolong kayu jati kuwi cilik- cilikan, ning wusanane merga srawungku karo wong- wong ala sing seneng keplek, kecek, main madon, uripku bubrah. Kanggo nyukupi kesenenganku, apa wae sing cepet ngolehake dhuwit ndaktemah. Kabeh tindak kudu daklakoni, wis ora ana rasa wigah- wigih,” jlentrehe Budi Angkoro kanthi ukara teges.(WAP halaman 59)”
“Oh.. maafkan aku, Nak. Bapak memang orang yang paling kotor didunia ini tidak pantas mengajari anak lan cucu. Ibumu dan kamu tidak tahu, kalau aku yang mengaku bapakmu ini, sebenarnya orang yang jahat dan licik. Kebiasaanku suka mencuri, merampok, itu semua tidak hanya sekarang saja, tetapi aku lakukan dari masih perjaka. Awalnya ya Cuma mencuri kayu jati itu secara kecil-kecilan, lalu karena aku bermain dengan orang-orang yang jahat dan gemar main kartu, main perempuan, hidupku hancur. Untuk mencukupi hobiku, apa saja yang cepat menghasilkan uang aku jalani. Semua tindakan harus aku lakukan, sudah tidak ada rasa tidak enak,” kata Budi Angkoro dengan tegas.
Kutipan di atas menunjukan bahwa Budi Angkoro melakukan pencurian, perampokan itu dari dia masih hidup sendiri. Keadaan lingkungan pergaulan yang membuatnya berani melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Selain itu, pada dasarnya Budi Angkoro sudah  memiliki  bakat  untuk  menjadi pencuri, awal dia mencuri secara kecil-kecilan dia melakukannya sendiri.  Setelah  sering  bermain dengan   orang   yang   gemar   bermain   kartu, keplek, main perempuan dan orang-orang jahat lainnya, Budi Angkoro menjadi berani melakukan perampokan dan pembalakan secara besar-besaran untuk mencukupi kebutuhan hobinya tersebut. apapun yang menghasilkan uang  secara  cepat, dia  akan lakukan. Bahkan jika dengan membunuh orang dia bisa mendapatkan uang, itu pasti sudah ia lakukan secara  berulang-ulang.  Tanpa  rasa  takut  dan was-was dia hanya memikirkan ingin mendapatkan uang secara cepat dan mudah tanpa bekerja keras meskipun hasil uang tersebut bukanlah uang halal. Lingkungan tempat tinggal serta lingkungan pergaulan merupakan faktor utama dalam pembentukn karakter seseorang. Lingkungan yang baik, akan menciptakan manusia yang baik juga. Sedangkan lingkungan penjahat, pasti akan menghasilkan pencuri, perampok serta pembunuh.
c.       Faktor Dendam
“Komandhan anyar Dibyo sing limpat iku tanggap,   grumbul   sing   obah-obah   iku   disasak nganggo tembakan pistol. Salah sijine timah panas saka pistol nyata mampir nyrempet ing lengene Budi Angkoro sing banjur tembus. Budi Angkoro wis apal banget kahanan jroning alas jati kono sing polisi alas dhewe ora mangeteni. Lumrah yen wong sing awatak culika mono mesthi sugih akal lan cara. Ya ing guwa iku Budi Angkoro bisa ngaso lan ngrasakake larane. Atine mangkel lan ngigit-igit banget marang komandhan Dibyo sing wis njugarake rencanane lan gawe tatu awake. Niyate males embuh kapan, ning kekarepan kuwi pinatri ing atine. Batine, utang lara kudu nyaur lara, syukur bisa nganaki nganti atine krasa marem. “Awas kowe Dibyo” ngono grenengane. (WAP halaman 3-4)”
“Komandan Baru Dibyo itu cekatan, semak yang bergoyang-goyang itu ditembakterus menerus menggunakan senapan api. Salah satu timah panasnya menembus lengan dari Budi Angkoro. Budi Angkoro lalu merangkak menuju gua kecil yang berada dalam alas itu. Budi Angkoro  sudah  sangat  hafal  tentang  lokasi- lokasi dari hutan tersebut yang bahkan polisi hutan saja tidak mengetahuinya. Sudah menjadi hal yang wajar kalau orang yang memiliki watak curang itu  pastilah banyak akal dan cara. Ya didalam gua itu Budi Angkoro dapat istirahat dan  merasakan  sakitnya.  Hatinya  marah  dan lainnya, Budi Angkoro menjadi berani melakukan perampokan dan pembalakan secara besar-besaran untuk mencukupi kebutuhan hobinya tersebut. apapun yang menghasilkan uang  secara  cepat, dia  akan lakukan. Bahkan jika dengan membunuh orang dia bisa mendapatkan uang, itu pasti sudah ia lakukan secara  berulang-ulang. 
Tanpa  rasa  takut  dan was-was dia hanya memikirkan ingin mendapatkan uang secara cepat dan mudah tanpa bekerja keras meskipun hasil uang tersebut bukanlah uang halal. Lingkungan tempat tinggal serta lingkungan pergaulan merupakan faktor utama dalam pembentukn karakter seseorang. Lingkungan yang baik, akan menciptakan manusia yang baik juga. Sedangkan lingkungan penjahat, pasti akan menghasilkan pencuri, perampok serta pembunuh.
d.      Faktor Kesetiakawanan
“Mangka sejatine, Budi Angkoro mono tetuwane rampong jroning alas jati sing padha dieringi ing anak buahe. Dheweke kawentar lan julig ngatur strategi marang begundhale nganti wis ping pira wae dheweke digrebeg polisi alas, nanging tansah slamet, lolos saanak buwahe. (WAP halaman 3)”
“Padahal  sejatinya,  Budi  Angkoro  itu ketua  rampok  dalam  hutan  jati  yang  diiringi oleh anak buahnya. Dia terkenal pandai dalam mengatur strategi kepada anak buahnya sampai sudah beberapakali digrebek pilisi hutan, tetapi selalu selamat, lolos semua termasuk anak buahnya.”
Teman-teman     dari     Budi     Angkoro mengetahui bakat  Budi  Angkoro yang  pandai mengatur strategi dan pandai mengatur kawanannya. Setiap perampokan yang digagas Budi Angkoro selalu berhasil dan jarang gagal. Sebab itu Budi Angkoro dipilih dan dijadikan ketua rampok oleh para teman-temannya. Teman-temannya yang setia menjadi anak buahnnya sangat tunduk dan selalu menurut perintah dari Budi Agkoro, sikap-sikap seperti itu merupakan faktor pendukung tindakan nyata dari para teman kepada Budi Angkoro.
e.       Faktor Tempat/Geografis/Letak
“Budi  Angkoro mono wiwit cilik  omahe ya kono kuwi. Desane Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Dohe saka alas jati sing jembare atusan hektar iku mung kira- kira rong atusan meter. Mula ya ora mokal yen wiwit cilik sabane , dolane, ya neng alas jati kuwi ngiras golek rencek kanggo masak mbokne... (WAP halaman 6)”
“Budi   Angkoro   dari   kecil   merupakan warga dari Desa Kedung Jati, Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak  tempuh antara rumahnya ke hutan   jati   diperkirakan   sekitar   dua   ratus meteran. Maka dari itu tidak heran kalau dari kecil dia sering bermain disitu. Ya di alas jati itu dia mencari kayu kering untuk memasak ibunya.”
Cuplikan di atas menunjukan bahwa antara rumah Budi Angkoro dan Hutan jati hanya  berjarak  dua  ratus  meter.  Merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Budi Agkoro berani melakukan pencurian kayu, karena hafal secara detail  tentang seluk beluk dari hutan tersebut membuat Budi Angkoro merasa bebas leluasa dapat masuk serta mengambil apapun yang ada di hutan. Faktor tersebut muncul karena adanya rasa kepemilikan Budi Angkoro yang merasa bahwa dia besar dan saat kecil bermainnya di hutan tersebut.
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pembalakan antara lain: faktor keserakahan, lingkungan dan kebutuhan, dendam, setia kawan, tempat atau geografis/letak. Keserakahan merupakan sifat yang dimiliki manusia, namun pada Budi Angkoro sifat tersebut terlalu dominan sehingga mendorongnya untuk  melakukan pembalakan. Lingkungan yang tidak baik serta kebutuhan yang banyak membuatnya melakukan pembalakan.
Dendam di hati Budi Angkoro membuat dia berani melakukan pembunuhan serta perampokan di rumah Dibyo. Teman merupakan faktor yang mempengaruhi Budi Angkoro menjadi ketua perampok dan melakukan pembalakan dimana-mana, karena teman-temannya memberikan dorongan kepada Budi Angkoro untuk memimpin jalannya Perampokan. Letak geografis atau tempat yang berdekatan dengan hutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya pembalakan di hutan jati tersebut.
2)      Latar Belakang Pengarang
Wewadi Alas Pejaten karya Catarina Is Sarjoko merupakan novel yang di dalamnya ditemukan keistimewaan-keistimewaan yang memberikan ciri khas. Keistimewaan dalam novel Wewadi Alas Pejaten ini adalah peristiwa- peristiwa   pembalakan   yang   merambat   dari bagian awal hingga akhir cerita. Struktur dalam novel Wewadi Alas Pejaten menyuguhkan unsur- unsur pembangun strukur cerita melalui alur (plot), tokoh dan penokohan, dan latar serta amanat cerita. Selain unsur intrinsik tersebut, juga  terdapat  unsur-unsur  ekstirinsik  dan rentetan permasalahan-permasalahanyang terus berkembang. Rentetan permasalahan yang sedemikian rupa membuat cerita dalam novel ini menjadi menarik untuk diteliti. Permasalahan diawali dengan kisah pembalakan liar oleh Budi Angkoro kemudian merembet pada kepada Prabowo  saat  menjalankan  kewajibannya sebagai polisi dan seterusnya.
2.1. Ideologi
Catarina Is Sarjoko adalah seorang penulis novel maupun karya sastra lainnya. Dia mendapatkan penghargaan dari Yayasan Sastra Yogya (Yasayo) sebagai novelis bahasa jawa. Catarina Is Sarjoko, seorang Perempuan kelahiran Sleman, 25 November 1939  ini banyak menulis cerita cekak (cerita pendek) yang dimuat di berbagai majalah Jawa, seperti Joko Lodang dan Penyebar Semangat. Selain menulis cerita cerkak, Catarina juga menulis beberapa novel berbahasa Jawa, seperti Wewadi Alas Pejaten (2012), Kumpulan Cerita Cekak (2012), dan Ketemu Suwaraning Daging (2013).
2.2 Lingkungan kehidupan pengarang
Pengarang mengambil judul ini kemungkinan mengetahui secara langsung bagaimana orang-orang membalak hutan secara ilegal dan besar-besaran. Sehingga penulis mengangkat cerita tersebut menjadi hal yang menonjol dalam novel ini.
3)      Pesan/amanat tentang novel wewadi alas pejaten
·         Jagalah lingkungan kita dengan tidak menebang hutan secara liar.
·         Tanamlah kembali pohon yang telah ditebang supaya suhu udara tetap stabil.
·         Janganlah mempunyai sifat serakah
Sumber :

1 comments: