1. Novel
Pawestri Tanpa Identhiti (karya Suparto Brata)
1)
Latar belakang novel Pawestri Tanpa
Identhiti
Novel
Pawestri Tanpa Idhentiti ini mencakup tentang feminisme, emansipasi wanita atau
lebih jelasnya tentang kesetaraan gender. Dimana Suparto Brata mengangkat
derajatnya Pawestri (tokoh utama), tokoh wanita yang dituduh menjadi wanita
penggoda oleh Pangestu dan dianggap membuat ricuh keluarga Panuluh-Pandora.
Pawestri juga dituduh akan merampas harta dari keluarga Panuluh-Pandora, tapi
tuduhan itu semuanya tidak benar. Tokoh Pawestri, oleh pengarangnya diceritakan
tidak hanya cantik parasnya akan tetapi juga cantik hatinya. Pawestri juga
cekatan dalam bekerja, pinter, terampil tentang bisnis dan sopan santun
terhadap siapa saja. Oleh sebab itu, pengarang berusaha menolak pendapat dari
masyarakat bahwa wanita itu biasanya orang yang bodoh, dan pemalas. Sifat
Pandora dan Pawestri dihadirkan sama, yaitu sama-sama pintar dan mampu
mengembangkan bisnis.
Cerita dari
novel tersebut tokoh Pawestri yang dilukiskan dengan watak perempuan pekerja
keras, cerdas dan memiliki sopan santun. Dalam novel Pawestri Tanpa Idhentiti
diceritakan tentang kehidupan orang jawa yang mengelola bisnis daging jendhel
“daging beku” yang diimpor dari Meatcorp Australia dan usahanya itu berkembang
baik, apalagi setelah kehadiran seorang wanita yaitu Pawestri/wanita tanpa
identitas membuat bisnis itu berkembang sangat pesat dengan membuka cabang
dibeberapa tempat dan berhasil menjadi perusahaan terbesar pada saat itu.
Kehebatan itulah yang ditonjolkan dari novel ini, walaupun seorang wanita yang
hilang ingatan akan tetapi bisa bekerja dengan sangat baik.
Pada
umumnya, wirausahawan/bos-bos itu dipegang oleh laki-laki, akan tetapi dalam
novel ini ditunjukan bahwa wanita juga bisa bekerja keras dan mampu mengunggulinya.
Istilah
emansipasi wanita ini muncul dikarenakan dahulu kaum wanita menginginkan
persamaan hak dan kewajiban dalam politik, sosial, budaya dan ekonomi antara
laki-laki dan wanita. Wanita tidak ingin hanya bediam diri dirumah, tetapi
ingin berkembang selayaknya laki-laki.
Tokoh
perempuan dalam novel ini padahal sangat pekerja keras, sopan terhadap siapa
saja akan tetapi hanya karena salah satu laki-laki yang tidak menyukainya,
membuat tidak menghargai kemampuan perempuan. Peran
tokoh perempuan yang disini ditokohkan oleh Pawestri tanpa identitas yaitu
sosok perempuan yang berkarakter tegas, mandiri, dan maju di bidang publik dan
memperjuangkan pemikiran tentang perlakuan yang sama terhadap semua orang tanpa
melihat status atau kedukan. Nilai feminisme atau emansipasi wanita dalam novel
ini berupa perjuangan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, peran
publik dan produktif, dan pandangan hidup. Novel ini juga terdapat nilai-nilai
pendidikan yang terungkap yaitu nilai kemanusiaan yaitu mengajak agar pembaca
suka menolong, nilai pendidikan yaitu mengajak pembaca untuk suka belajar, dan
nilai moral yaitu mengajak pembaca untuk tidak memiliki sifat balas dendam dan
tidak suka menuduh tanpa bukti.
1.1 Konsep
Wanita Pelayan/nakal (wanita pelayahan)
Pawestri sebagai tokoh utama disini dianggap sebagai wanita pelayan (wanita
pelayahan/wanita nakal). Awalnya keluarga Panuluh Barata
yang mempunyai bisnis daging beku yang diimport dari Australia. Ceritanya
dimulai dari rapat bisnis di Hotel Batavia Inn, Jatinegara Januari 2007. Rapat
itu berisi tentang kontrak import daging dari Australia yang disepakati dan
ditandatangani oleh Panuluh Barata sebagai pemesan dan Victor Holiday dari
pihak penjual. Akhir dari rapat itu Panuluh dimintai tolong oleh Victor Holiday
untuk membantu menyelamatkan wanita cantik yang tertangkap basah berada di
dalam kamar mitra usahanya itu. Wanita itu terlihat sangat pucat sehingga
Panuluh mau menolongnya dari sergapan polisi, dengan mengakui wanita itu
menjadi sekretarisnya dan membawanya ke rumah sakit Waluyajati Bekasi, dan
ternyata wanita tanpa identitas itu hilang ingatan yang tidak bisa mengingat
sama sekali tentang dirinya. Rasa iba Panuluh bertambah, sehingga Panuluh
membawanya untuk menginap dirumahnya yang gabungan dari kantornya juga di
Jatiwaringin. Ceritanya bertambah rumit ketika Pangestu mengetahui bahwa
Panuluh membawa wanita dari hotel (wanita nakal). Sampai akhir cerita konsep
wanita nakal tersebut hilang karena misteri tentang pawestri tanpa identitas
itu terbongkar kebenarannya.
1.2 Perebutan
Harta Warisan
Ketika Panuluh Barata meninggal dunia tiba-tiba. Bagi
Pangèstu, meninggalnya bapaknya (Panuluh Barata) bahkan jadi senjata yang ampuh
untuk mengusir Pawèstri dan anaknya, Damaree Pararatu (Rere), dari rumah
Jatiwaringin dan dari PT Frozenmeat Raya.
Sampai di sini,
usaha bisnis daging beku, sekalipun tanpa Panuluh, tetap bersemarak. Dan
Pangèstu, sebagai peraga antagonis juga terus berusaha menjadi tokoh oposisi,
yang selalu usaha merintangi kegiatan tokoh protagonis. Menurut teori peraga,
jenis peraga protagonis dan antagonis perlu sekali dalam cerita agar cerita
bisa bergejolak, terjadi ketegangan, sehingga jadi dinamis, tidak datar saja.
Pada teori peraga, yang punya watak seperti Pangèstu disebut peraga antagonis. Setelah
bapaknya meninggal dunia, Pangèstu wataknya sebagai peraga antagonis tidak
berubah. Semangatnya mau mengusir Pawèstri dan anaknya (Rere) bahkan
ditingkatkan.
Pangestu
Barata yang tidak menyukai sosok Pawestri masuk dalam keluargane Panuluh dan Pandora.
...”
Enake dipateni wae. Utawa dipitenah supaya ora duwe penguwasan ing kantor kana,
uga disingkirake saka dalem Jatiwaringin kana barang”. (PTI:118).
...’ Enaknya dibunuh
saja. Atau difitnah supaya tidak mempunyai kekuasaan di kantor sana, juga disingkirkan
dari rumah Jatiwaringin sana saja.’
Pada rapat pemilihan
gantinya Direktur Pratama PT Frozenmeat Raya, para pemilik saham memutuskan
secara aklamasi Pawèstri terpilih jadi Direktur Pratama. Pangèstu tidak
bisa terima. Menurut dia yang wajib menggantikan kedudukan bapaknya sebagai
Direktur Pratama harusnya darah Panuluh-Pandora, yang juga pemilik saham paling
besar. Tidak mau menerimanya Pangèstu dengan semangatnya mau mengusir Pawèstri
dari bisnis dan rumah Jatiwaringin hingga dilaporkan ke polisi dan diselesaikan
di sidang Pengadilan umum.
“kowe kabeh aja melu-melu. Aku sing
kepengin manggon ing omahe kene. Wis ayo, mulih. Dakenteni sajrone seminggu,
lo, bu. Yen ora berubah pikiran, emoh lunga saka dalem kene, daklapurake pulisi.”(PTI halaman :314).
‘kamu semua jangan ikut-ikutan. Aku yang ingin
menempati rumah ini. Sudah ayo, pulang. Saya tunggu satu minggu, lho, bu. Kalau
tidak berubah pikiran, tidak mau pergi dari rumah sini, saya laporkan polisi.’
Pengadilan umum dijadikan ajang
klimaks cerita novel PTI ini menang atau kalah dalam perkara tegas menurut
hukum yang adil dan resmi menurut undang-undang.
Mencari benar dan
salah lewat Pengadilan umum sangat langka dijadikan alur pada sastra Jawa, baik
sastra Jawa prakemerdekaan maupun sampai sekarang. Cerita detektif kebanyakan
telah selesai kedapatan penjahatnya sebelum masuk sidang pengadilan umum.
Persoalan salah atau benar dalam suatu cerita bahasa Jawa sudah terbukti pada
akhir cerita tanpa harus diadili di Pengadilan resmi atau menurut undang-undang.
Di Pengadilan umum menang atau kalah dalam berperkara digelar menurut
undang-undang negara dengan menghadirkan pesakitan, jaksa, pembela, hakim,
saksi dan bukti-bukti yang dianggap sah. Ada aturannya, ada istilahnye khusus,
misalnya: eksepsi, klien, attornney counsellor at law, a de charge. Karena
begitu barangkali maka langka sekali Pengadilan umum dijadikan alur cerita pada
sastra Jawa.
2)
Latar belakang kehidupan pengarang
1.3
Ideologi
Nama lengkap dari
Suparto Brata adalah Raden Mas Suparto
Brata terlahir di Surabaya pada tanggal 27 Februari 1923 dari pasangan Raden
Suratman dan Bandara Raden Ajeng Jembawati. Kedua
orangtuanya berasal dari Surakarta Hadiningrat. Suparto Brata adalah sastrawan yang produktif menerbitkan buku fiksi
berbahasa Jawa dan Indonesia. Suparto Brata pernah mendapat penghargaan
dari South East Asia Write Award(2007), penghargaan Rancage (2000,
2001 dan 2005) serta tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of
the World Sixth Edition (1998) terbitan The American Biographical
Institute, Inc, USA. Dalam menulis, Suparto Brata seringkali
menggunakan nama samaran, di antaranya Peni dan Eling
Jatmiko. Suparto Brata menikah pada tahun 1962 dengan Rr. Ariyati, anak seorang
petani kaya di Ngombol, Porwerejo (Jawa Tengah), dan mempunyai 4 orang anak yaitu Tatit
Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neograha Semeru Brata (1969)
dan Tenno Singgalang Brata (1971). Tahun 2010
yang baru lalu, Suparto Brata menerbitkan buku bahasa Jawa 5 judul, semua
berupa roman atau novel. Yaitu Cintrong Paju-Pat (pernah dimuat sebagai cerita sambung di
Panjebar Semangat, 2006), Nona Sekretaris (selesai ditulis tahun 1983-1984), ‘t Spookhuis (cerita
bersambung Panjebar Semangat Februari-April 1991), Riwayat Madege Propinsi Jawa
Timur, Lelabuhane Gubernur Jawa Timur I R.M.T.A.Suryo (terbit
pertama 2010), dan Pawèstri Tanpa Idhèntiti (selesai
ditulis Agustus 2009, terbit tahun 2010).
Dari 5 novel tadi,
novel Pawèstri
Tanpa Idhèntiti menarik perhatian. Ada beberapa hal yang
menonjol yang pantas dicatat. Pertama, salain karya baru (ditulis 2009) juga
objek yang digarap sangat jarang digarap oleh para penulis novel Jawa. Yaitu
bab perusahaan dagang besar, khususnya di novel ini perusahaan dagang daging
sapi beku yang diimport dari Australia. Perusahaan dagang daging beku dengan
nama PT. Frozenmeat Raya itu milik Panuluh Barata dan almarhumah Pandora
(isterinya). Berkantor pusat di Jalan Jatiwaringin Jakarta Timur, yang
sekalian jadi rumah keluarga.
1.4
lingkungan kehidupan pengarang
Seperti tersebut di
atas, mengamati novel PTI tanda yang terlihat pertama adalah para peraga yang
punya profesi bisnis yang sama, perusahaan dagang daging beku. Mereka adalah
Panuluh Barata sebagai Direktur PT Frozenmeat Raya, Victor Holiday, Direktur PT
Meatcorp Inc. Lalu ada peraga wanita yang tanpa identitas (Pawèstri). Ada pula
Dokter Rajiman teman Panuluh Barata, yang dalam cerita ini juga tidak lepas
dari usaha bisnis daging beku. Munculnya peraga wanita tanpa identitas di Hotel
Batavia Inn (Pawèstri) merupakan misteri yang tidak dimengerti oleh siapa saja.
Misteri yang melekat pada diri pribadi Pawèstri itu terus meliputi sepanjang
cerita novel PTI.
Di dunia sastra Jawa
periode pascakamardikan, novel PTI merupakan novel Jawa yang pertama kali
berbicara mengenai bisnis, yaitu bisnis daging beku yang diimport dari
Australia. Novel ini mengingatkan kita kepada suatu novel zaman sebelum
merdeka, yaitu novel Gawaning Wewatekan I dan II (GW I, II, 1928), terbitan
Balai Pustaka, karangan Koesoemadigda. Novel GW I dan II adalah salah satu
conto novel Jawa periode prakamardikan yang menceritakan: Jadi pegawai negeri
itu bukan satu-satunya pekerjaan yang adiluhur. Banyak pekerjaan luhur lainnya
yang juga halal, misalnya berdagang. Pada novel ini pengarang (Koesoemadigda) menyarankan
para pemuda Jawa lulusan sekolah formal Belanda jangan malu tidak jadi pegawai
negeri. Para muda harus berani bekerja di bidang lain, yang juga halal
dan bisa mendatangkan rezeki dan menaikkan derajat. Misalnya bisnis dagang.
Lewat para peragatamanya yang punya wawasan luas dan niat yang tangguh, pada
novel GW I, II, Koesoemadigda menunjukkan kepada para pembacanya agar tidak
menganggap bahwa pegawai negeri itu suatu pekerjaan yang paling tinggi tanpa
tanding kedudukannya. Sebaliknya, perlu diketahui bahwa berdagang juga
bukan pekerjaan yang hina. Buktinya pekerjaan dagang banyak dilakukan oleh
bangsa Cina dan Arab (lihat juga novel Jawa Tan Loen Tik lan Tan Loen Chong,
Ayu Ingkang Siyal, dan novel Pameleh). Seyogyanya bakat dagang juga harus dimiliki
oleh bangsa Jawa seperti halnya yang diceritakan pada novel Gawaning Wewatekan
I, II, tadi.
Hingga pada periode
kemerdekaan ini, profesi dagang masih tetap jarang digarap oleh novelis Jawa.
Padahal pada zaman sekarang sudah banyak sekali orang Jawa yang sukses
melakukan pekerjaan bisnis dagang besar. Oleh karenanya, sepantasnyalah kalau
novel Pawèstri Tanpa Idhèntiti (PTI, tahun 2010) karya Suparto Brata ini
disebut novel pioneer (perintis), atau yang pertama kalinya berbicara bab
bisnis dagang besar yang dilakukan oleh orang Jawa, yaitu Panuluh Barata. Novel
tadi tebalnya 392 halaman, dengan ukuran buku kwarto. Sesuai dengan
majunya zaman, bisnis yang dilakukan oleh keluarga Panuluh Barata tadi bisnis
daging sapi beku yang diimport dari PT Meatcrop Inc di Perth, Australia. Tetapi
yang paling menarik perhatian bagi para pembaca novel ini, cara menguraikan
cerita dasarnya hal bisnis daging diokulasi dengan pelacakan misteri, dan
konsep feminisme sehingga merupakan suatu novel bisnis daging beku yang wutuh
dan indah, lagi “njawani” (bernada kejawaan).
Pada novel PTI banyak sekali
peristiwa yang membetulkan (menerapkan) peraturan yang benar dan undang-undang
yang berlaku. Misalnya tentang usaha dagang menurut peraturan yang benar, cara
mengemudi mobil, akte kelahiran, hak waris, UU HaKI.
Pengarang tidak
alergi menggunakan istilah manca yang mulai populer di masyarakat Jawa
terpelajar untuk menggambarkan kisahnya secara jelas, misalnya istilah jetlag, cluster, cyber, QHSE,
click learning, cardilac arrest. Istilah-istilah itu sudah dipakai dalam
novel PTI.
Meskipun perkara di
Pengadilan umum sekarang sudah jadi bacaan akut di suratkabar, tetapi sampai
sekarang masih langka sekali dijadikan wacana pada sastra Jawa. Apakah para
pengarang sastra Jawa alergi dengan perputaran zaman? Maka dari itu pengarang
novel PTI ini boleh disebut pioneer. Semoga saja para pengarang sastra Jawa
lainnya juga mengikuti jejaknya, tidak alergi dengan berjalannya zaman, lalu
mengarang cerita yang latar peraganya berprofesi (pekerjaannya) modern,
misalnya pengusaha real-estat, persaingan bank, para diplomat, bisnis pesawat
terbang. Pada berita (pers) bahasa Jawa sudah berani mengupas
berkecamuknya profesi-profesi modern itu. Tetapi dalam cerita (sastra) bahasa
Jawa, belum banyak yang berkisah perkara profesi modern tadi. Dalam cerita
sastra Jawa hingga kini yang diceritakan masih soal (profesi/pekerjaan) lama,
seperti guru, petani, tukang becak, pekerjaan tradisional, adat dan tentang
asmara.
3)
Penutup/pesan yang terkandung dalam novel Pawestri
Tanpa Idhentiti
Janganlah suka memfitnah orang lain karena akan
membuat orang lain menderita, hendaklah selalu sabar dan tabah dalam mengarungi
bahtera kehidupan, dan janganlah serakah terhadap apapun yang bukan menjadi hak
kita karena akan merugikan diri sendiri.
Brata,
Suparto. 2010. Pawestri Tanpa Identhiti.
Yogyakarta:Narasi.
2. Novel
Sawise Langite Katon Biru (karya Yunani W. S)
1)
Latar belakang Novel Sawise Langite Katon Biru
Dalam
novel Sawise Langite Katon Biru, pengarang lebih menonjolkan tentang masalah
jiwa, yang dialami oleh tokoh Retno. Retno mengalami kebingungan antara
kepentingan pribadi dan antara
persaudaraan. Tokoh Retno yang harus merelakan penglihatannya karena
kecelakaan waktu berumur 9 tahun, menyebabkan dia merasa rendah diri atau
mempunyai perasaan bahwa dia hidup sudah tidak ada gunanya lagi dan menganggap
orang lain lebih sempurna, lebih beruntung hidupnya. Hal itu juga membuat Retno
merasa putus asa, berfikir kalau hidup jauh dari keramaian itu adalah keputusan
yang sangat tepat. Seperti kutipan berikut:
“Telulas taun Retno
urip ing donya kang peteng lan sepi, rasane kaya wis pirang-pirang puluh taun lawase. Dheweke wis nutup uripe
saka pasrawungan lan karameyan, senenge mung ndhewe ing kamare ngalamun lan
nelangsa. Tujune eyange tansah migatekake lan kerep ngancani dheweke. (Yunani,
2013:6).”
‘Tiga
belas Tahun Retno hidup dalam dunia yang gelap dan sepi, rasanya seperti
berpuluh-puluh tahun hidup dalam keadaan itu. Dia sudah menutup kehidupannya
dari inteaksi dan keramaian, lebih senang menyendiri dikamar melamun dan
meratapinya. Beruntungnya eyangnya terus memperhatikan dan menemaninya’
Kutipan
di atas dimaksudkan bahwa Retno dalam novel tersebut orang yang rendah diri dan
selalu menjauhkan hidupnya dari keramaian. Dia merasa rendah diri karena dia
buta, siapa saja yang mengalami hal seperti itu pasti akan merasakannya juga.
Hal yang menunjukan bahwa dia rendah diri yaitu ketika kakak perempuan yang
sangat menyayangi dan disayangi itu menikah dengan dokter ahli mata, Retno
diminta untuk hadir menyaksikan pernikahan itu, akan tetapi Retno tidak mau
datang dan lebih memilih untuk tetap tinggal di Batu dikarenakan tidak ingin
orang-orang mengetahui adik Endah (kakak perempuan) buta.
“Retno isuk iku
nunggoni Siti masak neng pawon. Ana rasa sedhih lan goreh ing atine jalaran
dheweke ora bisa menyang Surabaya nyekseni mbakyune nikah. Sejatine kulawargane
kabeh iya wis meksa dheweke gelem dijak menyang Surabaya, nanging Retno puguh
ora gelem. Saliyane isin yen mengko diweruhi tamu-tamu dheweke iya rumangsa
minder merga cacade. Jalaran akeh wong sing ora weruh dheweke, ngertine adhine
Endah kuwi neng Batu ndherek eyange. Retno ora kepingin ngrusak sawasana
gembira mau klawan rerasane tamu-tamu, jebulane adhine Endah wuta.
(Yunani,2013:20).”
‘
Pagi itu Retno menemani Siti memasak di dapur. Ada rasa sedih lan sakit di
hatinya karena dia tidak bisa ke Surabaya melihat kakak perempuannya menikah.
Selain malu apabila nanti dilihat tamu-tamu dia merasa minder karena cacat itu.
Pasti banyak orang yang melihat dia, setahunya adiknya Endah itu di Batu ikut
eyangnya. Retno tidak mau merusak suasana senang itu oleh sindiran tamu-tamu
bahwa adiknya Endah ternyata buta’.
Yang
menyebabkan masalah Jiwa dalam diri Retno yaitu pertama karena dia cacat mata
yang digambarkan dalam kutipan dibawah ini
“Sawijining remaja
putri kang ayu rupane nyingkap kordhen jendhela nyawang menjaba. Rambute kang
rembyak-rembyak nutupi pundhak obah-obah keterak angin sore saya nambahi
sulistyane. Nanging yen diwaspadhakake manike mripate kang endah ora obah-obah
babarpisan, mung mandeng mengarep tanpa cahya sumunar. Mripat kuwi mung mandeng
mengarep kaya mripat golekan, sepi lan nglangut. Eman banget dene pasuryan kang
ayu kuwi rinengga mripat kang wuta.(Yunani, 2013:1)”
‘seorang
remaja putri yang rupanya cantik jelita membuka korden jendele meluhat kaadaan
diluar. Rambutnya yang diurai menutupi pundak. Tapi apabila diperhatikan, bola
mata yang indah itu digerak-gerakan tidak berubah sama sekali, hanya memandang
ke depan tanpa adanya cahaya sinar. Mata itu hanya menghadap seperti mata
mainan, sepi dan larut. Kasihan sekali apabila muka yang cantik itu terdapat
mata yang buta’.
Dan jauh dari keramaian atau jauh dari
orang-orang yang setiap hari hanya ditemani oleh eyangnya digambarkan dalam
kutipan berikut.
“Telulas taun Retno
urip ing donya kang peteng lan sepi, rasane kaya wis pirang-pirang puluh taun
lawase. Dheweke wis nutup uripe saka pasrawungan lan karameyan, senenge mung
ndhewe ing kamare ngalamun lan nelangsa. Tujune eyange tansah migatekake lan
kerep ngancani dheweke (Yunani, 2013: 6).”
‘tigebelas
tahun Retno hidup dalam kegelapan, rasanya seperti sudah berpuluh-puluh tahun
lamanya. Dia sudah menutup hidupnya dari kehidupan dan keramaian, kesenangannya
hanya berada di kamarnya untuk melamun dan meratapinya. Beruntungnya eyangnya
selalu memperhatikannya dan sering menemani dia’.
“Mas Retno kuwi isih
ijo banget. Dheweke durung tau srawung karo priya. Pasrawungane durung jembar,
pengalamane durung ana. ... (Yunani, 2013:67)”.
‘Mas
Retno itu masih polos banget, dia belum pernah berdekatan dengan laki-laki.
Kenalannya belum luas, pengalamane belum ada’.
Alurnya
dari novel ini yaitu alur maju menyebabkan pembaca tidak kebingungan untuk
memahami isi dari cerita. Penulis bisa membawa pembaca seperti menyaksikan
langsung kejadian kejadian yang dialami oleh para tokoh.
Isi
cerita dari novel Sawise Langite Katon Biru yaitu menceritakan tentang cinta
segitiga yang dilakukan antara Retno, Hendratmo dan Endah. Retno yang buta dari
umur 9 tahun hingga 21 tahun tinggal bersama eyangnya di Batu dan keluarganya
berada di Surabaya. Retno mempunyai kakak perempuan bernama Endah yang sangat
menyayangi Retno. Maka dari itu Endah mencari calon suami yang bekerja sebagai
dokter agar bisa mengoprasi mata adiknya. Pada akhirnya Endah menemukan calon
suami dokter yang bernama Hendratmo, mereka pun menikah. Tapi tidak menyangka
bahwa Hendratmo justru mencintai Retno semenjak pertama kali bertemu. Hendratmo sering sekali menemui Retno di Batu dengan alasan untuk
memeriksa matanya Retno yang akan dioprasi. Mulai saat itu rasa cinta tumbuh
diantara Retno dan Hendratmo. Mereka berdua lama kelamaan hubungannya malah
tambah dekat dan hal itu tidak diketahui oleh Endah. Suatu hari saat berada di
rumah Surabaya, hanya ada Hendratmo dan Retno karena Endah pergi untuk menemani
ibunya menonton wayang. Rasa cinta antara Retno dan Hendratmo sudah tidak bisa
dihalang-halangi lagi, keadaan rumah yang sepi membuat mereka saling
mengungkapkan rasa cintanya. Akan tetapi tiba-tiba Endah pulang dikarenakan
dompetnya ketinggalan di rumah, tidak disangka Endah melihat Hendratmo dan Retno
sedang berduaan. Endah jengkel dan marah besar ke Hendratmo terlebih lagi sama
Retno. Endah tidak mau mengakui Retno sebagai adiknya lagi karena
pengorbanannya yang dilakukan selama ini untuk Retno ternyata dibalas dengan
perselingkuhannya dengan Hendratmo (suaminya). Retno diminta untuk tidak boleh
menemui Hendratmo lagi. Retno menyadari bahwa dirinya memang berbuat salah dan
berdosa, akhirnya Retno pulang ke Batu, disitu Retno mengungkapkan semua
perbuatan dosanya kepada Rama Rubertus dan bertekad akan benjadi non atau
biarawati.
Simpulannya tokoh Retno dalam novel ini adalah sebagai tokoh utama yang
sedang mengalami kebingungan, antara cinta dan persaudaraan.
1.1.Perselingkuhan
Laki-laki mana yang kuat melihat seorang wanita
tanpa cacat berada dipangkuannya di tempat yang sepi, rerangkulan Hemdratmo
membuat retno diam sementara waktu untuk merasakan rasa yang belum pernah
dirasakan selama hidupnya.
“Ning...
aku luwih mulya ing sisihmu Ret, tinimbang sing sisihe Endah,” kandhane
Hendratmo karo nyekel pundhake Retno kenceng banget. Panyawange maneng Retno
landhep nanging kebak pengarep-arep njaluk diwelasi. Halaman 58.”
‘Ning...aku lebih mulya berada disampingmu Ret,
ketimbang disamping Endah,” omongan Hendratmo bersama memegang pundak Retno
sangat erat. Penglihatannya terhadap Retno yang tajam akan tetapi penuh dengan
pengharapan untuk dikasihani’
Cuplikan tersebut menandakan Hendratmo sedang merayu
Retno agar Retno mau menerima semua keinginannya.
“Retno,
wis tinakdirake yen kita kudu ketemu lan nresnani. Aku ora saguh pisah karo
kowe Ret...” Hendratmo gedheg-gedheg banjur ngrangkul Retno kenceng banget.
Wiwitane Retno arep bangga. Nanging bareng pengrangkule Hendratmo saya dikencengi
Retno ora bisa suwala, mung bisa pasrah. Halaman 58”
‘Retno, sudah ditakdirkan bahwa kita
memang harus bertemu dan saling mencintai. Aku tidak sanggup pisah denganmu
Ret...” Hendratmo menggelengkan kepalanya kemudian merangkul Retno dengan
sangat erat. Retno bangga, tetapi ketika rerangkulannya Hendratmo tambah
dieratkan menjadikan Retno tidak bisa bergerak, hanya bisa pasrah.’
“Retno,
dakkandhani ya. Sejatine biyen sing ngoyak-oyak aku kuwi mbakyumu Endah.
Dheweke mung ngoyak titelku. Kebeneran kulawargaku seneng karo Endah lan ibuku
nate kepotangan budi karo dheweke. Nalika ibu operasi lan butuh getih, Endah
sing nyumbangake getihe sing kebeneran cocog lan nalika iku cedhak. Dadi Endah
sing nylametake ibuku. Retno, sejatine aku luih nresnani kowe tinimbang Endah
sawise kepethuk kowe,” kandhane Hendratmo karo ngelus-elus rambute Retno sing
ponine nutupi bathuke. Halaman : 62”
‘Retno, aku omongi ya. Sebenarnya dulu yang
mengejar-ngejar itu Endah kakakmu. Dia hanya mengejar titelku. Kebetulan saja
keluargaku senang dengan Endah dan ibuku pernah berhutang budi sama dia. Ketika
ibu oprasi dan sedang membutuhkan darah, Endah yang menyumbangkan darahnya yang
kebetulan cocok dan ketika itu menjadi dekat. Jadi endah yang menyelamatkan
ibuku. Retno, sebenarnya aku lebih mencintai kamu ketimbang Endah seelah
bertemu kamu,” omongan Hendratmo dengan membelai rambutnya Retno yang poninya
menutupi batuk’
“Retno
arep mbantah nanging keselak lambene Hendratmo neceb lambene Retno suwe banget
supaya Retno ora bisa guneman maneh. Wiwitane Retno arep emoh nanging banjur
manut wae ora bisa nulak ubaling geni asmara sing wiwit murub makantar-kantar.
Swasana omah sing sepi saya aweh kebebasan marang wong loro kuwi ngumbar rasa
kangen lan tresnane. Halaman 62”
‘Retno ingin membantah tetapi tiba-tiba Hendratmo
menciumnya sangat lama supaya Retno tidak bisa membantahnya lagi. Pertama-tama
Retno ingin menolaknya tapi malah manut dan tidak bisa menolak gejolak asmara
yang terus berkobar-kobar. Suasana rumah yang sepi menambah kebebasan untuk
pasangan itu mengumbar rasa kangen dan cintanya.’
Semua
cuplikan novel diatas membuktikan bahwa adanya perselingkuhan antara Hendratmo
suami dari Endah dengan Retno sebagai adiknya Endah sendiri.
1.2.Egois
Masalah
lebih memilih kepentingan pribadi juga terdapat dalam tokoh Retno, yaitu selalu
melakukan apa saja hanya untuk memuaskan diri sendiri dan tidak memikirkan
bagaimana kehidupan orang lain disekitarnya. Perbuatan Retno yang termasuk
egois atau memilih kepentingan pribadi yaitu menyukai Hendratmo. Walaupun Retno
mengerti bahwa perbuatan itu salah dan berdosa, tapi Retno tetap mengungkapkan
rasa sayangnya kepada Hendatmo. Dibuktikan pada kutipan berikut.
“Sewulan, rong wulan nganti pirang-pirang
wulan, sesambungan kang slithutan mau saya kepatri ing atine dhewe-dhewe tanpa
ana sing ngerti. Sok-sok krasa nglarakake ati lan nuwuhake panelangsa tumrape
sing padha nglakoni. Retno ngerti yen tumindake mau kleru lan dosa. Nanging
dheweke ora kuwawa merangi rasa mau jroning atine, luwih-luwih yen pinuju
adhep-adhepan karo Hendratmo. Anane mung manut karo pangajake Hendratmo lan
eman nampik kanikmatan sing durung tau dirasakake mau. Lan Retno pancen
mbutuhake kabeh mauing uripe ckang garing lan sepi saka priya lan katresnan.
(Yunani, 2013:59).”
‘sebulan,
dua bulan sampai berbulan-bulan, hubungan yang dijalani menjadi rahasia pribadi
tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Terkadang menyakitkan hati lan
menyebabkan penyesalan untuk yang melakukan. Retno mengerti bahwa perbuatannya
itu keliru dan termasuk dosa. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa melawan
perasaan yang ada dalam hati, terlebih lagi apabila berhadapan dengan
Hendratmo. Hanya bisa manut terhadap keinginan Hendratmo dan menikmati
kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Dan Retno memang membutuhkan
semua itu selama hidupnya yang kering dan sepi dari laki-laki dan cinta’.
Keadaan
yang dialami oleh Retno sebelum dioperasi membuat hidupnya menjadi gelap.
Hidupnya hanya ditemani oleh neneknya. Orang tuanya sibuk dengan pekerjaanya,
sehingga Retno kurang bergaul dengan orang lain terlebih lagi dengan seorang
pria. Oleh karena itu, Retno yang setelah mendapatkan kembali penglihatannya dan
setelah melihat Hendratmo yang sangat ngganteng membuat rasa cinta tumbuh
didirinya. Walaupun Retno mengetahui bahwa mencintai kakak iparnya sendiri
adalah perbuatan yang melanggar dosa.
“Eyange bola-bali kirim
layang nakokake kapan Retno bali menyang Batu. Seliyane wis kangen Bu Purwo uga
kesepen banget tanpa Retno ing sisihe. Retno sing luwih seneng neng Surabaya
tansah ngulur-ulur wektu supaya ora enggal bali menyang Batu. Apamaneh dheweke
kudu ngrampungake olehe kursus privat sing ora sedhela wektune. Karepe Eyange kursus
neng Malang wae, nanging Retno luwih seneng neng Surabaya. Mula eyange banjur
nglayangi Endah, supaya Retno diolehi bali nyang Batu ngancani eyange. Wiwitane
Endah kabotan yen Retno bali menyang Batu jalaran Retno uga butuh cedhak
kulawargane, bapak-ibune. Wong tuwane Retno uga kepengin Retno manggon ing
surabaya wae. Halaman 53”
‘Neneknya
sering mengirimkan surat untuk menanyakan kapan Retno bisa pulang ke Batu. Selain
sudah kangen Bu Purwo juga kesepian tanpa Retno disampingnya. Retno yang lebih senang
di Surabaya malah engulur-ulur waktu supaya tidak cepat pulang ke Batu. Apalagi
dia harus menyelesaikan les privat yang tidak membutuhkan waktu sebentar.
Keinginan neneknya les di Malang saja, tapi Retno lebih senang di Surabaya.
Oleh karena itu, neneknya mengirimkan surat ke Endah, supaya Retno dibolehkan
pulang ke Batu untuk menemani neneknya. Sebenarnya Endah keberatan apabila Retno pulang ke Batu karena Retno
juga butuh dekat dengan keluarganya, bapak-ibunya. Kedua orang tuanya juga
berkeinginan Retno untuk tinggal di Surabaya saja.’
“Neng Batu sepi ah,“
wangsulane Retno nalika ditari mbakyune bali menyang Batu ngancani eyange sing
kesepen. Halaman 53”
‘di
Batu sepi lah, jawaban Retno ketika ditawari kakaknya untuk pulang ke Batu
menemani neneknya yang kesepian’.
Cuplikan
diatas menandakan bahwa Retno yang sebelum matanya di operasi (masih buta)
lebih senang tinggal di Batu ketimbang di Surabaya karena tidak ada yang
mengurusnya dan setelah penglihatannya kembali normal malah lebih senang tinggal
di Surabaya, tidak mementingkan neneknya lagi yang telah merawatnya setelah
bertahun-tahun dengan sabar dan penuh kasih sayang.
2) Latar
belakang kehidupan pengarang
2.1 Ideologi
Pengarang menulis novel ini berdasarkan hal nyata,
yaitu terinspirasi oleh pengalaman orang yang mempunyai cerita. Sewaktu
pengarang sedang jalan-jalan dikota Batu, Malang. Dia melewati sebuah gereja.
Dari dalam gereja keluarlah seorang biarawati yang sangat cantik. Pengarang
berfikir kenapa wanita secantik itu bersedia menjadi biarawati. Pengarang
bertanya-tanya kepadanya dan setelah pengarang mendapatkan semua cerita dari
biarawati tersebut kemudian pengarang menceritakannya kembali dalam bentuk
tulisan dan dibuatlah novel dengan judul “Sawise Langite Katon Biru” yang
diterbitkan pada tahun 2013 tepatnya bulan Februari dengan penerbitnya
Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) makarya bareng AZZAGRAFIKA . Dari bab 6
ada kalimat yang “wengine saya sepi,
angine saya atis. Bengi iku setan padha jejogedan ajak-ajak tumindak dosa”.
Pada cuplikan tersebut banyak pembaca yang mengira bahwa Hendratmo dan Retno
bertindak yang sudah melewati batas (dosa). Tapi pada kenyataannya antara
Hendratmo dan Retno tidak bertindak yang melewati batas, seperti yang
diterangkan oleh pengarang yaitu keduanya berselingkuh, namun belum sampai
melakukan hubungan intim. Hal ini dikarenakan diakhir cerita Retno mengabdi
sebagai Biarawati, sedangkan syarat menjadi Biarawati adalah masih suci.
2.2 lingkungan
kehidupan
Novel
“Sawise Langite Katon Biru” penulisnya adalah Yunani, salah satu penulis yang
sudah sangat mahir dalam hal tulis-menulis. Yunani memulai untuk menulis yaitu
tahun 1970 di majalah mingguan Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Novel yang
sudah diterbitkan antara lain Dokter Wulandari, Katresnan Lingsir Sore, Kalung
Barleyan (Antologi geguritan Pengarang/Prof. Dr. Suripan Sadi Hoetomo), Cinde
Laras (dongeng anak basa jawa). Crita anak basa Indonesia: “Perjalanan ke
Timur”, “Kartini Kecil dan Beberapa Cerita Pendek Lainnya”. Novel terakhir
yaitu Angin Saka Paran (2005).
3)
Penutup/pesan dalam Novel Sawise Langite Katon Biru
Novel ini bisa dibaca untuk siapa saja, diharapkan :
·
supaya mengerti bahwa manusia tidak boleh
mengumbar-umbar keinginannya saja,
·
harus selalu ingat kepada penciptanya.
·
Hormatilah orang yang menyayangi kita dan
jangan menyakitinya.
·
Setialah terhadap pasangan dan jangan
menyakitinya.
S. W, Yunani. 2013. Sawise Langit Katon Biru.
Yogyakarta:Azzagrafika.
3. Novel
Wedhus Gembel Gunung Merapi ( Suci Hadi Suwita)
1) Latar
belakang Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi
Novel Wedhus Gembel karangan Suci Hadi Suwita ini
menceritakan perjalanan hidup seorang wanita cantik tetapi memiliki kaki
pincang, perempuan ini bernama Darmini. Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi ini
memiliki alur campuran, dan Suci Hadi Suwita banyak menulis
ketegangan-ketegangan yang menciptakan rasa penesaran pembaca. Inti dari cerita
ini adalah kala srenggi
Cerita
ini diawali dengan menggambarkan masalah yang sedang dialami oleh tokoh utama
yaitu Darmini yang memikirkan Mas Salim. Darmini bekera di toko Ramai sedangkan
Salim bekerja dilosmen. Mas Salim adalah seorang pria yang jatuh cinta pada
Darmini Salim jatuh cinta saat pandangan pertama, pada waktu Salim berboncengan
dengan temannya. Pada waktu itu Salim melihat kecantikan Darmini. Salim mencari
informasi tentang Darmini dan setiap hari Salim menunggu Darmini pulang hanya
sekedar untuk melihat. Salim jatuh cinta kepada Darmini tetapi dia tidak
percaya dengan perasaannya karena dia mencintai seorang yang cacat fisik. Pada
waktu pendekatan Salim mengajak Darmini jalan-jalan ke Kopeng disana Salim
bertemu dengan Duryat laki-laki paruhbaya yang sedang bermersaan dengan seorang
wanita yang berbeda pula dengan wanita di losmen. Salim berkenalan dengan
banyak wanita dan wanita yang dia kenal adalah wanita nakal karena dia bekerja
di losmen Salim pernah kedatangan tamu yang berumur 55 tahun pria itu bernama
Duryat. Salim terheran-heran karena di umur senja masih melakukan hal-hal yang
tidak baik. Setelah banyak pengalaman Salim merasa percaya jika Darmini adalah
wanita yang baik dan Salim bertekad untuk menyatakan cinta kepada Darmini.
Salim menyatakan cinta kepada Darmini tetapi Darmini menolak karena dia tidak
percaya dan dia meminta keseriusan kepada Salim. Untuk membuktikan
keseriusannya Salim pergi kerumah Darmini untuk bertemu dengan Ibunya. Ayah
Darmini entah pergi kemana pada waktu kecil ayahnya meninggalkannya ketika tau
bahwa anaknya cacat. Setelah Salim kerumah Darmini, Darmini percaya bahwa Salim
benar-benar serius mencintainya Salim ada niatan untuk melamar Darmini pada
waktu itu juga tetapi Darmini dan Ibunya menolak karena takut Darmini akan
ditolak oleh keluwarga Salim. Salim mengajak Darmini kerumah Salim keluwarga
Salim menerima kedatangan Darmini. Ibunya Salim terkejut ketika melihat Darmini
karena alis dan kening Darmini mirip sekali dengan seseorang yang selama ini
dilupakannya dan ingatan itu muncul ketika melihat Darmini. Salim memiliki
nasib yang sama dengan Darmini dia ditinggalkan oleh ayahnya pada saat ibunya
masih mengandung.
Setelah
keduabelah pihak menyetujui hubungan mereka Salim melamar Darmini. Mereka pun
menikah dan mereka hidup bersama keluwarga Salim setelah beberapa bulan menikah
mereka hidup di Dongkelan hidup dirumah yang sederhana. Darmini masih bekerja
di toko Ramai dan Salim masih bekerja di Losmen di Malioboro tetapi Salim
dipindah bekerja di Kaliurang, karena jarak antara rumah dan Kaliurang itu jauh
sehingga Salim meninggalkan istrinya di rumah. Salim setiap minggu pulang untuk
bertemu dengan Darmini. Darminipun hamil mereka sangat bahagia Salim menyuruh
adik perempuannya untuk menemani Darmini di rumah.
Ketika
Darmini dirumah dai kedatangan tamu perempuan cantik dan masih muda wanita itu
mencari Salim wanita itu berkata kepada Darmini bahwa Salim memiliki
hubungannya wanita itu bernama Warti. Warti itu jandha yang ditinggal pergi
oleh suaminya ketika anaknya berumur dua tahun sehingga dia menyukai Salim
tetapi Salim menolaknya karena dia telah memiliki istri oleh karena itu Warti
ingin melihat istri Salim dan membuat Darmini cemburu. Ketika Salim pulang
Darmini tidak berkata apa-apa dan Salim menyadarinya setelah itu Salim bertanya
kepada Darmini dan menjalaskan tentang Warti Darminipun percaya kepada Salim.
Salim
kembali bekerja di Kaliurang dia meninggalkan istrinya yang sedang hamil mereka
berpisah untuk mencari uang. Suatu malam Salim kedatangan tamu seorang wanita
cantik yang berumur kira-kira 35 tahun wanita menggoda Salim dan meminta Salim
untuk menemaninya. Tetapi rasa cintanya Salim kepada Darmini tidak membuat Salim
tergoda oleh wanita lain. Salim di Hotel itu bekerja dengan mbok Nah, mbok Nah
itu orang yang memasak untuk para tamu. Mbok Nah memiliki anak yang bernama
Harti mbok Nah ditinggal ayahnya Harti. Suatu hari Salim bertemu lagi dengan
Duryat laki-laki yang sering pergi dengan wanita-wanita nakal, Pak Duryat itu
menginap dikamar no enam bersampingan dengan wanita yang semalam menggoda
Salim, mereka sangat cocok sehingga mereka tidur bersama tanpa ada ikatan
pernikahan. Setelah kedatangan Pak Duryat kehotel itu mbok Nah menjadi aneh dia
menjadi pendiam dan sering marah-marah. Salim pun bingung dengan tingkah laku
mbok Nah. Salim mengobrol dengan Harti anak mbok Nah anak kecil itu memiliki
alis dan kening yang sama dengan Darmini sehingga Salim ingin pulang dan
bertemu dengan Darmini. Mbok Nah bertemu dengan pak Duryat dan pak Duryat kaget
karena mbok Nah ada disini. Salim bertanya kepada mbok Nah siapa Duryat itu dan
pak Duryat itu adalah ayah Harti mbok Nah bercerita kepada Salim bahwa Duryat
itu adalah Hartono. Salimpun bertanya kepada Pak Duryat siapa itu Hartono pak
Duryat pun menjelaskan kepada Salim bahwa dia seseorang yang nakal yang
memiliki nama banyak dan dia sering mengelabuhi wanita-wanita bahkan dia
memiliki anak dimana-mana anak-anaknyapun ditinggalkan begitu saja. Pak Duryat
bercerita bahwa dia ke Kaliurang untuk bernoslatgian dengan kenangan-kenangan
dengan mbok Nah. Pak Duryat juga bercerita dia masih memiliki istri anak dan
cucu ydi Lampung tetapi dia tidak cinta dengan istrinya sehingga dia mencari
wanita yang mencintainya dan dia juga mencintanya.Setelah pak Duryat tau bahwa
Harti itu adalah anaknya dia memberi uang kepada Harti. Suatu hari pak Duryat
bertemu dengan mbok Nah pak Duryat tau bahwa mbok Nah itu wanita yang selama
ini dia cari karena sekian banyak wanita
yang ditinggalkan hanya mbok Nah yang tidak menikah dan pak Duryat tau bahwa
mbok Nah masih mencintainya. Pak Duryatpun berbicara kepada mbok Nah bahwa dia
akan menikahinya secara resmi. Tetapi mbok Nah tidak terima karena selama ini
dia merasa disakiti oleh pak Duryat. Mereka bertengkar dan Salim menghampiri
pak Duryat dan mbok Nah. Mbok Nah melempar pisau kearah pak Duryat tetapi Salim
menghalanginya sehingga pisau itu mengenai Salim dan Pak Duryat. Salim dan pak
Duryat di bawa ke rumah sakit dijogja dan mbok Nah dibawa kepolsek Kaliurang.
Kemudian keluarga Salim dihubungi. Pak Marto ayah tiri Salim menengok Salim
pada malam itu juga, luka Salim tidak parah hanya dijahit saja dan besok pagi
sudah boleh pulang. Keesokan harinya Mbok Soma dengan adik adik dan ipar Salim
datang, Darmini dan ibu Salim belum datang karena rumah sakit dengan rumahnya
cukup jauh. Mbok bertanya kepada Salim bagaimana kronologisnya dan mengapa bisa
terjadi hal seperti itu. Salim menceritakan semuanya, setelah itu Mbok Soma
diajak Salim menengok pak Duryat, betapa terkejutnya mbok Soma melihat pak
Duryat, pak Duryat itu adalah Darmono ayah Darmini. Salimpun terkejut dan dia
khawatir jika nanti Darmini adalah adiknya karena selama ini dia bertemu dengan
orang yang memiliki nasib yang sama dengannya seperti Darmini dan Harti dimana
mereka memiliki ayah yang sama. Setelah ibunya dan Darmini datang Salim
mengajak ibunya untuk bertemu pak Duryat, ternyata benar pak Duryat itu adalah
ayah Salim. Betapa tidak bingung ketika dia tau bahwa istrinya adalah adiknya
sendiri dan Salim sudah terlanjur cinta dan Darmini sekarag sedang hamil, dan
anak yang ada di dalam kandungan itu adalah kala srenggi seprti dalam sebuah
cerita wayang. Salim dan mbok Marto tidak membongkar cerita ini karena takut
masalahnya semakin parah. Salim sudah boleh pulang Salimpun pulang kerumahya.
Salim dan Pak Duryat pergi ke polsek untuk meringankan hukuman mbok Nah. Mbok
Nah pun sudah keluar dari penjara pak Duryat melamar mbok Nah dan mbok Nah menerimanya.
Tetapi pak Duryat harus memiliki izin dari istri pertamanya yang ada di
Lampung. Pak Duryat pergi ke Lampung setelah mendapatkan izin pak Duryat
menikahi mbok Nah dan memboyong mbok Nah ke Solo. Salim sudah kembali bekerja
lagi, pak Duryat mbok Nah dan Harti pergi ke hotel Kaliurang untuk berlibur.
Pada waktu itu ada hajatan di sebelah Hotel dan Salim mengajak Pak Duryat untuk
menemaninya di jalan Pak Duryat dan Salim berhenti dipinggir jalan untuk
istirahat dan saat itu juga Salim bercerita bahwa dia adalah anak Pak Duryat
pada saat itu pula awan panas dari gunung merapi keluar atau yang sering
disebut wedhus gembel. Dan pak Duryat berkata bahwa dia sangat bersalah
sampai-sampai anaknya menikah. Pak Duryat dan Salimpun meninggal oleh awan
panas atau wedhus gembel.
1.1.Kala
Srenggi
Menurut
saya inti dari novel ini adalah kala Srenggi. Kala Srenggi adalah tokoh wayang
yang berupa raksasa yang perkasa. Cerita ini berawal dari kelakuan bapak Kala
Srenggi kala itu Dewi Wara Sembrada berubah menjadi Permadi. Bahwa ibunya Kala
Srenggi atau Permadi berubah menjadi Dewi Wara Sembrada. Setelah itu dia
disuruh mencari Raden Permadi yang saat itu sedang pergi dari kerajaan
Madukara. Setelah beberapa lama Bapak kala Srenggi bertemu dengan Permadi yang
berubah menjadi Dewi Wara Sembrada di hutan. Mereka berdua memadu kasih setelah
itu Permadi berubah kebentuk asalnya dan betapa terkejutnya bahwa dia telah
bercinta dengan saudaranya sendiri.
Cerita
ini sama dengan cerita Darmini dan Salim yang berada di dalam novel Wedhus
Gembel Gunung Merapi. Yang berawal dari cerita dialami oleh tokoh utama yaitu
Darmini yang memikirkan Mas Salim. Darmini bekera di toko Ramai sedangkan Salim
bekerja dilosmen. Mas Salim adalah seorang pria yang jatuh cinta pada Darmini
Salim jatuh cinta saat pandangan pertama, pada waktu Salim berboncengan dengan
temannya. Pada waktu itu Salim melihat kecantikan Darmini. Salim mencari
informasi tentang Darmini dan setiap hari Salim menunggu Darmini pulang hanya
sekedar untuk melihat. Salim jatuh cinta kepada Darmini tetapi dia tidak
percaya dengan perasaannya karena dia mencintai seorang yang cacat fisik. Pada
waktu pendekatan Salim mengajak Darmini jalan-jalan ke Kopeng disana Salim
bertemu dengan Duryat laki-laki paruhbaya yang sedang bermersaan dengan seorang
wanita yang berbeda pula dengan wanita di losmen. Salim berkenalan dengan
banyak wanita dan wanita yang dia kenal adalah wanita nakal karena dia bekerja
di losmen Salim pernah kedatangan tamu yang berumur 55 tahun pria itu bernama
Duryat. Salim terheran-heran karena di umur senja masih melakukan hal-hal yang
tidak baik. Setelah banyak pengalaman Salim merasa percaya jika Darmini adalah
wanita yang baik dan Salim bertekad untuk menyatakan cinta kepada Darmini.
Salim menyatakan cinta kepada Darmini tetapi Darmini menolak karena dia tidak
percaya dan dia meminta keseriusan kepada Salim. Untuk membuktikan
keseriusannya Salim pergi kerumah Darmini untuk bertemu dengan Ibunya. Ayah
Darmini entah pergi kemana pada waktu kecil ayahnya meninggalkannya ketika tau
bahwa anaknya cacat. Setelah Salim kerumah Darmini, Darmini percaya bahwa Salim
benar-benar serius mencintainya Salim ada niatan untuk melamar Darmini pada
waktu itu juga tetapi Darmini dan Ibunya menolak karena takut Darmini akan
ditolak oleh keluwarga Salim. Salim mengajak Darmini kerumah Salim keluwarga
Salim menerima kedatangan Darmini. Ibunya Salim terkejut ketika melihat Darmini
karena alis dan kening Darmini mirip sekali dengan seseorang yang selama ini
dilupakannya dan ingatan itu muncul ketika melihat Darmini. Salim memiliki
nasib yang sama dengan Darmini dia ditinggalkan oleh ayahnya pada saat ibunya
masih mengandung.
Setelah
keduabelah pihak menyetujui hubungan mereka Salim melamar Darmini. Mereka pun
menikah dan mereka hidup bersama keluwarga Salim setelah beberapa bulan menikah
mereka hidup di Dongkelan hidup dirumah yang sederhana. Darmini masih bekerja
di toko Ramai dan Salim masih bekerja di Losmen di Malioboro tetapi Salim
dipindah bekerja di Kaliurang, karena jarak antara rumah dan Kaliurang itu jauh
sehingga Salim meninggalkan istrinya di rumah. Salim setiap minggu pulang untuk
bertemu dengan Darmini. Darminipun hamil mereka sangat bahagia Salim menyuruh
adik perempuannya untuk menemani Darmini di rumah.
Ketika
Darmini dirumah dai kedatangan tamu perempuan cantik dan masih muda wanita itu
mencari Salim wanita itu berkata kepada Darmini bahwa Salim memiliki
hubungannya wanita itu bernama Warti. Warti itu jandha yang ditinggal pergi
oleh suaminya ketika anaknya berumur dua tahun sehingga dia menyukai Salim
tetapi Salim menolaknya karena dia telah memiliki istri oleh karena itu Warti
ingin melihat istri Salim dan membuat Darmini cemburu. Ketika Salim pulang
Darmini tidak berkata apa-apa dan Salim menyadarinya setelah itu Salim bertanya
kepada Darmini dan menjalaskan tentang Warti Darminipun percaya kepada Salim.
Salim
kembali bekerja di Kaliurang dia meninggalkan istrinya yang sedang hamil mereka
berpisah untuk mencari uang. Suatu malam Salim kedatangan tamu seorang wanita
cantik yang berumur kira-kira 35 tahun wanita menggoda Salim dan meminta Salim
untuk menemaninya. Tetapi rasa cintanya Salim kepada Darmini tidak membuat
Salim tergoda oleh wanita lain. Salim di Hotel itu bekerja dengan mbok Nah,
mbok Nah itu orang yang memasak untuk para tamu. Mbok Nah memiliki anak yang
bernama Harti mbok Nah ditinggal ayahnya Harti. Suatu hari Salim bertemu lagi
dengan Duryat laki-laki yang sering pergi dengan wanita-wanita nakal, Pak
Duryat itu menginap dikamar no enam bersampingan dengan wanita yang semalam
menggoda Salim, mereka sangat cocok sehingga mereka tidur bersama tanpa ada
ikatan pernikahan. Setelah kedatangan Pak Duryat kehotel itu mbok Nah menjadi
aneh dia menjadi pendiam dan sering marah-marah. Salim pun bingung dengan
tingkah laku mbok Nah. Salim mengobrol dengan Harti anak mbok Nah anak kecil
itu memiliki alis dan kening yang sama dengan Darmini sehingga Salim ingin
pulang dan bertemu dengan Darmini. Mbok Nah bertemu dengan pak Duryat dan pak
Duryat kaget karena mbok Nah ada disini. Salim bertanya kepada mbok Nah siapa
Duryat itu dan pak Duryat itu adalah ayah Harti mbok Nah bercerita kepada Salim
bahwa Duryat itu adalah Hartono. Salimpun bertanya kepada Pak Duryat siapa itu
Hartono pak Duryat pun menjelaskan kepada Salim bahwa dia seseorang yang nakal
yang memiliki nama banyak dan dia sering mengelabuhi wanita-wanita bahkan dia
memiliki anak dimana-mana anak-anaknyapun ditinggalkan begitu saja. Pak Duryat
bercerita bahwa dia ke Kaliurang untuk bernoslatgian dengan kenangan-kenangan dengan
mbok Nah. Pak Duryat juga bercerita dia masih memiliki istri anak dan cucu ydi
Lampung tetapi dia tidak cinta dengan istrinya sehingga dia mencari wanita yang
mencintainya dan dia juga mencintanya.Setelah pak Duryat tau bahwa Harti itu
adalah anaknya dia memberi uang kepada Harti. Suatu hari pak Duryat bertemu
dengan mbok Nah pak Duryat tau bahwa mbok Nah itu wanita yang selama ini dia
cari karena sekian banyak wanita yang
ditinggalkan hanya mbok Nah yang tidak menikah dan pak Duryat tau bahwa mbok
Nah masih mencintainya. Pak Duryatpun berbicara kepada mbok Nah bahwa dia akan
menikahinya secara resmi. Tetapi mbok Nah tidak terima karena selama ini dia
merasa disakiti oleh pak Duryat. Mereka bertengkar dan Salim menghampiri pak
Duryat dan mbok Nah. Mbok Nah melempar pisau kearah pak Duryat tetapi Salim
menghalanginya sehingga pisau itu mengenai Salim dan Pak Duryat. Salim dan pak
Duryat di bawa ke rumah sakit dijogja dan mbok Nah dibawa kepolsek Kaliurang.
Kemudian keluarga Salim dihubungi. Pak Marto ayah tiri Salim menengok Salim
pada malam itu juga, luka Salim tidak parah hanya dijahit saja dan besok pagi
sudah boleh pulang. Keesokan harinya Mbok Soma dengan adik adik dan ipar Salim
datang, Darmini dan ibu Salim belum datang karena rumah sakit dengan rumahnya
cukup jauh. Mbok bertanya kepada Salim bagaimana kronologisnya dan mengapa bisa
terjadi hal seperti itu. Salim menceritakan semuanya, setelah itu Mbok Soma
diajak Salim menengok pak Duryat, betapa terkejutnya mbok Soma melihat pak
Duryat, pak Duryat itu adalah Darmono ayah Darmini. Salimpun terkejut dan dia
khawatir jika nanti Darmini adalah adiknya karena selama ini dia bertemu dengan
orang yang memiliki nasib yang sama dengannya seperti Darmini dan Harti dimana
mereka memiliki ayah yang sama. Setelah ibunya dan Darmini datang Salim
mengajak ibunya untuk bertemu pak Duryat, ternyata benar pak Duryat itu adalah
ayah Salim. Betapa tidak bingung ketika dia tau bahwa istrinya adalah adiknya
sendiri dan Salim sudah terlanjur cinta dan Darmini sekarag sedang hamil, dan
anak yang ada di dalam kandungan itu adalah kala srenggi seprti dalam sebuah
cerita wayang. Salim dan mbok Marto tidak membongkar cerita ini karena takut
masalahnya semakin parah. Salim sudah boleh pulang Salimpun pulang kerumahya.
Salim dan Pak Duryat pergi ke polsek untuk meringankan hukuman mbok Nah. Mbok
Nah pun sudah keluar dari penjara pak Duryat melamar mbok Nah dan mbok Nah
menerimanya. Tetapi pak Duryat harus memiliki izin dari istri pertamanya yang
ada di Lampung. Pak Duryat pergi ke Lampung setelah mendapatkan izin pak Duryat
menikahi mbok Nah dan memboyong mbok Nah ke Solo. Salim sudah kembali bekerja
lagi, pak Duryat mbok Nah dan Harti pergi ke hotel Kaliurang untuk berlibur.
Pada waktu itu ada hajatan di sebelah Hotel dan Salim mengajak Pak Duryat untuk
menemaninya di jalan Pak Duryat dan Salim berhenti dipinggir jalan untuk
istirahat dan saat itu juga Salim bercerita bahwa dia adalah anak Pak Duryat
pada saat itu pula awan panas dari gunung merapi keluar atau yang sering
disebut wedhus gembel. Dan pak Duryat berkata bahwa dia sangat bersalah
sampai-sampai anaknya menikah. Pak Duryat dan Salimpun meninggal oleh awan
panas atau wedhus gembel.
2) Latar
Belakang Pengarang
Pengarang
novel Wedhus Gembel Gunung Merapi adalah Suci Hadi Suwita, lahir di Yogyakarta
tanggal 21 Januari 1936. Dia bersekolah di SMAN 1 Surakarta. Ibu Suci Hadi
Suwita tidak pernah belajar tentang sastra pada waktu sekolah. Beliau menulis
sastra Jawa pertama kali pada tahun 1991, pada waktu mengikuti lomba menulis geguritan
yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta bersamaan dengan Sanggar Sastra Jawa
Yogyakarta. Beliau belajar sastra di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta selama dua
bulan sekali dan ikut bengkel sastra yang diadakan Sanggar Sastra Jawa
Yogyakarta. Bu Suci Hadi Suwita tidak hanya seorang sastrawan tetapi beliau
membuka wiraswasta di bidang kuliner yaitu membuat abon sapi, kering kenthang
dan makanan ringan. Kebetulan anaknya yang paling bungsu kuliah di UGM di
Fakultas Sastra sehingga beliau bisa belajar dari meminjam buku anaknya. Beliau
membuat karya anatara lain membuat cerita sambung untuk anak-anak, cerita cekak
atau cerkak, dan artikel, tetapi karya terbesarnya adalah geguritan. Oleh
karena itu buku yang sudah dicetak berwujud antologi guritan, yaitu :
1. Antologi geguritan Megar (2003) yang
berisi 72 judul geguritan.
2. Antologi geguritan Bakal Terus Gumebyar
(2010) yang berisi 105 judul geguritan.
Novel
pertama yaitu Wedhus Gembel Gunung Merapi, yang berawal dari tahun 1994. Dan
semoga karyanya ini bisa menambah banyak pencinta karya sastra jawa.
2.1. Ideologi pengarang
Ideologi
pengarang pada novel ini adalah menceritakan tentang likaliku percintaan
biyasanya seorang wanita akan tertarik pada perjalanan cinta. Dan pengarang
sangat menggambarkan keadaan kota Yogyakarta pada masa itu dan juga memunculkan
peristiwa atau musibah yang dialami warga Jogja yaitu tentang dahsyatnya wedhus
gembel atau awan panas gunung Merapi. Penulis menghubungkan cerita percintaan
dengan keadaan sekitar. Sehingga muncul karya satra yang berjudul Wedhus Gembel
Gunung Merapi yang berisi kisah percintaan dan hubungan kisah percintaan dan
wedhus gembel terdapat pada akhir cerita dimana kakak yang telah menjadi suami
Darmini dan ayahnya.
2.2. Latar belakang kehidupan pengarang
Pengarang
atau Suci Hadi Suwita hidup di Yogyakarta sehingga dalam membuat karyanya
beliau menggambarkan suasana Yogyakarta sehingga pembaca seolah-olah ikut
berperan dalam cerita itu karena menggambarkan seting dnegan sangat jelas.
Pengarang kebetulan seorang wanita sehingga beliau memunculkan tokoh utamanya
seorang wanita. Padahal dalam ceritanya itu menonjolkan bahwa tokoh utamanya
adalah Salim bukan Darmini karena ceritanya mendominasi kisah Salim. Dalam
cerita juga tokoh Salim sangat berperan aktif dalam inti cerita. Mungkin
penulis tidak ingin ceritanya menjadi cerita Kala Srenggi seperti dalam kisah
pewayangan. Atau mungkin pengarang ingin menjunjung martabat wanita sehingga
beliau memilih wanita sebagai tokoh utama.
Simpulan
Simpulan
pada cerita ini adalah kisah perjalanan hidup yang dialami oleh Darmini dan
Salim. Dimana mereka saling mencinta ternyata mereka bersaudara. Mereka sampai
menikah karena mereka tidak tau bahwa mereka seorang kakak adik. Semua
terungkap ketika Salim dan Duryat masuk ke rumah sakit karena dikenai pisau
oleh mbok Nah. Tetapi inti cerita ini dirahasiakan oleh Salim dan Salim
menceritakan ini kepada Duryat yaitu ayahnya Salim menceritakan sebelum mereka
meninggal terkena awan panas gunung merapi atau yang sering disebut Wedhus Gembel.
Dari
segi pengarang yaitu pengarang menceritakan di Yogyakarta yaitu dimana penulis
berasal. Dan dalam cerita ini penulis menghubungkan lika-liku percintaan dengan
bencana alam yang terjadi yaitu wedhus gembel dan menjadikan judul. Wedhus
Gembel dijadikan judul karena rasa sakitnya terkena awan panas dengan kala
srenggi sama-sama sakit.
3) Pesan/amanat
dari Novel Wedhus Gembel Gunung Merapi
Novel
yang sedikit membingungkan tapi mempunyai pesan yang terkandung didalamnya
yaitu Jangan bersedih apabila pasangan ditakdirkan belum berjodoh, semua yang
telah terjadi pasti ada hikmahnya.
Sumber
:
Suwita,
Suci Hadi. 2011. Wedhus Gembel Gunung
Merapi. Yogyakarta:Elmatera
4. Novel
Carang-Carang Garing (Tiwiek, SA)
1)
Latar belakang Novel Carang-Carang Garing
Novel
Carang-Carang Garing menceritakan tentang perjalanan suatu keluarga di suatu
desa. Sang ayah yang bernama Suyatman bekerja sebagai tukang becak, namun
memiliki kegemaran bermain judi. Istrinya, Darminah, berdagang bumbu pasar di pasar
desa. Mereka memiliki 4 anak, Darmini, Darmono, Yanto, dan Darto. Keadaan
ekonomi keluarga mereka serba kekurangan. Hal inilah yang menjadi pokok
permasalahan yang memunculkan berbagai masalah baru. Dengan kata lain, hal yang
ditonjolkan dari novel ini adalah tentang keadaan ekonomi yang serba kurang.
Realisasi
di jaman sekarang juga masih terjadi, banyak yang nekad melakukan apa saja demi
kebutuhan sehari-hari.
Kata
Carang-Carang Garing memiliki arti tersendiri. Kata ini merupakan pasemon (perumpamaan) yang menggambarkan
kesengsaraan rakyat kecil yang selalu menjadi korban penguasa. Selain harus
hidup sengsara mencari nafkah untuk keluarga, masih harus menghadapi kenyataan
pahit yaitu hidup di penjara. Ini tergambar dalam petikan berikut.
“Nasibe wong cilik. Wis rekasa
ngupaya boga, isih kudu nyandhing lelakon pait kang munthes pangarep-arep dina
mburi. Ibarate kayadene carang-carang garing, kang mung kena kanggo sugon geni
minangka kayu bakar, tanpa bisa digunakake kanggo kaperluwan liya kang luwih
migunani (hlm. 189)”
‘Nasibnya
orang kecil. Sudah susah menyandang hidup, masih harus menerima kehidupan pahit
yang harus ditanggung. Seperti carang-carang garing, yang hanya bisa untuk api
seperti kayu bakar, tanpa bisa digunakan untuk keperluan yang lain yang lebih
berguna’
Ringkasan cerita
Suyatman dan keluarganya hidup
kekurangan. Banyak masalah yang harus mereka hadapi. Salah satu masalahnya
adalah hamilnya Darmini oleh Bambang, dan ketika Darmini meminta
pertanggungjawaban dari Bambang, Bambang malah melanggar janjinya. Masalah
bertambah ketika Suyatman ingin menggugurkan kandungan Tatik, adik istrinya
yang diperistri oleh Camat Heru melalui jamu dari dukun. Ini dilakukan karena
Suyatman menginginkan harta Heru agar jatuh ke tangan Darmono, anak Suyatman
yang menjadi anak angkat Heru. Ulah Suyatman digagalkan Darmini dengan menukar
botol isi jamu tersebut dengan jamu untuk wanita hamil. Jamu dari dukun lalu
diminum sendiri oleh Darmini sehingga ia berhasil menggugurkan kandungannya.
Akhirnya Tatik tetap melahirkan putra yang bernama Wawan. Sebelumnya,
kedatangan Lik Sumi dari Surabaya dengan perubahan yang begitu berbeda dari
sebelumnya membuat Darmini ingin ikut dengannya. Lik Sumi sudah mengingatkan namun
Darmini memaksa. Akhirnya Lik Sumi mengizinan Darmini untuk ikut dengannya,
bekerja di Surabaya. Namun saat mengetahui bahwa Lik Sumi adalah seorang germo,
Darmini ragu-ragu. Namun ia berpikir bahwa ia pun sudah tidak suci lagi.
Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja
dengan Lik Sumi. Saat mendapat job, ia bertemu Bambang. Melihat ada kesempatan
untuk balas dendam, ia segera bertindak untuk membunuh Bambang. Setelah
berhasil, ia melarikan diri. Di sisi lain, Suyatman yang mengetahui Darmono
dipukul Heru menjadi marah, dan berniat menyingkirkan Wawan. Klimaks cerita
adalah jatuhnya Wawan di kolam ikan sampai meninggal yang disengaja oleh
Suyatman. Akhirnya dengan bantuan Adri, dapat diketahui bahwa yang membunuh
Wawan adalah Suyatman. Suyatman akhirnya dijebloskan ke penjara.
1.1.Kemiskinan
Pada
permulaan novel diceritakan bahwa Darmini menemui Bambang (seorang pemborong
kaya) yang dulu telah berjanji untuk menikahinya. Namun setelah tiga bulan yang
ditunggu ternyata tidak muncul kabarnya. Maka Darmini bertekad untuk mencari
Bambang dan menagih janjinya. Namun setelah keduanya bertemu, Bambang melanggar
janjinya. Ia justru mencaci maki Darmini. Darmini sadar dengan status dirinya
sebagai orang miskin. Maka ia pulang tanpa hasil dengan amarah dan kesedihan
yang ia pendam.
Dari
cerita tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbedaan status sosial mempengaruhi
tindakan dan perlakuan seseorang. Seseorang yang miskin dan tidak punya
apa-apa dianggap lemah, dan gampang
diperdaya oleh orang kaya, yang lebih kuat. Dengan manisnya Bambang
memanfaatkan kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap Darmini, anak
dari keluarga miskin.
“Kula ngrumaosi Lik, wontene
dipunapusi tiyang nggih mergi kula niki tiyang mlarat. Tiyang mlarat pancen
mboten diajeni liyan. Nggih awit saking niku, kula nekad tumut Lik Sumi. Kula
pengin sugih Lik,” wuwuse Darmini sawise rampung crita. Halaman 56”
‘Aku
ya ngerti Budhe, kenapa dibohongi orang ya karena aku ini orang miskin. Orang
miskin memang tidak dihargai orang lain. Maka dari itu, aku wis yakin ikut
Budhe Sumi. Aku pengin jadi orang kaya Budhe,” ceritanya Darmini setelah
selesai bercerita.’
Gambaran
lain dari masyarakat sekitar juga tersirat dari petikan berikut.
… Kowe sesok menyanga Mirigambar,
golekana dhukun bayi aran Mbok Sarjinten. Dheweke kuwi pinter gawe jamu sing
bisa nyeblokake wetengan. Jamune mandi banget. Wong meteng waton durung kliwat
limang sasi, dijamoni sepisan wae wetengane mesthi ceblok. Langganane akeh.
Bocah sekolah sing meteng nganggur, bojon pejabat sing padha nyleweng, playune
mesthi mrono! …
‘....
Kamu besok pergi ke Mirigambar, carikan dukun bayi yang bernama Mbok Sarjinten.
Dia itu pinter membuat jamu yang bisa menggugurkan kandungan. Jamune manjur
sekali. Orang hamil tua belum genap lima bulan, diberi jamu satu kali saja bisa
langsung keguguran. Pelanggannya sudah banyak. Anak sekolah yang hamil duluan,
para pejabat yang suka selingkuh, perginya pasti kesitu!’
Dari
petikan di atas terlihat bahwa dengan dipercayanya Mbok Sarjinten, kasus hamil
di luar nikah banyak terjadi di Mirigambar dan sekitarnya. Ini menunjukkan
penurunan moral masyarakat.
1.2.
Terjebak menjadi wanita penghibur
Di
sini masyarakat digambarkan dengan pola pemikiran yang masih tradisional, yang
cenderung berorientasi pada peningkatan ekonomi diiringi kurangnya pertimbangan
atau bahkan tanpa pertimbangan terhadap sesuatu hal yang akan dilakukannya.
“Tiyang kagelan kados kula boten enten bentene
mbutdamel awon napa sae. Sing baku angsal yatra lan cepet sugih Lik,” ujare
Darmini manteb. Manteb lan nekat. Darmini sajak ora perduli. Dheweke wis ora
mikir, sing arep dilakoni mengko kuwi klebu dosa apa pahala…. (hlm.
56)
‘orang
berdosa seperti saya tidak ada bedanya kalau mencari pekerjaan yang benar. Yang
penting menghasilkan uang dan bisa cepat kaya Lik,” ucapannya Darmini manteb.
Manteb dan nekad. Darmini sudah tidak peduli. Dia sudah tidak mau ambil pusing,
yang akan dilakukan nanti itu termasuk dosa atau pahala.’
Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada keraguan bagi Darmini untuk masuk ke dalam
jurang kemaksiatan karena ia menganggap dirinya sudah kagol. Semangat hidupnya sudah pupus karena ia menganggap dirinya
sudah tidak suci lagi . Orientasi Darmini beralih ke bagaimana cara untuk
mendapatkan banyak uang.
“Ora beda karo Karsih biyen, najan
wis dadi bau tengene Sumi nanging uga isih ngrangkep dadi dagangan. Panemune,
yen mligi dadi pembantune Sumi bae ora cepet sugih. Mangka Darmini kepengin
banget sugih. Mula pakaryan sing sedurunge babarpisan ora nate klebu
angen-angen iku kepeksa dilakoni. Dadi waniya lanyah! Ning kelase Darmini luwih
dhuwur yen dibanding karo kanca-kancane padha-padha dagangane Lik Sumi. Darmini
kalebu wanita panggilan kelas menengah ke atas! Taripe larang. Sing nyenengake
, tarip sing ditampa saka pelanggan ora wajib setor marang Lik Sumi. Sawutuhe
dadi hake dhewe. Mula ora aneh yen celengane wis nglumpuk akeh. Halaman 57”
‘Tidak
sama dengan Karsih dahulu, walaupun sudah menjadi pembantu atau tangan kanannya
Sumi tapi juga sih merangkap menjadi “penjual”. Menurutnya, apabila hanya
menjadi pembantunya Sumi saja tidak akan cepat kaya. Karena Darmini sudah
sangat ingin kaya. Maka dari itu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah sama
sekali diimpikan, itu terpaksa harus dilakukan. Menjadi wanita penghibur! Tapi
kelasnya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang
sama-sama penjualnya Budhe Sumi. Darmini termasuk wanita panggilan kelas
menengah ke atas! Tarifnya mahal. Yang menyenangkan, tarif yang dihasilkan dari
pelanggan tidak wajib menyetorkan ke Budhe Sumi. Seutuhnya menjadi hak pribadi.
Maka tidak aneh apabila tabungannya sudah menumpuk banyak.’
1.3.Irrasional
Novel
ini memberikan gambaran bagaimana keadaan sosial masyarakat yang cenderung
mempercayai mimpi, gugon tuhon, dan takhayul. Keadaan masyarakat desa yang
masih kental dengan adat tradisi mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku
mereka.
Di
awal novel diceritakan bagaimana reaksi masyarakat dengan keanehan yang terjadi
di sungai. Sungai yang semula tidak pernah ada udang tiba-tiba mengeluarkan
banyak udang. Banyak warga yang memanfaatkan peluang itu. Namun ada seseorang
yang mengingatkan untuk menghentikan pencarian udang. Gambaran masyarakat pada
saat itu tercermin dalam petikan novel berikut.
“Pak
Gumbreg nyedhak karo krenggosan. Tembunge,”Nek pengin slamet aja kok bacutne
nggonmu amek urang. Aku mentas ngimpi ditemoni mbah Brewok,”ujare Pak Gumbreg
tumemen. “Heh?! Sapa Mbah Brewok iku Kang?” pitakone saweneh uwong.
‘Pak Gumbreng mendekat dengan was-was.
Ucapannya, “Apabila ingin selamat janganlah kamu mencari udang. Aku tadi malam
habis mimpi ditemui mbah Brewok, katanya Pak Gumbreng itu sering banget mencari
udang. “Heh?! Siapa mbah Brewok itu Kang?” tanya orang.’
“Wah,
mosok wong kene rung tau krungu? Cilaka ane! Mbah Brewok ki dhemit sing
mbaureksa kali kene iki. Urang sing ujug-ujug muncul samene akehe iki klebu
ingon-ingone. Ingon-ingone Mbah Brewok!”
“Hahh?!
Wong-wong mbengok bareng. Banjur padha ngowoh. Gumun campur miris. …
Swasana
bali gumyek. Pakaryan amek urang ing dina iku mandheg jegreg. Malah
oleh-olehane padha diguwangi menyang kali. Sing dirembug ganti bab anggone arep
asok tumbal. (halaman 29-31)”
‘”Wah, masa orang sini belum pernah
mendengarnya? Bahaya banget! Mbah Brewok ini hantu yang menguasai sungai di
sini. Udang yang tiba-tiba muncul banyak seperti ini termasuk peliharaannya
Mbah Brewok!’
“Hahh?! Orang-orang berteriak semua,
terus diam sejenak. Heran bercampur sedih. ...
‘Suasana kembali ramai. Pekerjaan
menangkap udang pada hari itu berhenti semua. Malah hasil yang sudah tertangkap
dikembalikan lagi ke sungai. Yang dibahas ganti tentang bagaimana kita mencari
tumbal.’
Dari
petikan tersebut dapat diambil simpulan bahwa masyarakat daerah tersebut masih
percaya dengan adanya mimpi kadaradasih
(akan menjadi kenyataan). Ini menunjukkan pola pikir masyarakat yang masih
setia dengan gugon tuhon. Adanya rembugan
untuk memberikan tumbal merupakan salah satu wujud guyup rukun masyarakat.
Wujud
tenggang rasa juga terlihat dalam cerita ini. Ketika ada kesempatan bagi warga
untuk memperoleh keuntungan dari munculnya kejadian yang tak terduga,
masyarakat bersama-sama mencari, namun tidak tampak ada perebutan. Mereka
merasa nglenggana bahwa mereka
sama-sama mencari keuntungan yang diberikan Tuhan melalui kejadian yang tak
terduga.
Untuk
menyelesaikan masalahnya akibat perbuatan Bambang dan menghentikan rencana
jahat Suyatman untuk menggugurkan kandungan Tutik, Darmini menggunakan trik
dengan mimpi yang dibuat-buat. Ia paham bahwa Suyatman sangat percaya dengan
mimpi. Mendengar bahwa anak Tutik kelak akan memberi kebahagiaan pada
keluarganya, Suyatman kemudian membatalkan rencananya.
Dibuktikan
dalam cuplikan novel berikut.
“Darmini mesem. Banjur, “Pak, Pak.
Aku maeng bengi iki rak isa turu-turu. Eh, bareng esuk iki maeng isa turu
dadakna ngimpi,” ujar Darmini wiwit ngetrepake rantamane. Halaman 33”
‘Darmini
mesem. Terus, “Pak, Pak. Aku tadi malam ini tidak bisa tidur. Eh, sudah pagi
baru bisa tidur jadi ngimpi,” kata Darmini mulai menjalankan misinya.’
“Ngimpi apa Min? Adakane ngimpi
wayah ngarepake subuh ngono ki sok ndaradasihi,” tumanggape Suyatman. Halaman
33.
‘Mimpi
apa Min? Biasanya mimpi wayah pagi itu pertanda baik,” jawab Suyatman.
“Anu-e Pak, rumangsaku Bulik Tutik
ki ngandheg. Ngene Pak, rumangsaku aku ki ditekani nini-nini tuwa nggawa teken.
Nini-nini kasebut omong nyang aku, --Ndhuk... dakkandhani ya, bulikmu tutik
mono saiki ngandheg ngono Pak kandhane,” crita karangan kuwi diucapake Darmini
kanthi tumemen. Bubar moni ngono meneng sedhela, nyawang bapake ngiras meruhi
kepriye reaksine wong lanang kang ngukir jiwa ragane iku. Halaman 34”
‘Itu
Pak, menurutku Bulik Tutik ini sedang hamil. Kene Pak, menurutku aku ini
didatangi nenek-nenek sambil membawa teken. Nenek-nenek itu ngomong ke aku,
--Ndhuk... tak omongi ya, bulikmu Tutik itu sekarang lagi mengandung begitu Pak
omongannya,” cerita karangan itu diucapkan Darmini dengan serius. Setelah
bicara seperti itu terus diam sejenak, melihat bapaknya bagaimana reaksinya
laki-laki yang mengukir jiwa raganya itu.’
2)
Latar belakang pengarang
2.1.
ideologi
Tiwiek SA itu nama panggilan. Nama yang aslinya yaitu Suwignyo Adi.
Tiwiek lahir di Tulungagung tepatnya tanggal 8 Juni 1948. Setelah tamat sekolah
Guru (SPG 1970) terus langsung diangkat menjadi guru di SD Negeri Karangtalun
01 Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung (Jawa Timur). Mulai tanggal 1
September 1995 diangkat menjadi Kepala Sekolah di SD Negeri Rejosari 02, itu
juga berada di daerah Kecamatan Kalidawir. Dan setelah pindah-pindah pada
akhirnya kembali lagi ke SD Karangtalun 01 dan Insya allah nyampai pensiun.
Wiwiek mengarang mulai tahun 1972 yaitu menulis tentang cerita pendek
(cerkak) yang pertama dengan judul Milah yang telah dimuat di Panyebar Semangat
No. 27 1972. Mulai dari itu Tiwiek sering mengarang. Tulisannya tidak hanya
cerkak tapi juga menulis novel , cerita rakyat , cerita anak, cerita remaja,
artikel dan jurnalistik. Tulisan-tulisan itu termuat di majalah basa Jawa,
seperti Panyebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, Parikesit, Jawa
Anyar, dan Damar Jati. Sampai akhirnya tahun 2008 yang karyanya sudah meluas
seperti cerita pendek ada 151 judul, cerita sambung (novel) 31 judul, cerita
sambung 13 judul, cerita remaja sambung 12 judul, cerita anak sambung 7 judul,
cerita pendek anak 29 judul, cerita pendek Jarwan 12 judul. Cerita rakyat yang
telah diterbitkan ada 6 judul. Terakhir artikel dan jurnalistik tidak sempat
untuk didokumentasikan.
Selain mengarang dengan ragam jawa, Tiwiek Sa juga sering mengarang
menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam wujud novel anak dan umumnya sudah
diterbitkan menjadi sebuah buku. Malah ada 5 judul yang digambarkan untuk
bacaan anak SD se-Indonesia yaitu : Paskab Pasopati, Sumber Beji, Kedai Bisu,
Keberanian Tak Terduga, dan Retno si Cabe Rawit. Yang memuaskan yaitu pernah
menjadi juara mengarang (untuk Guru) tingkat Nasional tahun 1986 dan tahun
2005.
Tanggal 18 Mei 1980 bersama dengan Tamsir AS dan enam penulis muda
lainnya mendirikan Sanggar Sastra Triwida yang anggotanya merupakan pengarang
Jawa dari Blitar, Tulungagung dan Trenggalek. Akan tetapi baru saja bisa
menerima anggota dari mana saja. Malah ada salah satu anggotanya yang berasal
dari Suriname yaitu Almarhum Bamin Harjoprayitno. Sepertinya karena ikut
membangun lahirnya sanggar untuk tempat melestarikan sastra Jawa ini yang sampai
saat ini tetap aksis dan tambah berjaya di tahun 2008 Tiwiek SA mendapatkan
penghargaan dari Yayasan Rancage dan dari Yayasan Umni Aminah Pondation.
Tiwiek SA yang mendapatkan gadis sedesanya bernama Ruliyah ini dikaruniai
anak 3 perempuan semua. Anak yang pertama bernama Wahyu Widyoratno (lahir tahun
1972) menjadi guru Basa Jawa di SMP 01 Pucanglaban Tulungagung yang sudah
memberikan cucu laki-laki. Anak yang kedua bernama Wahyu Rosita Dwei (lahir
tahun 1977) sekarang menjadi staf pengajar di LPMBK Malang yang telah
memberikan cucu perempuan. Anak yang terakhir bernama Wahyu Savitri Intan
Hapsari (lahir tahun 1981) menjadi guru Teknik Bangunan di SMK 3 Tulungagung
tetapi belum berumah tangga. Sekarang hidup tentram di desa Karangtalun RT
04/RW III Kecamatan Kalidawin Tulungagung (Jawa Timur).
Penulis
Tiwiek SA merasa kasusastran Jawa modern cukup membuat miris. Antologi cerita
cekak, antologi puisi dan novel mulai sejak 90anterus menerus terbit,
seperti “Donyane Wong Culika”karangannyaSuparta Brata, Sarunge Jagung dan
Donga Kembang waru karangan Trinil, dan Singkar karangan Siti Aminah. Buku yang
terbit selain karya dari sastrawan-sastrawan yang sudah lama berkiprah di jagad
kasusatran Jawa, juga hasil karyannya sastrawan muda yang mewakili jamannya.
Tiwiek
SA memang sadar bahwa sudah kehilangan sastrawan-sastrawan gamben, seperti
Susilomurti, Esmiet, Muryalelana, Suripan Sadi Hutomo, Tamsir AS, Poer Adhi
Prawoto, St. Lesmaniasita, Mochamad Nursyahidi P, Anjrah Lelana Brata, dan
lain-lain. Tetapi bab itu tidak mengurangi semangat para pengarang-pengarang
lainnya yang berada didalam dunia Kasusastran Jawa yang mewakili jamannya.
Tiwiek
SA (Suwignyo Adi mewujudkan pengarang sastra Jawa yang mahir. Hasil karyanya
sudah menyebar di majalah-majalah yang terbit di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ciri khas novel dan cerita cekak karya dari Tiwiek
SA ada yang ketika memilih tema yang berhubungan dengan kehidupan dipedesaan,
alur cerita yang kompleks, dan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita terlihat jelas
karakter-karakternya, begitu juga dengan setting (latar) yang kelihatan sangat
hidup sekali, seolah-olah yang membaca seperti terhanyut didalam alam pikiran
dan perasaan para paraga di cerita.
Novel Carang-Carang
Garing mempunyai kekuwatan yang berada di judul, tema, penggambaran parah
tokoh-tokohnya, penggambaran latar, pemilihan kata-kata dan diksi.
Kata Carang-Carang Garing dipilih menjadi judul bukan karena tanpa
alasan. Kata-kata itu adalah pengibaratan yang menggambarkan susahnya orang
kecil yang selalu menjadi korban para penguwasa. Selai itu hidup yag susah
mencari penghidupan untuk keluarga-keluarganya. Hal tersebut terbukti dalam
kutipan sebagai berikut:
Nasibe
wong cilik. Wis rekasa ngupya boga, isih kudu nyandhing lelakon pait kang
munthes pangarep-arep dina mburi. Ibarate kayadene carang-carang garing, kang
mung kena kanggo sugon geni minangka kaya bakar, tanpa bisa digunakake kanggo
kaperluwan liya kang luwih migunani (halaman 189)
Tema
kehidupan orang-orang di kalangan pedesaan yang sudah banyak diangkat didalam
kesusatran Jawa modern. Tetapi tema didalam novel ini khas, susahnya hidup yang
dijalani oleh Suyatman untuk mencukupi kebutuhan keluwarganya yang mempunyai
anak empat. Semantara dia hanya berprofesi sebagai tukang becak yang sangat
kekuranga. Suyatman masih mempunyai kebiasaan buruk yaiku judi dan togel.
Selain
itu Suyatman mempunyai pikiran jelek membunuh ponakannya (Aris Setiawan) arena
menginginkan warisan dunianya dari adik ipar (Heru) yang menjadi Camat
Kalidawir supaya diberikan kepada anaknya sendiri yang sudah dijadikan anaknya
sendiri. Tema yag seperti ini bisa menumbuhkan greget kepada para pembaca yang
ingin melihat kehidupan di pedesaan.
2.2.
lingkungan kehidupan pengarang
Pengarang
menulis novel tersebut dikarenakan ingin supaya pembaca bisa menambah
pengalaman tentang hakikat hidup dan kehidupan. Bahasa dalam novel ini juga
tidak terlepas dari dialek-dialek karena pengarang sengaja menonjolkan dialek
terutama dialek Tulungagung (tempat kelahiran pengarang).novel ini sudah pernah
difilmkan di TVRI.
Tiwiek
SA merupkan nama kedua, nama aslinya adalah Suwignyo Adi. Tiwiek SA lahir di
Tulungagung pada tanggal 8 Juni 1948.setelah tamat SPG (Sekolah Pendidikan
Guru) kemudian dingkat menjadi guru di SD Negeri Karangtahun 1 Kecamatan
Kalidawir Kabupaten Tulungagung (Jawa Timur). Mulai tanggal 1 September 1995
dipromosikan menjadi Kepala Sekolah di SD Negeri Rejosari 02 juga di Kecamatan
Kalidawir. Dan setelah berpindah-pindah kemudian kembali lagi ke SD 1.
Tiwiek
SA mulai mengarang pada tahun 1972. Cerita cekak yang pertama ditulis yaitu
yang berjudul “Milah” yang diterbitkan oleh Panyebar Semangat No. 27 tahun
1972. Mulai saat itu Tiwiek mulai rajin menulis. Tulisannya tidak hanya cerkak,
novel, cerita rakyat, cerita anak, cerita remaja, artikel dan reportase.
Tulisan-tulisannya tersebut dicetak di majalah-majalah berbahasa Jawa, seperti
Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, Parikesit, Jawa Anyar dan Damar Jati.
Sampai terakir tahun 2006 karyanya sudah ada cerkak yang berjumlah 151 judul,
cerita anak bersambung 7 judul, cerita cekak anak 29 judul, cerita cekak jarwan
12 judul. Cerita rakyat yang terbit menjadi buku ada 6 judul.
Walaupun
mengarang dalam bahasa Jawa, Tiwiek SA juga sering mengarang degan bahasa
Indonesia yang bewujud novel anak dan umumnya sudah diterbitkan menjadi buku.
Bahkan ada 5 judul yang diimpreskan untuk bacaan anak SD seIndonesia yaitu:
Paskab Pasopati, Sumber Beji, Kedai Bisu, Keberanian Tak Terduga dan Retno Si
Cabe Rawit. Yang membuat heran Tiwiek SA pernah menjadi juara ngarang (kanggo
Guru) tingkat Nasional tahun 1989 dan tahun 2005.
Tanggal
18 Mei 1980berbarengan dengan Tamsir AS dan enam penulis muda lainnya
mendirikan Sanggar Sastra Triwida yang sebagian anggotanya menjadi pengarang
Bahasa Jawa dari Blitar, Tulungagung dan Trenggalek, tetapi masih bisa menerima
anggota dari mana saja. Ada juga anggotanya yang beraal dari Suriname yaitu almarhum
Ramin Harjoprayitno.
Novel
“Carang-Carang Garing” ini dulu sudah pernah dicetak di majalh Jaya
Baya dengan sambungan (JB No. 46/ Juli/ 1983 sampai JB No. 4/
September/1983). Juga sudah pernah dibuat sinetron yang disiarkan di TVRI Surabaya
dengan judul “Ranting-Ranting Kering” dengan penulis skenario/sutradara
Asmayadi. Sesudah diperbaiki dan diedit lagi kemudian film “Ranting-Ranting
Kering” kemudian tercetaklah novel “Carang-Carang Garing”.
Novel
“Carang-Carang Garing” mempunyai kekuwatan yang beradda di judul, tema,
penggambaran tokoh, penggambaran latar, dan pemilihan diksinya.
Tembung Carang-carang Garing dipilih menjadi judul bukan karena tanpa
alasan. Kata-kata tersebut menggambarkan penderitaan orang kecil yang menjadi
korban para penguwasa. Selain hidup sengsara mencari nafkah untuk keluarga,
masih harus menghadapi kenyataan pahit yaitu hidup dipenjara.
3)
Penutup/pesan tentang Novel
Carang-Carang Garing
Amanat
yang terkandung dalam novel ini yaitu pembaca bisa memahami bagaimana hakikat
kehidupan. Hidup tidaklah mudah, seperti dalam novel ini yang menceritakan
tentang kehidupan tukang becak dengan ekonomi yang rendah.
Apabila
sedang tertimpa musibah seharusnya terus berusaha dan berikhtiyar, meminta
segala sesuatu hanya kepada Tuhan yang Maha Esa, janganlah mempercayai hal-hal
yang irrasional karena kita hidup di jaman modern bukan lagi di jaman
tradisional.
http://enirosdewi300194.blogspot.com/2014/12/kosmologi-dan-kosmogoni-novel-carang.html
SA, Tiwiek. 2009. Carang-Carang Garing. Surabaya: Alfina
Primatama.
5.
Novel Singkar (karya Siti Aminah)
1) Latar
belakang novel Singkar
Singkar adalah novel berbahasa Jawa karya Siti Aminah.
Singkar juga merupakan nama sebuah desa yang menjadi latar cerita tersebut.
Dalam novel ini, dengan tokoh utama perempuan muda bernama Nani, pengarang
mengangkat konflik sosial yang masih kental di masyarakat Jawa, yaitu masalah
perjodohan.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel Singkar ini
menitikberatkan pada peranan tokoh perempuan. Tokoh-tokoh tersebut yaitu Nani,
Narumi, Sipon, Inten, Sartinah, Alsa, dan Mbak Marni. Tiap-tiap tokoh tersebut
memiliki peran yang berbeda-beda, peran tokoh-tokoh tersebut meliputi peran
dalam keluarga dan dalam masyarakat. Dalam novel ini terdapat tujuh tokoh
perempuan dan lima di antaranya menjalani ketidakadilan gender yaitu Nani yang
akan dijodohkan oleh ibunya dengan orang yang tidak ia cintai, tetapi Nani
berani menentangnya. Narumi yang sejak kecil hidup sengsara, harus putus
sekolah, dipaksa ibunya agar mau menikah dengan orang pilihan orang tuanya itu
padahal Narumi sudah jatuh hati pada tetangganya, Nurdin. Demi ibunya, ia harus
meninggalkan orang yang dicintainya, Narumi hanya bisa pasrah dan menuruti
kata-kata ibunya. Sipon yang hidup sebagai janda dengan yang anak masih
kecil-kecil, setiap hari dia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Dengan sikap sabar yang dimilikinya, Sipon melalui hari-harinya tanpa
didampingi seorang suami. Sartinah juga seorang janda. Dia diceraikan oleh
suaminya karena sering menyakiti hati suami dan iri bila melihat tetangganya
memiliki barang baru. Sebagai janda, Sartinah juga harus bekerja keras untuk
membiayai sekolah anaknya dan mencukupi semua kebutuhan keluarga, ia menghadapi
semua itu dengan sikap yang sabar. Adapun Alsa adalah seorang mahasiswa yang
hamil di luar nikah akibat berkali-kali melakukan hubungan intim dengan
pacarnya, Nusa. Setelah Nusa menjelaskan semua yang terjadi antara dia dengan
Alsa kepada orang tua Alsa, bapak Alsa sangat marah. Nusa dengan keluarganya
diusir oleh bapak Alsa. Alsa dilarang kuliah, dan juga dilarang bertemu dengan
Nusa. Alsa hanya bisa pasrah dengan keputusan ayahnya. Perspektif pengarang
terhadap tokoh perempuan dalam novel Singkar antara lain adalah lewat tokoh
Nani. Sebagai seorang anak Nani berani menentang perintah ibunya yang ingin
menjodohkan ia dengan Kurniawan. Karena terus dipaksa oleh ibunya, akhirnya
Nani memutuskan untuk kabur dari rumah. Sebagai mahasiswa, selain mengerjakan
skripsi, Nani juga masih sibuk dengan kegiatan BEM di kampusnya. Sebagai
seorang remaja, Nani juga memiliki rasa cinta terhadap laki-laki. Buktinya ia
memiliki pacar, yaitu Nusa.
Sekilas tentang sinopsis novel singkar dapat diceritakan
sebagai berikut
Narumi akan memberikan uang saku
pada Nani tapi dengan syarat ia harus menerima Kurniawan, bukan dulu untuk
dinikahi tapi untuk dijadikan kekasihnya. Nani menolak dan langsung pergi
dengan hati yang masih kesal karena ulah ibunya yang selalu memaksa untuk
menerima Kurniawan. Narumi selalu memojokkan Nusa kekasih Nani yang tidak jelas
keluarga dan nasipnya, sedangkan Kurniawan dianggap memiliki masadepan yang
cerah. Nani membela Nusa, katanya nasip sesorang tidak ada yang tau siapa tau
nasipnya akan bahagia dengan orang yang ia cintai, sedangkan Kurniawan yang
menurut ibunya keluarga baik-baik apa buktinya, malah ayahnya saja menikah
dengan orang lain lagi. Dengan pembelaan seperti itu Narumi bisa diam sejenak
tapi nanti lain waktu pasti mengungkit-ungkit masalah itu lagi.
Seperti biasa Nani sepulang kuliah
ia dijemput oleh Kurniawan. Saat akan pulang Kurniawan melihat Nani mengobrol
mesra dengan laki-laki lain. Ditengah perjalanan pulang Kurniawan marah dengan
dan meminta penjelasan, tapi itu ditanggapi remeh oleh Nani karena Nani merasa
belum terikat kata jadian denganya. Nani mengatakan jika masih marah ia akan
kembali ke kampus untuk meminta antar pulang denagn teman yang tadi, dengan
terpaksa Kurniawan menyudahi perbincangan tadi. Kurniawan mengatakan semua
bahwa ia sangat menyayangi Nani, Nani menjawab kalau dia sudah menggapggap
Kurniawan sebagai kakanya sendiri bukan siapa-siapa.
Narumi membayangkan dulu ia
terlahir dari kelauga petani yang hidupnya bisa dikatakan kurang mampu. Apalagi
saat ditinggal ayahnya meninggal maka ia sebagai anak sulung juga harus
menbantu mencari nafkah untuk menghidupi adik-adikya. Ia juga harus putus
sekolah karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah yang sedang
kekurangan. Tidak selang beberapa waktu lama, Narumi dipaksa untuk menikah
dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Hatinya sangat sedih, melebihi
sakit saat ia ditinggal meninggal oleh ayahnya. Hatinya bimbang karena ia sudah
mempunyai pilihan sendiri siapa pendamping hidupnya tetapi ia juga tak amu
mengecewakan orang tua yang tinggal satu-satunya yaitu ibu kandungnya. Tidak
ada pilihan lain selain menuruti keinginan ibunya.
Tanpa fikir
panjang Nani memutuskan untuk sementara waktu sebaiknya ia pergi dari rumah
karena kalau dirumah pasti akan adu argumen denagn ibunya. Pagi-pagi titok adik
Nani mengetok pintu kamar Nani yang dari tadi tidak keluar kamar ternyata Nani
tidak ada dikmarnya. Atas perintah ibunya Titok mencari Nani kesana-kemari ke
teman Nani sampai Ke Nusa Kekasih Nani ternyata tidak ada. Nusa tidak tau kalau
Nani akan pergi meninggalkan rumah.Nusa mencoba
mengirim pesan singkat sampai menelfonnya tapi telefon genggamnya tidak aktif.
Nani sengaja mematikan telefon Genggam karena ia ingin kedamaiaan tanpa
diganggu siapapun. Nani menginap dirumah Inten teman semasa SMA dulu.
Sekarang Nusa sedang menjalankan
masa KKN disebuah desa yang berada di lereng gunung Merapi. Disana Nusa
menjelaskan dan memberi pengarahan tentang pertanian. Awlnya orang-orang kurang
setuju denagn ide Nusa yang selalu memberi penyuluhan tapi lama-kelamaan warga
masyarakat mengakui ada gunanya mengikuti penyuluhan dari Nusa. Sewajarnya ada
orang yang suka pasti ada orang yang kurang suka dengan ide-ide Nusa.
Keseharian Nani dirumah Inten kalau
sore hari ia membantu Inten untuk mrngajar mengaji anak-anak disekitar rumah
Inten yang bertepatan di Masjid terdekat. Selama di rumah Inten, Inten selalu
menasihati Nani, kalau sebenarnya seorang ibu sanagtlah sayang pada anaknya,
seekor ibu macan pun tidak akan memakan anaknya sendiri, termasuk ibunya
Nani ia yakin bahwa sangat menyayangi Nani. Dengan menjodohkan Nani dengan
orang pilihan ibunya itu merupakan bentuk kasih sayangnya. Mungkin dari pihak
ibuya menganggap bahwa dengan dijodohkan dengan orang yang kehidupan materi
saat ini baik mungkin besoknya anaknya akan merasa bahagia tanpa kekurangan
harta seperti yang dialami oleh ibunya dulu. Tapi hidup berdampingan dengan
orang lain tidaklah pandang harta saja, apa gunanya kalau punya harta banyak
tapi tidak ada rasa cinta. Setelah agak tenang dengan nasihat Inten, Nani
menyalakan telefon genggamnya yang sudah dinon-aktifkan beberapa hari yang
lalu. Setelah dinyalakan, masuklah semua pesan singkat yang dikirim untuknya
baik dari Titok dan Nusa. Lalu Nina menelfon Nusa untuk besok mememui dirinya
dirumah Inten sahabatnya dulu di masa SMA. Keesokan harinya Nusa terlambat
karena bangun kesiangan. Nani yang menunggu sejak tadi merasa jenuh hampir saja
ia pergi lagi, tapi kemudian Nusa datang. Langsung tanpa basa-basi Nani
menjelaskan alasan ia meninggalkan rumah, Nani meminta supaya Nusa segera
menemui kedua orang tua Nani yang menandakan keseriusannya menjalin hubungan
dengan Nani. Mendengarnya Nusa bingung, ia hanya terdiam saja tanpa sepatah
kata pun. Sampai ia berpamitan pulang Nusa tidak mengatakan YA.
Sementara di rumah Narumi,Kurniawan
pulang ke rumahnya untuk menghadiri pernikahan ayahnya dengan isteri mudanya.
Setelah pernikahan ayahnya dengan wanita lain Kurniawan harus berkerja
menggantikan posisi ayahnya. Sampai ketika ia tidak punya uang sedangkan
adiknya meminta uang bayaran sekolah. Ibunya hanya bisa menangis karena merasa
tak berdaya. Lalu ada usul untuk menemui ayahnya untuk meminta bayaran. Awalnya
Kurniawan menolak tapi demi adiknya tak apalah ia merendahkan diri dihadapan
ayahnya. Selang berapa hari ayahnya datang dan menemui Kurniawan dengan memberi
uang yang diminta, tak lupa ayahnya meminta maaf kalau ia menyakiti hati
anaknya. Walaupun ayahya mengatakan dengan mengeluarkan air mata tapi Kurniawan
tak meneteskan air mata sedkitpun itu dikarenakan rasa kecewanya pada ayahnya
yang sudah amat sangat membekas.
Disaat usaha penyuluhan Nusa lancar
disambut hangat oleh masyarakat, tiba-tiba datang segerombolan orang yang
dipimpin oleh…… menyuarakan pendapat bahwa Nusa harus segera diusir dari desa,
karena ia bukanlah laki-laki yang baik, ia telah mengahamili anak orang tanpa
tanggungjawab. Mendengarnya Nusa hanya bisa diam, karena memang begitulah
kenyataannya. Tapi pak Parjo, orang yang punya rumah yang ditinggali Nusa
mengatakan kasihanilah dia, biarkan ia menginap setidaknya sampai esok hari
akrena sekarang sudah larut malam. Keesokan harinya semua barang sudah siap
untuk dibawa pergi oleh Nusa. Tiba-tiba saja ada gempa yang mengguncang tanah
Yogyakarta. Banyak orang yang meninggal termasuk Pak Parjo. Setelah mengurus
jenazah Pak Parjo Nusa segera menuju ke rumah Nani.
Nani kaget dengan guncangan yang
melanda, ia langsung teringat pada keluarganya yang berada di rumah. Ia segera
pergi dari rumah Inten lalu pulang ke rumahnya. Setelah sampai dirumahnya tidak
ada orang yang ditemuinya. Ia menduga bahwa keluarganya sekarang ada dirumah
neneknya. Karena ia merasa belum selesai urusannya dengan ibunya maka ia hanya
berada di rumah yang hampir rubuh itu. Saking lama ia duduk didepan rumah yang
semilir ia tertidur. Tiba-tiba ia terbangun medengar suara motor yang berhenti
di depan rumahnya. Ternyata yang data adalah Nusa. Bahagianya Nani dijenguk
Nusa. Nusa menceritakan semua yang telah terjadi termasuk mengapa ia belum bisa
bertemu dengan orang tua Nani. Dia menceritakan kalau ia telah diusir dari desa
KKN karena ia diberitakan telah menghamili anak orang. Ia menceritakan kalau
dulu sebelum KKN ia pernah dekat dengan cewek yang bernama Alsa yang berasal
dari Surabaya. Awalnya hanya dekat tapi lama-kelamaan mereka berpacaran, karena
Nusa sering pulang malam maka ia menginap di kontrakan Alsa. Tidak dipungkiri
kalau sepasang kekasih bermalam dalam satu rumah tanpa ada pengawas maka akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka berdua melakukan hubungan yang
layaknya dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Awalnya Alsa menolak tapi
daya seorang wanita tidak bisa menandingi daya laki-laki maka alsa pun pasrah
denagn yang terjadi. Hubungan itu dilakukan sering kali, sampai saatnya Alsa
diketahui telah hamil. Nusa yang awalnya ingin tanggunga jawab dengan datang
menemui orang tua Alsa tapi niat baik itu ditolak oleh orang tua Alsa.
Mendengar cerita Nusa, Nani kanget sekagetnya entah apa yang harus dilakukan.
Nusa apa masih pantas untuk ditunggu jawabannya atau tidak, ia bingug. Setelah
cerita Nusa pergi demi menenangkan hati Nani. Nani yang bingung maka pergi
menuju rumah neneknya. Disana ada keluarga penuh yang sedang kumpul bersama.
1.1.Poligami
Novel
singkar menceritakan tentang poligami antara ibunya Kurniawan Sartinah dengan
bapaknya Kurniawan yaitu Samhadi, sehingga Sartinah memilih menjadi single
parent. Kurniawan sangat sedih ketika Samhadi lebih memilih menikah lagi dengan
wanita lain, daripada bertahan hidup dengan Sartinah. Dibuktikan dalam cuplikan
dibawah ini.
“Meh wae Kurniawan ngantemi bapake
nalika iku. Atine kemropok. Wong lanang iku prasasat wis ora ana ajine ing
ngarepe. Minangka wakile makne, Kurniawan ora ngidine Samhadi ngrabi Sriyati.
Kanthi pawadan apa wae, Kurniawan ora nglilani. Nalika diwenehi pilihan,
mbacutake sesambungan karo Sriyati kang tundhone kelangan anak bojo utawa
ninggalake Sriyati lan bali marang kaluwargane, pranyata Samhadi ngeboti wong
wadon kuwi. Sanalika pecah tangise Kurniawan. Tanpa mikir dawa, dheweke nundhung
Samhadi lunga. Halaman 34.”
“Hampir
saja Kurniawan memukul bapaknya ketika itu. Hatinya campur aduk. Laki-laki itu
langsung tidak ada harganya didepannya. Sebagai wakil dari ibunya, Kurniawan
tidak mengijinkan Samhadi menikahi Sriyati. Dengan alasan apa saja, Kurniawan
tidak merelakannya. Ketika dikasih pilihan, milih antara Sriyati yang pada
akhirnya akan kehilangan anak istrinya atau meninggalkan Sriyati dan kembali
kepada keluawarganya, ternyata Samhadi memilih wanita itu. Setelah itu banjir
tangisnya Kurniawan. Tanpa berfikir panjang, dia menyuruh Samhadi pergi.’
“Bareng ditinggal Samhadi lunga
karo wadon liya, Sartinah rumangsa ana perangan kang ilang saka uripe. Najan
wis ora tau ngambruk maneh, wong wadon iku asring thenger-thenger dhewe. Uripe
kelangan daya. Dina-dinane malih peteng. Kebak luh. Rasa lara lan
keranta-ranta. Sawah ora kopen, kebon kapiran. Tujune mbokne ora jeleh,
sabendina ngelingake menawa anak-anake sartinah isih padha mbutuhake tanggung
jawabe. Halaman 35.”
‘Setelah
ditinggal Samhadi pergi dengan wanita lain, Sartinah merasa ada sesuatu yang
hilang dari hidupnya. Walaupun sudah tidak pernah sakit lagi, perempuan itu
sering merasakan kesepian. Hidupnya kehilangan kekuatan. Hari-harinya berubah
menjadi gelap. Penuh dengan air mata. Rasa sakit yang menyiksa. Sawah tidak
terurus, kebun terlupakan. Tujuannya ibunya tidak salah, setiap hari
mengingatkan bahwa anak-anaknya Sartinah masih membutuhkan tanggung jawabnya.’
Cuplikan
novel diatas merupakan bukti bahwa dalam novel tersebut, salah satu tokoh
perempuan menjadi objek poligami.
1.2.Percintaan
Selain
perjodohan yang diungkit pada novel ini, ternyata percintaan juga
mendominasinya. Misalkan saja percintaan yang dialami oleh tokoh Narumi dengan
Nurdin, Nani dengan Nusa, Kurniawan dengan Nani, Nusa dengan Alsa. Dimana
Narumi mencintai Nurdin, Nani mencintai Nusa, Kurniawan mencintai Nani dan Nusa
mencintai Alsa. Seperti di buktikan dalam cuplikan novel berikut.
“Nani nyelehake awake ing dhipan,
panggah ngekep guling sinambi sesengrukan. Sasuwene iki, dheweke nyoba
nglelipur atine manawa panjangka kang beda antarane dheweke lan Nusa bakal
ketemu ing sawijining wektu. Awit Nani percaya menawa tresna mono kuwawa
nyawijikake dalan kang beda...” halaman 75.”
‘Nani
menyandarkan badannya ke dipan, dengan memeluk bantal guling sambil menangis.
Selama ini, dia mencoba menghibur hatinya supaya antaranya dia dan Nusa bisa
bertemu di lain waktu. Karena Nani percaya bahwa cinta itu bakal menunjukan
jalan yang berbeda.’
“Ora krasa Kurniawan mrebes mili.
Rasa gagahe minangka wong lanang kala-kala ilang menawa mikir bab kenya kuwi.
Katresnan kang kabangun tetaunan, karabuk sawayah-wayah, ora bakal nemokake
panggonane. Nani wis nampik katresnane. Senajan Kurniawan ngasorake dhirine,
ngemis katresnan, nyatane seprene pengarep-arep kuwi muspra. Senajan Narumi,
ibune Nani nyengkuyung kekarepane, nanging kabeh kuwi tanpa guna. Nani wis
nyantholake atine marang priya liya. Kurniawan ngusapi luhie kanggo lengen
kaose. Tresna. Ndaheba rosane, ndaheba kuwasane. Keluwargane rojah-rojeh merga
bapakne kang nresnani kenya Sriyati. Lan kang uga diadhepi, dheweke nandhang
lara uga erga tresna. Tresna marang sawijining kenya kang njalari dheweke
nglakoni tumindak durjana. Sesidheman maca buku hariane Nani, mbongkar
rak-rakane kanggo nggoleki layang-layang katresnane. Oh... kabeh ora ana guna.
Mung saya nambahi ati lara. Halaman 93.”
‘Tidak
terasa Kurniawan mengeluarkan air mata. Rasa gagahnua sebagai laki-laki hilang
ketika memikirkan hal itu. Rasa cinta yang telah dibangun bertahun-tahun, sudah
dipupuk setiap hari, tidak akan menemukan tempatnya. Nani sudah menolak
cintanya. Walaupun Kurniawan sudah merendahkan dirinya, mengemis cinta, tapi
kenyataanya sekarang pengharapan itu hilang. Walaupun Narumi, ibunya Nani
menyetujui hubungannya, tapi semua itu tidak ada gunanya. Nani sudah
menggantungkan hatinya kepada laki-laki lain. Kurniawan menghapus tangisnya
dengan lengan kaosnya. Cinta. Keluarganya sudah porak poranda karena bapaknya
telah mencinyati Sriyati. Dan yang juga dihadapi, dia merasa sakit karena
cinta. Cinta kepada salah satu wanita yang menyebabkan dia bertindak durjana.
Setelah membaca buku hariannya Nani, membongkar rak-raknya untuk mencari surat-surat
cintanya. Oh... semua itu tidak ada gunanya. Hanya menambah sakit hatinya.’
1.3.Kawin
Paksa
Pada
novel ini awal cerita diceritakan adanya kawin paksa atau perjodohan antara
Nani dan Kurniawan. Nani dijodohkan dengan Kurniawan oleh ibunya yang bernama Narumi.
Namun Nani tidak mau karena menurutnya Kurniawan berasal dari keluarga yang
tidak jelas. Itu terlihat dari percakapan berikut.
“Kurniawan keluwargane kaya
ngapa?bapakne wae lunga karo wong wadon liya!” Halaman 2.
‘Kurniawan
keluarganya kaya apa? Bapaknya saja pergi dengan perempuan lain.’
Ibunya
tetap tidak setuju dengan Nusa karena Nusa tidak memiliki pekerjaan yang jelas
dan sekolah saja tidak selesai. Itu terlihat dari percakapan berikut.
“Kowe arep ngeboti Nusa cah
gondrong kae? Apa sing diboti? Sekolah ra dadi, gaweyan ra karuan, keluwargane
durung genah sisan. Halaman 1. ”
‘Kamu
mau tetap mempertahankan bocah gondrong itu? Apa yang kamu pertahankan? Sekolah
saja tidak jadi, pekerjaan saja tidak jelas, kelurganya tidak jelas juga.’
Nani
tetap tidak mau menerima Kurniawan karena ia hanya suka dan cinta kepada Nusa
meskipun dia tidak di setujui oleh ibunya yaitu Narumi. Kurniawan tetap memaksa
dan merayu Nani agar dia mau menerimanya. Tetapi Nani tetap saja pada
pendiriannya. Nani mengatakan kepada Kurniawan bahwa tresna atau kasih
sayangnya sudah jatuh pada pria lain yang memang bukan Kurniawan. Meskipun
ibunya tetap memaksa tetapi dirinya tidak akan peduli.
Bagi
Narumi, Kurniawan itu sudah dianggap sebagai anak sendiri. Anak-anaknya Narumi
juga sudah menganggap Kurniawan sebagai kakak laki-lakinya. Makanya Nani ]tidak
menganggap Kurniawan sebagai orang lain dan tidak menyangka bahwa dia akan di
jodohkan dengan dirinya.
Akhirya
Nani dan Narumi ribut hanya karena perjodohan tersebut. Nani pergi dari rumah.
Titok adik Nani mencari sampai bertanya kepada Nusa. Nusa hidup di desa yang
bernama Singkar. Desanya di lereng pegunungan.
Nusa
hidup sederhana penuh dengan kekurangan, setiap harinya ia hanya hidup sebagai
petani di sawah. Makan saja setiap hari kekurangan.
Nani menelfon Nusa untuk besok mememui dirinya dirumah Inten
sahabatnya dulu di masa SMA. Keesokan harinya Nusa terlambat karena bangun
kesiangan. Nani yang menunggu sejak tadi merasa jenuh hampir saja ia pergi
lagi, tapi kemudian Nusa datang. Langsung tanpa basa-basi Nani menjelaskan
alasan ia meninggalkan rumah, Nani meminta supaya Nusa segera menemui kedua
orang tua Nani yang menandakan keseriusannya menjalin hubungan dengan Nani.
Mendengarnya Nusa bingung, ia hanya terdiam saja tanpa sepatah kata pun. Sampai
ia berpamitan pulang Nusa tidak mengatakan apa-apa.
Tetapi beberapa hari kemudian, Nusa
bertemu dengan perempuan lain yang bernama Alsa. Dia adalah anak Jendral. Nusa
sangat menyayangi Alsa karena dia wanita cantik anak orang kaya juga. Nusa dan
Alsa saat pacaran melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan sampai-sampai
mereka harus berpisah dan tidak di restui lagi. Nani mengetahui bahwa Nusa
memiliki perempuan lain. dia antara percaya atau tidak. Saat itu juga Nani
teringat Kurniawan laki-laki yang di jodohkan oleh ibunya.
2) Latar
belakang pengarang
2.1. Ideologi pengarang
Pengarang
novel singkar ini ditulis oleh Siti Aminah atau biasa dipanggil Amin. Siti
Aminah lahir di sebuah kampung pinggiran Kota Yogyakarta. Banyak perubahan yang
disaksikan di kampungnya. Mulai dari persawahan menjadi perumahan. Pengarang
membuat novel ini untuk melestarikan budaya jawa khususnya sastra jawa. Ini
merupakan novel pertama dari seorang sastrawan Siti Aminah, akan tetapi dia
sudah banyak membuat cerita pendek (cerkak) dan opininya pernah dimuat di media
cetak bahasa Jawa seperti Jayabaya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, dan juga
Harian Suara merdeka. Selain media cetak bahasa Jawa, tulisan-tulisan Siti
Aminah juga pernah dimuat di media bahasa Indonesia, diantaranya Jawa Pos,
Kompas, Kawanku, dan penerbit internal lembaga-lembaga di Yogyakarta.
2.2. Lingkungan kehidupan pengarang
Pengarang
menulis novel Singkar dikarenakan terinspirasi dari gempa jogja dan nama
singkar sndiri termasuk dengan daerah atau tempat. Karena Siti Aminah tinggal
di daerah Yogyakarta, jadi tidak sulit untuk menceritakan keadaan di daerah
Yogyakarta.
3)
Pesan/amanat yang terdapat dalam novel Singkar
Di
jaman modern seperti ini, sepertinya sudah jarang dijumpai perjodohan seperti
yang dikisahkan dalam novel ini. Rasa cinta itu tidak bisa dipaksakan, biarkan
untuk mengikuti kata hati.
Sumber
:
Aminah,
Siti. 2008. Singkar. Semarang: Griya
Jawi.
6.
Novel Mendhung Kesdaput Angin
(karya AG Suharti)
1) Latar
belakang novel
Karena
mengacu pada latar belakang kisah tokoh utama yang terdapat dalam novel
tersebut yaitu Kadarwati dan Sulistya yang menerima berbagai macam ujian dan
penderitaan, menanggung sengsara batin. Penderitaan yang mereka berdua alami
ini karena mendapat karma dari Tuhan Yang Maha Esa dan juga karena sikap nalar
yang dangkal dan tidak berpikir panjang apakah akibat akhirnya. Jadi hal yang
ditonjolkan dalam novel ini yaitu tentang perjalanan hidup seseorang. Rangkaian
cerita dari novel ini dapat diceritakan sebagai berikut.
Kadarwati
adalah seorang anak desa yang baru saja lulus sekolah, karena kemiskinan dan
beban hidup keluarganya yang berat dengan tanggungan adiknya banyak dengan
kondisi keuangan keluarganya yang sangat sederhana. Latar belakang kehidupan
keluarganya yang begitu susah itu membuat orang tua Kadarwati berniat untuk
menjodohkan anaknya dengan anak seorang temannya dari kota Betawi bernama
Sumadi yang sudah mempunyai pekerjaan mapan.
Pertama kali Sumadi bertemu dengan Kadarwati, ia
langsung jatuh hati kepada perempuan desa ini padahal di kota ia juga sudah
banyak melihat wanita-wanita lain pilihan orang tuanya yang akan
dijodohkan dengannya tetapi Sumadi sama sekali tidak tertarik. Beberapa waktu
setelah itu Sumadi menikah dengan Kadarwati dan memboyongnya ke Batawi tetapi
dalam hati Kadarwati masih setengah hati untuk menerima pernikahan hasil
perjodohan orang tuanya tersebut. Kadarwati hanya bisa pasrah dengan nasibnya,
dia berfikir yang penting dia dapat berbakti dan meringankan beban hidup orang
tuanya dan Sumadi juga laki-laki yang sangat perhatian dengan Kadarwati kelak
pasti ia dapat hidup berkecukupan materi walaupun ia tidak mencintai Sumadi.
Keluarga kecil Sumadi dan Kadarwati dikaruniai anak
laki-laki yang bernama Satriyo, kehidupan mereka berkecukupan, apapun yang
diminta oleh Kadarwati selalu dituruti oleh suaminya, Sumadi. Tidak hanya
Sumadi yang gemati dengan Kadarwati tetapi juga ibu Sumadi yang sangat
perhatian dengan Kadarwati. Keluarga mereka juga cukup terpandang di lingkungan
tempat mereka tinggal, Kadarwati mudah bergaul dan dekat dengan ibu-ibu sekitar
rumahnya karena sering berbincang-bincang bersama di pelataran rumahnya yang
sering digunakan tetangga sekitar rumahnya untuk bermain badminton. Posisi
Kadarwati yang menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan pekerjaan rumah
sangat ditolong dengan pembantunya yaitu Sajem yang setia menemaninya
Konflik
Kadarwati berkenalan dengan seorang
pemuda adik keponakan dari mbakyu Guritno (tetangga akrab yang rumahnya
tidak jauh dari rumah Kadarwati) yang akan melanjutkan kuliah di Fakultas
Hukum, bernama Sulistyo. Saat pertama kali berkenalan membuat hati Kadarwati
bergetar tidak karuan, jantungnya berdebar kencang, saat berjabatan tangan
mereka saling berpandangan dan tangannya seakan enggan terlepas dari Kadarwati,
matanya menatap tajam seperti menerabas relung hatinya. Setelah beberapa saat
Sulistyo sadar akan kesalahannya dan segera melepaskan tangan Kadarwati.
Kadarwati merasa tidak enak dan bingung akan sikap Listyo, bayang-bayang Listyo
selalu muncul dalam benak Kadarwati. Sehingga membuat hatinya resah dan selalu
terbayang-bayang Sulistyo.
Awalnya Kadarwati menghindari jika
berduaan dengan Listyo, saat diajak berbincangpun Kadarwati sedikit menjaga
jarak karena ia tau perasaannya yang timbul ini berbeda dengan perasaan kepada
laki-laki lain bahkan suaminya sendiri, Sumadi. Baru Listyo yang mampu membuat
hatinya setidak karuan ini, setiap saat selalu terbayang-bayang Listyo.
Kadarwati sadar bahwa itu perasaan cinta yang timbul dalam hatinya untuk Listyo
tetapi ia tau ia sudah menikah. Hal ini membuat Kadarwati tambah bingung.
Lama kelamaan mereka akrab dan sering
berbincang-bincang karena mereka menemukan kecocokan dalam berbagai obrolan
mereka. Kadarwati menyambut itikat baik pertemanan dari dik Listyo itu, dik
Listyo sering memuji Kadarwati karena kepribadiannya sesuai dengan criteria
perempuan yang sangat ia idam-idamkan sebagai pasangan hidupnya kelak. Setelah
itu Listyo sering bertamu ke rumah Kadarwati saat suaminya bekerja atau sedang
pergi. Sulistyo dengan terbuka selalu mengutarakan perasaannya yang dalam pada
Kadarwati. Tidak berapa lama Sumadi tau akan hal itu, dengan kesabaran dan
kebijaksanaan Sumadi lalu berpesan kepada Kadarwati agar menghindar dari
Sulistyo karena para tetangga sekitar rumah mereka mulai membicarakan kelakuan
Listyo yang sering bertamu di rumah Sumadi. Hal tersebut jika terjadi berulang-ulang
akan mendapat pandangan yang negatif dari tetangganya. Pesan dari Sumadi
membuat Kadarwati semakin gelisah dan membuat hatinya bimbang.
Suatu hari Listyo bertamu lagi di
rumah Kadarwati, ia mengungkapkan seluruh hatinya kepada Kadarwati. Ia menyatakan
bahwa ia sangat mencintai Kadarwati dan ingin Kadarwati menjadi istrinya
setelah itu Sulistyo memeluk dan mencium bibir Kadarwati. Sulistyo sangat
berani melakukan hal itu karena ia tau bahwa Kadarwati sebenarnya mencintainya,
pernikahan yang dilakukan Kadarwati hanya karena terpaksa menuruti keinginan
orang tuanya. Kadarwati tidak bisa membohongi hatinya sendiri bahwa sebenarnya
ia juga mencintai Sulistyo tetapi Kadarwati sadar apa yang dilakukannya itu
salah karena ia sudah bersuami. Dia lalu menyingkir dan membentak Listyo tetapi
Listyo tetap tidak mau berhenti memeluk Kadarwati. Tidak dikira ternyata Sumadi
melihat perilaku mereka berdua, seketika itu juga ia marah dan menyuruh Listyo
untuk pergi dari rumahnya. Sumadi tidak mengira istrinya melakukan perbuatan
seperti itu, ia menyuruh Kadarwati untuk pergi dari rumahnya karena ia sudah
tidak mau lagi melihat Kadarwati, tanpa mendapat perintah Kadarwati langsung
mengemasi dan mengajak anaknya pergi dari rumah. Sebenarnya sikap Sumadi hanya
sebagai gertakan dan tidak sebenarnya, tetapi Kadarwati sudah terlanjur sakit
hati dibentak oleh suaminya dan akhirnya ia pun pergi karena lebih memilih
hidup dengan Listyo.
Setelah menikah dengan Listyo hidup
Kadarwati dikaruniai seorang anak perempuan bernama Sulistyowati dipanggil
Listi, keluarga muda ini bahagia walaupun hidupnya sederhana. Kadarwati bisa
menerima kehidupan yang demikian ( tidak seperti saat bersama Sumadi yang serba
berkecukupan) karena memang sudah pilihan hidupnya. Suatu hari Kadarwati menemukan
surat kecil bertuliskan dari Partiningsih di saku celana Sulistyo. Surat itu
berisi bahwa Partiningsih telah hamil 2 bulan dan menuntut pertanggungjawaban
Listyo untuk menikahinya. Setelah membaca surat Kadarwati langsung menangis
seperti tidak percaya kelakuakn suaminya, membuat pemikirannya kepada Listyo
berubah 180 derajat. Dia menganggap bahwa semua laki-laki sama saja, dulu ia
mengira bahwa Listyo adalah laik-laki yang berbeda karena mau menerima seorang
janda beranak 1 tetapi ternyata dia serong dengan wanita lain. Sehabis pulang
dari kantor Listyo menanyakan celana yang terdapat surat kecil tetapi Kadarwati
hanya diam saja, apapun pertanyaan Listyo tidak digubrisnya. Kadarwati sudah
terlanjur sakit hati.
Kejadian itu berbarengan dengan kondisi
Listi anak perempuannya yang baru berusia beberapa bulan sedang sakit, karena
tidak mempunyai uang Kadarwati memutuskan menjual cincin kawin yang terukir
namanya dan Sulistyo. Dia beranggapan suudah tidak ada gunanya lagi cincin
kawin tersebut, karena Listyo sudah mengkhianati ketulusan cintanya. Setelah
tau bahwa cincin kawinnya dijual, ia marah besar dan tidak sadar memukul pipi
Kadarwati. Kadarwati menangis dan dilemparnya surat kecil itu dari sakunya,
Listyo melihat lalu langsung memunggutnya karena dari tadi surat itu dicarinya
ia takut jika Kadarwati mengetahuinya tetapi terlambat Kadarwati sudah
mengetahuinya. Seketika itu Sulistyo memohon maaf kepada Kadarwati tetapi
Kadarwati tidak memperdulikan, Listyo membujuk terus tetapi tetap sama saja.
Saat Listyo berangkat bekerja, Kadarwati membawa kedua anaknya pergi dari rumah
meninggalkan Listyo.
Sekian tahun Kadarwati berjuang
keras untuk kelangsungan hidup anak-anaknya, bekerja membanting tulang sebagai
orang tua tunggal. Jalan hidup yang dilalui Kadarwati tidak mudah, berbagai
masalah dan beban berat ditanggung olehnya namun Kadarwati tidak gentar. Dia
tinggal di rumah bu Onggo yang beralamat di Jatinegara yang merupakan
kenalannya saat masih menjadi istri Sumadi yang juga budhe mantan pacarnya ketika
masih sekolah di Jogja. Kondisi hidup yang serba susah dan penuh penderitaan
itu tidak ditanggung sendiri oleh Kadarwati, tetapi juga dibantu oleh Baskoro
yang member sumbangan dari segi materi maupun perawatan terhadap anak-anaknya
yang sudah dianggap seperti anak keponakannya sendiri. Semuanya jerih payah
serta didikan Kadarwati kepada anak-anaknya membuahkan hasil yang luar biasa,
kedua anaknya mampu melanjutkan belajarnya sampai perguruan tinggi. Satriyo
hampir lulus kuliah dan adiknya di tingkat 2, pendek cerita Satriyo berpacaran
dengan seorang wanita bernama Susilowati yang tidak lain adalah anak hasil
selingkuhan Listyo dengan Partiningsih dulu.
Pada suatu malam Listyo datang ke
rumah Kadarwati, kedatangannya karena mengetahui Satriyo dan Listi menghadiri
pesta anaknya Susi. Dia berniat untuk bertanggung jawab terhadap anaknya karena
dia bapaknya yang lebih utama untuk menafkahi anak-anaknya. Namun demikian
kedatangan Listyo tersebut belum bisa membuka hati Kadarwati meskipun Listyo
sudah berulangkali memohon maaf atas kekhilafannya di masa lalu. Hingga
akhirnya Kadarwati terbuka hatinya melihat wajah Sulistyo yang sudah banyak
kerutan dan rambutnya yang tipis serta penuh dengan uban yang menandakan bahwa
cobaan hidup yang dia alami sangat berat. Kadarwati menangis sambil meminta
maaf lalu mencium kaki suaminya Sulistya. Sulistya bersyukur karena istrinya
telah terbuka hatinya. Sulistya meminta kepada Kadarwati agar melupakan masa
lalu dan membangun kembali keluarga bahagia dan sejahtera seperti yang
diimpikan dulu ketika mulai berumah tangga. Setelah itu mereka membahas
kedekatan hubungan Satriyo dengan Susi dan juga Listi dengan Santosa. Setelah
Satriyo dan Listi pulang dari pesta Susi, Listy kaget karena ada bapak Listyo
(bapak Susi) di rumahnya. Ibunya mengatakan bahwa doamu sudah terkabul nak
karena bapakmu sudah datang. Listy masih bingung tapi kemudian dia mengerti
dari keterangan bapak dan ibunya. Mereka bahagia bisa berkumpul kembali. Suatu
hari Kadarwati, suami, ketiga anaknya dan Santosa pergi ke Jogja untuk
mengunjungi orang tua dan saudara-saudaranya yang selama 21 tahun sudah tidak
dikunjungi. Kedua orang tuanya bahagia melihat anak perempuannya yang dikira
sudah hilang datang diiringi oleh suaminya yang gagah dan ank-anaknya yang cantik-cantik
dan tampan. Orang tuanya kemudian diajak ke Jakarta sekalian dan sebagai rasa
syukurnya Kadarwati menepati nadzarnya yaitu mengadakan syukuran dengan
tetangga kanan kiri jika keluarganya bisa berkumpul kembali sekaligus melakukan
acara tunangan untuk kedua anaknya. Akhirnya Kadarwati mantu dan Sulistyo serta
Kadarwati memuji syukur kepada Tuhan karena sudah mempersatukan keluarga mereka
kembali.
1.1.Perselingkuhan
Kadarwati
yang telah mempunyai seorang suami dan sudah dikaruniai anak laki-laki, ketika
berkenalan dengan Sulistyo. Dia berusaha mendekati Kadarwati sampai akhirnya
Kadarwati bercerai dengan suaminya dan menikah dengan Sulistyo. Berikut
bukti-nya.
“nDerek nepangaken, kula Sulistyo”.
“Inggih Dhik, kula Kadarwati.” celathune karo banjur arep nglolos tangane. Nanging tangane iseh kenceng ana ing regemane
pemudha mau. Kadarwati kepeksa pandheng-pandhengan sadhela karo Sulistyo. Mak pyur,
sanalika atine grasa deg-degan, geter. (halaman 24) .
“perkenalkan, saya Sulistyo.” “Iya
Dik, saya Kadarwati,” kata Kadarwati yang akan melepaskan tangannya. Tetapi
tangannya masih erat digenggamannya pemudha tadi. Kadarwati terpaksa saling
memandang dengan Sulistyo. Mak pyur, seketika hatinya berdegup kencang, getar.’
“Nalika
wengi wis sepi, kabeh wong wis padha lerem ana ing panggonaning sang dewi
ratri, kalebu uga Sumadi kang wis turu kepati, Kadarwati isih klisikan, durung
bisa ngeremake. Wawayangane Sulistyo tansah katon gawang-gawang ana ing
padoning netra. (halaman. 28)”
‘Ketika
malam sudah sepi, semua orang sudah pada tidur di tempat sang dewi ratri,
termasuk Sumadi yang sudah tertidur lelap, kadarwati masih tidak bisa
memejamkan matanya. Sosok Sulistyo masih berada diujung matanya.’
“Sulistyo
nganti diipat-ipati wong tuwane kang kecuwan atine, lan uga banjur disingkiri
dening sanak sadulure. Ora beda karo kadarwati kang uga kapeksa gawe wirang lan
prihatine wong tuwane. Mula nalika padha ijab, ora ana sanak sadulure kang
teka.” ( Halaman 46)
‘Sulistyo
sampai dihindari oleh orang tuanya yang merasa kecewa hatinya dan juga
dihindari oleh sanak keluarganya. Tidak berbeda dengan Kadarwati yang juga
terpaksa membuat sedih dan prihatin orang tuanya. Sehingga waktu ijab, tidak ada
satupun keluarga yang hadir.’
2) Latar
belakang pengarang
2.1.
ideologi pengarang
Pengarang
novel ini bernama AG Suharti merupakan seorang perempuan yang lahir di
Yogyakarta, oleh sebab itu novel ini memuat unsur budaya jawa yang sangat kuat,
apalagi novel ini dibuat sekitar tahun 1970, yang mana pada saat itu unsur –
unsur kebudayaan jawa masih sangat kental di masyarakat Yogyakarta. Maka tidak
bisa dipungkiri, bahwa novel ini sangat terpengaruh kebudayaan jawa.
2.2.
lingkungan kehidupan pengarang
Ada
beberapa alasan mengapa pengarang mengambil judul tersebut, karena pertama
tokoh Kadarwati yang sudah berumah tangga dengan Sumadi pria yang sudah bisa
nyembadani berbuat serong dengan Sulistya hingga akhirnya pada suatu hari
ketahuan suaminya dan menimbulkan pertengkaran hebat yang berujung pada
perceraian kemudian Kadarwati menikah dengan Sulistya dan membangun hidup baru
di sebuah rumah sewaan yang terbuat dari bambu dengan perabot rumah tangga yang
serba minim walaupun tanpa restu orang tua dan banyak saudara yang mencacat. Kedua,
namun demikian keluarga yang mereka bangun hanya bertahan ±1,5 tahun karena
Sulistya mendapat goda menghamili gadis bernama Partiningsih dan terpaksa
menikahinya.
Dari
perbuatan yang dilakukan oleh 2 tokoh utama tersebut maka mereka mendapat
hukuman yang setimpal dari Tuhan. Mendengar suaminya telah berbuat serong,
Kadarwati bersama kedua anaknya pergi dari rumah suaminya tanpa izin karena
terlanjur sakit hati akibat cintanya yang suci telah dikhianati dan tidak ingin
dimadu. Selama Kadarwati berpisah dari suaminya hidupnya prihatin karena harus
mencari nafkah untuk dirinya dan kedua anaknya meskipun masih dibantu Baskoro
kekasihnya ketika masih muda dan menanggung sengsara batin karena sesungguhnya
dia senantiasa merindukan suaminya Sulistyo.
Begitupula
Sulistyo hidup menderita, terlunta-lunta karena berpisah dengan anak istri yang
dia cintai. Hukuman itu berlangsung selama 20 tahun.Hingga akhirnya pada suatu
hari mereka dipertemukan kembali lantaran Satriyo anak buah perkawinannya
dengan Sumadi mencintai Susilowati anak Sulistyo dengan Partiningsih. Dengan
kemurahan Tuhan mereka akhirnya berkumpul kembali membangun keluarga yang
bahagia, mulya dan dilimpahi banyak harta seperti yang mereka impikan ketika
awal mula membangun keluarga karena Sulistyo sudah menjadi seorang pengusaha
dagang yang sukses dan menjadi presdir.
Demikianlah
alasan mengapa novel karangan Ag. Suharti tersebut diberi judul Mendung
Kesdaput Angin berlatar belakang pada kisah tokoh utama sepasang
suami istri yang bernama Kadarwati dan Sulistyo yang semula hidup prihatin,
terlunta-lunta hatinya karena pilihan hidup yang mereka ambil namun akhirnya
dapat hidup bahagia, mulia dan dilimpahi oleh banyak harta seperti yang mereka
impikan dari awal mula membangun hidup bersama lantaran Sulistya sudah menjadi
orang yang sukses dan anak-anak mereka sudah menjadi sarjana.
3) Pesan/amanat
dalam novel
Dalam
novel mendhung kesaput angin ini banyak mengandung ajaran tentang manusia dalam
menjalani kehidupan. Nilai pendidikannya cukup banyak nilai moral, nilai agama,
nilai sosial. Nilai moral mengajarkan cara-cara dalam bergaul di masyarakat,
adab kesopanan. Nilai agama berkaitan dengan ketaatan kepada Tuhan, senantiasa
bersyukur. Dalam novel ini juga masih kental dengan unggah-ungguh orang jawa.
Dalam novel ini amanatnya juga sangat baik untuk kita renungkan dan kita ambil
hikmah dari setiap kehidupan.
Suharti, AG. 1980. Mendhung Kesaput Angin. Yogyakarta: Balai Pustaka.
7.
Novel Penganten (karya Suryadi
W.S)
1)
Latar belakang
Tema pada novel berjudul “Pengntin”
karya Suryadi W.S bertemakan tentang Kesetiaan. Novel Pengantin bertema
kesetiaan karena dalam novel tersebut diceritakan kesetiaan Pak Tumpa
kepada bu Sawit dan juga sebaliknya walaupun mereka tak mempunyai anak. Cerita
ini diawali oleh suatu harapan yang
dimiliki oleh bu Sawit. Dirinya meminta pak Tumpo untuk menikah lagi agar
mereka bisa mempunyai anak atau keturunan. Berkali-kali bu Sawit mengatakan hal
itu kepada pak Tumpo, namun pak Tumpo tetap tidak mau menurutinya.
Bu sawit sangat mengharapkan seorang
anak. Berkali-kali dia memikirkan hal itu sampai akhirnya dia penyakitnya
kambuh, dan pada waktu hari perayaan pemberian pendopo yang sangat dimeriahkan
oleh pertunjukan wayang. Tiba-tiba bu Sawit meninggal. Entah apa sebabnya namun
yang pasti adalah karena bu Sawit terlalu memikirkan keinginannya tersebut.
Meilhat hal tersebut, perayaan yang tadinya sangat meriah akhirnya menjadi
mencekam dan tidak menjadi perayaan lagi, namun adalah kedukaan.
Hal yang menjadi sebuah
ketidakwajaran namun menjadi wajar adalah sesaat sebelum bu Sawit meninggal,
dia sempat berpesan kepada Pak Tumpo bahwa kelak jika dia meninggal, jenazahnya
diminta dimakamkan di belakang pendopo saja. Akhirnya, ingatlah pada pesan itu.
Pak Tumpo segera berbicara pada orang yang mengurus jenazahnya bu sawit untuk
dimakamkan di belakang pendopo. Setelah pemakaman sudah selesai, pak Tumpo
menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, yang tidak menjadi biasa adalah tidak
adanya bu sawit yang biasanya melayaninya.
Hari demi hari terlewatkan, tiba
pada suatu hari semua berubah. Pak tumpo telah memikirkan hal yang sangat
masak-masak. Dia berniat untuk menikahi seorang janda yang masih muda bernama
Manik. Manik sudah dilamar, namun niat untuk menikahinya itu adalah hal yang
seharusnya tidak dilakukan oleh pak Tumpo, memang karena usia pak Tumpo yang
sudah tidak muda lagi, sedangkan Manik adalah janda yang masih sangat muda jika
dibandingkan dengan usia pak Tumpo.
Pak Tumpo kemudian menawarkan manik
kepada supirnya, yaitu Sugiri. Sugiri tidak mampu menolak penawaran pak Tumpo.
Karena, Sugiri sadar akan jasa-jassa pak Tumpo selama ini. Apalagi pak Tumpo
sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. akhirnya Sugiri mau menerima dan
menikahlah Manik dengan Sugiri.
Di hari pernikahannya, Sugiri sempat
dibuat perang batin oleh pak Tumpo. Karena dia tidak melihat adanya pak Tumpo
di sana. Walaupun semapat sejenak pak Tumpo manyaksikan acara pernikahan itu.
Namun, hal itu rupanya menjadi sebuah amanat atau suatu tanda-tanda bahwa pak
Tumpo ingn menyusul istrinyayang sudah meninggalkannya terlebih dahulu. Sugiri
mencari pak Tumpo hingga akhirnya betemu di padepokan milik pak Tumpo. Pak
Tumpo berpesan, jika diameninggal, dia ingin dimakamkan di samping makam
istrinya. Ini adalah sebuah wujud atau simbol dari kesetiaan pak tumpo terhadap
istrinya, dan semua hartanya diberikan kepada Manik dan Sugiri karena menurut
Pak Tumpa harta itu tak akan berguna jika ditinggal mati. Permintaan terakhir
Pak Tumpa untuk dikubur disamping istrinya adalah wujud dari kesetiannya.
1.1 Konsep Kesetiaan
Novel
“Penganten” oleh Suryadi W. S ini menceritakan konsep kesetiaan yang dibangn
oleh pasangan suami istri, yaitu bu Sawit dan pak Tumpo. Dalam konsep ini
pengarang mengawali cerita dengan sebuah masalah dimana pasangan itu tidak
mempunyai keturunan, sehingga bu Tumpo meminta pak Tumpo untuk menikah lagi,
namun pak Tumpo tidak mau. Ia tidak tega menyakiti hati bu Sawit dan itu adalah
wujud dari kesetiaannya. Seperti petikan novel di bawah ini.
“Upami panjenengan krama malih ngaten, ....”
“Eh, kowe ki omomg apa?”
“Kula matur saestu”
“Nanging kandhaa liyane kuwi wae.
Awake dhewe ki wis tuwa, ora susah ngrembug kaya ngono”.
“Punapa sampun boten perlu malih?”
“Ora! Pangeran wis ora kurang
anggone paring kanugrahan marang awake dhewe,......” (hlm. 7)
“Eh, kamu itu bicara apa?”
“Saya bicara yang sebenarnya”
“Tapi bicaralah selain itu. Kita ini sudah tua,
tidak perlu membicarakan hal seperti itu”
“Apakah
memang tidak perlu lagi?”
“Tidak!
Pangeran sudah memberikan yang lebih terhadap kita.....”
1.1.Konsep
Perjodohan
Dalam konsep ini
pengarang menuliskan karyanya melaui cerita yang ditonjolkan adalah sebuah
jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pak Tumpo terhadap supirnya. Kenapa konsep
ini dibuat? Mungkin pengarang ingin memberikan kesan yang sedikit berbeda dibandingkan
dengan perjodohan yang seperti biasanya. Konsep perjodohan di sini adalah
sebuah gejolak batin yang dialami Sugiri sebagai abdi pak Tumpo selama ini.
Perjodohan ini berawal ragu-ragu. Namun, setelah dipikirkan masak-massak oleh
Sugiri, akhirnya dia mau. karena dia
mengingat jasa-jasa yang telah diberikan oleh pak Tumpo kepadanya.
Hal ini bisa dilihat pada petikan novel
di bawah ini.
“Mengku
aku sing ngrembug. Cekake, anggepen aku iki gentine wong tuwamu sing wis ora
ana iki, arep ngrabekake kowe. Ngono wae Giri. Kepriye, apa kowe gelem
nglakoni?”
Yen
pak Tumpo wis dhawuh mengkono, dheweke arep matur kepriye? Dheweke ora bisa
matur liyane kajaba mung manut, sanajan atine gronjalan.
“Inggih
Pak, kula nyendikani” ature karo tumungkul. (hlm.
27)
“Saya
yang membicarakan. Pendeknya, anggap saja saya sebagai pengganti kedua orang
tuamu yang sudah tidak ada. Begitu saja Giri. Bagaimana, apa kamu mau
menjalankannya?”
Jika pak Tumpo sudah berbicara seperti
itu, dia mau bilang apa? Dia tidak bisa berbicara selain hanya menurut,
walaupun hatinya sangat bergejolak.
“Iya Pak, saya menuruti bapak” jawabnya.
Pengarang menampilkan
konsep ini dengan penuh improvisasi yang dimunculkan pada tokoh dan
penokohannya. Konsep ini juga menggunakan alur flashback untuk menciptakan
suatu kejadian yang menarik jika dibaca. Para pembaca sebelumnya tidak
mengetahui hal tersebut, sehingga dengan adanya alur flashback ini para pembaca
bisa menjadi lebih terbawa dalam suasana yang diciptakan oleh sang pengarang.
2)
Latar Belakang Kehidupan
Pengarang
2.1 Ideologi
Latar belakang pengarang membuat
novel ini adalah dilihat dari sudut pandangnya. Sudut pandang yang digunakan
oleh prngarang dalam novel Pengantin adalah sudut pandang orang ke ketiga.
Hal ini bisa dilihat pada kutipan novel di bawah ini.
“Dia” namun
kadang juga disertai cerita yang lebih merupakan laporan pengamat seperti pada.
“Swara
kentongan maneter saka langgare mbah Mangil ngelingake kuwajibane marang
pangeran. Bocah-bocah ing pendhapa uga kaya dielingake marang dhawuhe Bu Sawit,
padha bubar mulih menyang omahe dhewe-dhewe. Sadalan-dalan padha umyung
ngrembug film kartun kang mentas ditonton ing layar cilik mau.”
“Suara kentongan berbunyi dari suraunya mbah
Mangli mengingatkan kewajibannya kepada Tuhan. Anak-anak di pendhapa juga
seperti diingatkan kepada nasehatnya Bu Sawit, pulang satu per satu menuju
rumahnya sendiri-sendiri. Sepanjang jalan rame membicarakaan film kartun yang
baru saja ditontonnya.”
Disini sudut pandang tersebut mempunyai keterbatasan
“pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu jadi bersifat terbatas,
hanya selaku pengamat saja. Dalam sudut pandang “dia” sebagai pengamat yang
benar-benar objektif, narator bahkan hanya dapat melaporkan (menceritakan)
segala sesuatu yang dapat dilihat dan di dengar, atau yang dapat dijangkau oleh
indra. Namun walau itu hanya melaporkan secara apa adanya kadar ketelitiannya
harus diperhiotungakan, khususnya ketelitian dalam mencatat dan mendiskripsikan
peristiwa, tindakan, latar samapai ke detil-detil terkecil yang khas. Naraator
dalam hal ini, seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam
dan mengabadikan suatu objek, sebagai contoh :
“Vespane
rada dibanterake, daya-daya tekan ngomah. Arep manebakake ati. Sadalan-dalan
ing jero atine tansah dumadi pasulayan. Rebut biada antarane rasa rumangsa wis
tuwa lan dhudha kasepen kang tau antuk piweling saka bojone. Antarane rasa
rumangsa uripe wis ora suwe maneh lan rasa kuciwa amarga durung duwe turun.
Dheweke kepingin nindhes atine supaya tetep ngrumangsani tuwane. Nanging saya
adoh saka bendungan iku, eseme Manik saya cetha kaya tumpempel ing tlapukan.
Nganti tekan ngomah, nganti awan, nganti sore, nganti bengi.”
“Vespanya
semakin dipercepat supaya cepat sampai rumah, akan menenangkan hati. Sepanjang jalan
didalam hatinya hanya dilema. Antara merasa sudah tua dan duda kesepian yang
mendapat amanat dari istrinya. Antara merasa hidupnya sudah tak lama lagi dan
rasa kecewa karena belum mempunyai keturunan. Dia ingin memaksakan hatinya
sadar diri bahwa dirinya sudah tua. Tetapi semakin jauh dari bendungan,
senyuman Manik masih terbayang, hingga sampai rumah, hingga siang, hingga sore,
hingga malam.”
2.2. Lingkungan
Kehidupan Pengarang
Dalam konsep kesetiaan
dan perjodohan tersebut tentunya memiliki latar belakang tersendiri bagi
pengarang yang menciptakan hal tersebut. Pengarang menciptakan konsep kesetiaan
adalah sebagai wujud rasa syukur kita terhadap sang pencipta yang sudah
memberikan kita karunia berupa jodoh kita tersebut. Sedangkan dalam konsep perjodohan
yang dialami oleh Sugiri tersebut lebih terlihat pada sikap baktinya kepada pak
Tumpo yang selama ini telah banyak membantu di dalam kehidupannya,
sampai-sampai hal jodohpun ia terima darinya.
Hal lain yang mendukung dari dari
konsep-konsep tersebut adalah sebua latar dimana awal cerita itu mulai
dimunculkan. Seperti yang dilihat di bawah ini.
Percakapan dimulai dengan kata-kata Pak Tumpa
“Uwis wah apik tenan padhepokan iku, senajan winangun
gagrag lawas, nanging wong bakalane weton saiki. Dadi malah kaya pasemon jumbuh
ing kagunan lawas lan anyar"
Boleh jadi memang mengandung ketidakjelasan bagi
pembaca yang tidak mengerti konteks pembicaraan seperti itu, termasuk konteks
pembicaraan di padhepokan baru antara orang –orang yang bersangkutan atau pembaca
yang tak mampu membuat implikatur-implikatur. Pernyataan Pak Tumpa tersebut
maksudnya adalah mengkonfirmasikan bahwa padhepokan barunya bagus sekali.
3)
Penutup/Pesan
Tentang Novel
Secara garis besar pesan moral dalam
novel Penganten ini adalah berupa hubungan manusia dengan manusia lain dalam
lingkup sosial termasuk hubungnnya dengan lingkungan alam. Tak selamanya
kekayaan adalah jaminan kebahagiaan, seperti keluarga Pak Tumpa yang kaya raya
namun tak mempunyai seorang anak, hidupnya tidak bahagia sebaliknya dengan
Parjo yang hanya seorang penjual es dawet namun bahagia kehidupannya.
Pak Tumpa yang kaya adalah seorang
yang dermawan oleh sebab itu banyak orang-orang yang menghormatinya. Bahkan
rela dijodohkan dengan calon istri Pak Tumpa sendiri seperti yang dialami
Suhir.
Kesetiaan yang digambarkan dalam
novel ini jelas sekali kesetiaan Pak Tumpa dengan Bu Sawit begitu juga
sebaliknya, walaupun mereka tak mempunyai anak tetapi mereka tetap setia. Pesan
religius yang ingin disampaikan novel ini adalah kita harus terus memohon dan
berdoa kepada Tuhan YME walaupun diberi cobaan besar, seperti yang terjadi pada
Bu Sawit dan Pak Tumpa. Selain itu kata-kata wasiat orang yang telah meninggal
juga harus dilaksanankan. Pesan sosial yang ingin disampaikan adalah menjadi
bupati bukanlah untuk pamer, tetapi senantiasa membangun masyarakatnya dan
tidak sombong seperti figur Pak Tumpa.
8. Novel
Jemini
(karya Suparto Brata)
1) Latar
belakang
Novel
Jemini ini menceritakan kehidupan wanita di jaman Belanda (penjajahan Belanda).
Wanita mempunyai derajat yang lebih rendah dibanding dengan derajatnya
laki-laki. Wanita dianggap tidak mampu bertindak tidak seperti laki-laki.
Wanita dianggap sebagai barang yang hanya bisa dipilih, diperistri dan tidak
harus dihargai oleh kaum laki-laki. Pada saat itu, beberapa orang mengupayakan
supaya bangsa Belanda bisa cepat pergi dari bangsa ini, tapi ada juga beberapa
orang yang memilih mengikuti kelompoknya orang-orang Belanda dan bergabung
menjadi tentara. Tentara yang dibentuk Belanda ini mempunyai nama KNIL. KNIL
itu singkatan dari basa Belanda het
Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau mempunyai makna yaitu
tentara kerajaan Hindia-Belanda.
Kehidupan
yang diceritakan di atas hampir sama dengan yang dialami oleh Jemini. Dari
kecil Jemini dan keluarganya hidup di tangsi. Bapaknya menjadi tentara KNIL dan
harus masuk di Tangsi dan membawa anak istrinya tinggal disana. Tangsi adalah
tempat yang berwujud asrama untuk para tentara. Selain Jemini dan keluarganya,
ada juga keluarga Jawa lainnya yang
menjadi tentara KNIL dan hidup di tangsi. Kejadian di tangsi ini yang
menyebabkan munculnya kesengsaraan yang dialami oleh tokoh utama Jemini. Bab
yang pertama menggambarkan kesengsaraan hidup dalam novel Jemini yaitu nikah
paksa. Jemini dinikahkan dengan cara paksa dengan laki-laki yang tidak ia
cintai. Dari nikah paksa itu menyebabkan masalah-masalah yang lain yaitu Jemini
menjadi germi dan orang yang senang menyiksa. Di bawah ini akan dijelaskan
lebih mendalam mengenai novel Jemini.
1.1.Nikah
Paksa
Nikah
paksa yaitu tata cara menikahkan dengan paksa. Masalah nikah paksa yang
tergambar dalam novel Jemini ini dialami sendiri oleh tokoh utama Jemini.
Jemini akan dinikahkan dengan laki-laki yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Orang tauanya memaksanya supaya anaknya itu mau dinikahkan dengan laki-laki
pilihannya. Kejadian itu dimulai ketika Parni, salah satu teman Jemini melihat
Jemini sedang bersama teman-temannya. Parni mengira bahwa Jemini sudah tidak
pantas apabila bermain dengan teman-temannya lagi karena dirasa sudah dewasa. 2
minggu lagi dia akan menjadi penganten.
Hal
itu dibuktikan dalam petikan novel dibawah ini.
“Ing sawijining dina, Jemini karo
kanca-kancane main kopyok neng ngisor wit pelem mburi Tangsi. Parni teka
nggendhong adhine karo didulang. Weruh Jemini melu kopyok, terus nyaru, “E,
Jem! Koen iku gak idhep esin. Wis gedhe ngono kok esik melu kopyok. Rong minggu
maneng koen lak dadi manten-a, kathik gak eling mbarek gerangmu! Jeeem-Jem!”(halaman:
53).
’Pada
suatu hari, Jemini sedang bersama teman-temannya bermain kopyok di bawah pohon
mangga belakang Tangsi. Parni datang menggendong adiknya sambil menyuapinya.
Melihat Jemini ikut kopyok, terus bilang, “E, Jem! Kamu itu tidak tau malu.
Sudah besar kayak gitu kok masih ikutan kopyok. Dua minggu lagi kamu kan mau
jadi manten, mbok ya eling! Jeem-Jem’
Dari petikan novel tersebut
diceritakan waktu kejadian yaitu ketika Jemini bermain dan melihat bahwa dia
akan dinikahkan oleh orang tuanya. Bab pernikahan tersebut diketahui dari
Parni. Parni bilang bahwa Jemini akan dinikahkan dengan 2 minggu lagi. Jemini
kaget mendengar kata-kata Parni itu. Dia tidak menyangka kalau orang tuanya
tega melakukan hal itu kepada Jemini. Teman-temannya mencemoohnya. Jemini yang
malu akan hal itu, pulang sambil lari terbirit-birit dan menangis. Dia merasa
bahwa orang tuanya sudah bertindak yang semena-mena terhadapnya.
Suatu
hari, Wagiman mendapatkan tugas patroli. Dia ditugaskan bersama dengan Urip.
Urip mengetehui bahwa Wagiman itu orang tuanya Jemini. Keduanya saling
mengobrol sangat akrab. Obrolanya itu soal pernikahan, Urip mempunyai niat mau
mengajak orang tuanya untuk ke rumahnya Wagiman dengan tujuan melamar Jemini.
Wagiman sudah merasa cocok dengan laki-laki itu. Dia langsung menceritakan
keinginan Urip ke istrinya. Keduanya pun senang dan menerima lamarannya Urip
tanpa diketahui oleh Jemini. Jemini terpaksa menuruti keinginan orang tuanya.
Jemini
dan Urip akhirnya dinikahkan. Acara pernikahannya dibuat pesta yang besar.
Seminggu acara pernikahan itu dilakukan. Ditambah tontonan wayang dan tayuban,
orang-orang tangsi ikut sibuk membantunya. Keduanya duduk bersanding dan para
tamu menyalaminya. Sebenarnya Jemini tidak mau dinikahkan dengan Urip, tapi
setelah kedua mempelai menemui para tamu, keduanya masuk kamar dan
beristirahat. Jemini masih belum mau tidur bersama dengan Urip. Hal itu
dibuktikan dalam penggalan novel berikut.
“...........Sajrone didandani cara
manten, dheweke ora gelem turu, mung lungguh wae. Sok-sok yen ngantuk banget
dheweke ya ngglundhung ing klasa sing digelar ing ngarep peturon. Kuwi wae ora
yen wayah bengi. Sok-sok wayah esuk, sok-sok wayah awan, nalikane dhayoh-dhayoh
akeh sing padha kepengin weruh mantene. Yen wis ngglundhung ngono, manten
lanang mung bisa nyodhorake bantal. Jemini isih durung gelem omong-omong karo
manten lanang!” ( halaman : 58-59)
‘............selama
dirias menjadi pengantin, dia tidak mau tidur, hanya duduk saja. Tiba-tiba
mengantuk dan dia tidur di tikar yang ia gelar di depan tempat tidur. Itu juga
apabila tidak wayah malam. Kadang-kadang wktu siang, kadang-kadang waktu pagi,
ketika tamu-tamu banyak yang ingin melihat pengantinnya. Apabila sudah tudur
seperti itu, manten laki-laki hanya bisa memberi bantal. Jemini masih belum mau
biicara dengan suaminya itu.’
Dalam
petikan novel tersebut dijelaskan bahwa nikah paksa antara Jemini dan Urip
tidak dilandasi dengan rasa cinta. Maka dari itu,menyebabkan Jemini malas untuk
berdekatan dan berbicara dengannya. Mulai acara mantenan itu, dia belum ingin
menyapa calon suaminya. Ketika malam, dia hanya duduk di tikar. Jemini
menggunakan cara tersebut supaya Urip tidak mendekatinya. Setelah acara
pernikahan itu selesai, Jemini dipindah ke tangsinya Urip di Sambongan. Dia
juga belum ingin dekat-dekat dengan Urip. Banyak cara yang dilakukan Jemini
agar tidak dekat dengan Urip.
1.2.Konsep
Munci
Munci
atau dalam bahasa Jawanya Gendhik yaitu istri yang tidak sah atau istri gelap. Hubungan
antara laki-laki dan perempuan itu berhubungan erat tapi tidak keikat dengan
tali pernikahan. Hal tersebut sudah biasa dilakukan oleh orang Belanda dengan
perempuan-perempuan pribumi atau pembantu-pembantunya ketika jaman kolonial
Belanda. Kejadian itu dikarenakan jumlah wanita yang derajatnya lebih rendah
ketimbah deraat laki-laki atau orang Belanda itu. Maka dari itu, banyak
laki-laki Belanda yang mencari wanita pribumi.
Gambaran
mengenai konsep munci yang dijelaskan diatas itu bisa temukan dalam novel
Jemini. Setiap orang tangsi pasti sudah tau bab tentang munci atau gundhik.
Sebagian wanita tangsi tersebut sering dijadikan gundhik oleh prajurit Belanda
atau Jawa di kampung Belanda.
Orang
yang tinggal di kampung Belanda tidak ada yang mempunyai istri, orang-orang itu
sering menyuruh ibu-ibu atau wanita tangsi untuk membantu membersihkan rumah
dan memasak. Menurut adatnya, para orang Belanda itu memilih wanita yang belum
menikah untuk membantunya. Wanita yang sudah dewasa dan belum mempunyai
pasangan sering dijadikan munci/gundhik oleh orang-orang di kampung Landa.
Pernyataan itu terdapat dalam cuplikan di bawah ini.
“Nanging kerep wae
pembantu-pembantu wadon iki cukup diwasa, durung ana sing ndhedheki, terus
didadekake munci dening wong-wong Kampung Landa. Dimunci tegese didadekake
babu, yen perlu nginep kono barang, dienggo kanca turu (halaman:24).”
‘Tapi
sering pembantu-pembantu wanita ini cukup dewasa, belum ada yang mendekatinya,
terus dijadikan babu oleh orang-orang Kampung Belanda. Dimunci artinya
dijadikan pembantu, kalau perlu menginap disana dan dijadikan teman tidur.’
Wanita
yang sering dimintai tolong untuk menjadi pembantu yaitu wanita yang cukup
dewasa. Wanita yang belum mempunyai pasangan sering dijadikan gundhik oleh
orang-orang Kampung Belanda. Apabila sudah dijadikan pembantu, wanita itu harus
mau “melayani” tuannya dan menginap untuk menemai tidurnya. Nasibnya Jemini
juga sama dengan wanita tangsi lainnya yang menjadi pembantu di Kampung Belanda
itu. Dia merasa tidak enak dengan tangga-tangganya di tangsi yang sering
menggunjing soal Jemini penganten baru sudah berpisah dengan Urip.
Jemini
menjadi munci itu bermula dari ajakannya Kadinah. Kadinah itu wanita tangsi
yang dijadikan gundhik oleh Den Sutras. Kadinah pernah mengajak Jemini ketika
menyiapkan masakan untuk Den Sutras. Selain menjadi pembantu, dia juga
dipercaya untuk “melayani” Den Radian. Kejadian itu bisa dilihat dalam petikan
novel dibawah ini.
“Lumantar Kadinah, Jemini kerep
melu ngeterake matengan menyang omahe Radian. Radian mono kaya Sutras, oleh
omah dhewe neng njaban tangsi, marga pangkate wis pembantu letnan (halaman :75).”
“Seperti
Kadinah, Jemini sering ikut mengantarkan masakan ke rumahnya Radian . radian
itu seperti Sutras, mendapatkan rumah sndiri di luar tangsi, karena pangkatnya
sudah pembantu letnan.’
Petikan
novel tersebut menjelaskan hal-hal tentang Jemini berada dalam dunia
pergundikan. Kebiasaan Jemini yang sering ikut mengantarkan makanan ke tempat
Den Radian itu, membuat hati sang
laki-laki kepincut oleh Jemini. Jemini yang dirasa sudah dewasa memang terlihat
jelas. Badannya bisa membuat gemetar jiwa laki-laki ketika melihat dirinya. Begitu
juga Radian yang akhirnya terpikat hatinya ke Jemini.
2) Latar
Belakang Pengarang
2.1.
Ideologi pengarang
Nama lengkap dari
Suparto Brata adalah Raden Mas Suparto
Brata terlahir di Surabaya pada tanggal 27 Februari 1923 dari pasangan Raden
Suratman dan Bandara Raden Ajeng Jembawati. Kedua
orangtuanya berasal dari Surakarta Hadiningrat. Suparto Brata adalah sastrawan yang produktif menerbitkan buku fiksi
berbahasa Jawa dan Indonesia. Suparto Brata pernah mendapat penghargaan
dari South East Asia Write Award(2007), penghargaan Rancage (2000,
2001 dan 2005) serta tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of
the World Sixth Edition (1998) terbitan The American Biographical
Institute, Inc, USA. Dalam menulis, Suparto Brata seringkali
menggunakan nama samaran, di antaranya Peni dan Eling
Jatmiko. Suparto Brata menikah pada tahun 1962 dengan Rr. Ariyati, anak seorang
petani kaya di Ngombol, Porwerejo (Jawa Tengah), dan mempunyai 4 orang anak yaitu Tatit
Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neograha Semeru Brata (1969)
dan Tenno Singgalang Brata (1971). Tahun 2010 yang baru lalu, Suparto
Brata menerbitkan buku bahasa Jawa 5 judul, semua berupa roman atau novel.
Yaitu Cintrong
Paju-Pat (pernah dimuat sebagai cerita sambung di
Panjebar Semangat, 2006), Nona Sekretaris (selesai ditulis tahun 1983-1984), ‘t Spookhuis (cerita
bersambung Panjebar Semangat Februari-April 1991), Riwayat Madege Propinsi Jawa
Timur, Lelabuhane Gubernur Jawa Timur I R.M.T.A.Suryo (terbit
pertama 2010), dan Pawèstri Tanpa Idhèntiti (selesai
ditulis Agustus 2009, terbit tahun 2010), Jemini (2012).
2.2. Latar Kehidupan Pengarang
Novel
ini ditulis seperti nyata, pengarang bisa membawa pembaca masuk ke dalam
dunianya. Menurut saya, pengarang mengalami kejadian itu waktu jaman
Belanda.
Kesimpulan
·
Novel Jemini karya Suparto Brata
merupakan salah satu karya sastra yang mengangkat tema mengenai kawin paksa
yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya. Hal ini dapat dilihat pada
episode ketika Semi dan Wagiman memaksa Jemini untuk kawin dengan prajurit yang
berasal dari tangsi Sambongan.
·
Novel Jemini dibangun dari
unsur-unsur pembentuk cerita yang saling berkaitan. Pada penelitian ini,
seluruh unsur tersebut dianalisis dengan menggunakan teori struktural. Fakta
cerita terdiri dari: karakter, latar, alur, dan tema. Sedangkan sarana sastra
terdiri dari: judul, sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme, dan ironi.
·
Pemberian judul novel diambil dari salah
satu tokoh sentral di dalam novel, yaitu Jemini. Tokoh Jemini merupakan tokoh
sentral pada novel tersebut. Hal ini dikarenakan tokoh Jemini selalu
berhubungan dengan tokoh lain pada setiap episode cerita. Tokoh lain tersebut
antara lain: Wagiman, Semi, Oom Piet, Urip, Siti, Wak Talib, Radian, dan
Kadinah. Latar yang muncul pada novel Jemini cukup bervariasi. Latar tempat
antara lain: Kompleks Tangsi Surabaya yang terdiri dari Rumah Dinas Wagiman,
Kampung Landa, Dapur Umum, dan Kamar Mandi Umum. Selain itu juga ada Tangsi
Sambongan, Tangsi Betawi (Jagalan), Stasiun Pasar Senen, Stasiun Padalarang,
Tangsi Batujajar, Rumah Raden Kartakusumah, Kantin Ibu Semi, Kampung Gatotan,
Tangsi Batujajar, dan Pelabuhan Tanjungpriuk. Untuk latar waktu, antara lain:
tanggal dua puluh lima, satu bulan lamanya Jemini di rumah Raden Kartakusumah,
sebulan sekali setiap tanggal dua puluh enam, hari Minggu dengan adanya acara matinéé,
pada suatu hari, pagi hari, bulan Oktober musim kemarau, dan malam hari.
·
Latar suasana yang tergambar pada novel Jemini
antara lain: suasana meriah perkawinan Jemini dengan Urip, suasana
menegangkan dan panas pada malam hari di awal perkawinan Jemini dengan Urip,
suasana menyedihkan dan memilukan ketika Jemini disiksa oleh Radian, suasana
bimbang dan bingung untuk menentukan arah tujuan ketika Jemini meninggalkan
tangsi Betawi (Jagalan), dan akhirnya menuju Padalarang, suasana sedih ketika
Jemini dimarahi oleh Wagiman karena meninggalkan Radian tanpa pamit, suasana
sedih Oom Piet Coertszoon ketika putus dengan tunangannya Marie Wevers, suasana
sedih Oom Piet Coertszoon ketika belum mendapatkan izin atasannya untuk
mengawini Jemini, suasana kesedihan Siti ketika ditanya Jemini tentang
anak-anaknya yang dibawa Oom Slompret kembali ke Belanda, suasana sedih Kadinah
ketika akan melahirkan, ia meminta Jemini mendatangkan Siti untuk menunggui
kelahiran anaknya, suasana kegembiraan Oom Piet Coertszoon karena akhirnya
atasannya mengizinkan ia mengawini Jemini selanjutnya pesta perkawinan keduanya
di Gereja, suasana gelisah Jemini ketika menantikan kedatangan kembali Oom Piet
Coertszoon dari Belanda, dan yang terakhir suasana haru ketika melihat Oom Piet
tiba dari Belanda di Pelabuhan Tanjungpriuk.
·
Alur pada novel Jemini termasuk
lurus/maju. Dilihat dari kuantitas alurnya novel ini beralur tunggal, karena
ceritanya berpusat pada tokoh utama saja, yaitu Jemini. Dilihat dari segi
kuantitasnya, novel Jemini memiliki alur tunggal sebab ceritanya
berpusat pada tokoh utamanya, yaitu Jemini. Sedangkan dari kualitas alurnya
maka novel ini beralur renggang/longgar, karena peristiwa di dalam novel
terdapat digresi-digresi. Akan tetapi degresi tersebut muncul untuk menunjukkan
kejelian Suparto Brata dalam menguasai sebuah permasalahan. Adapun dilihat dari
akhir ceritanya novel ini beralur tertutup, sebab pada akhir cerita tidak
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai penyelesaian cerita dari novel Jemini
tersebut.
·
Sudut pandang pada novel Jemini menggunakan
metode orang ketiga atau gaya dia. Pengarang menyebutkan nama para tokoh yang
muncul di dalam novel Jemini. Maka dengan metode orang ketiga ini,
pengarang dapat menjelaskan isi cerita dengan sebebas-bebasnya.
·
Pengarang novel Jemini, yaitu
Suparto Brata menggunakan beberapa gaya bahasa di dalam novel karyanya itu.
Gaya bahasa tersebut antara lain: antitesis, repetisi, paradoks, hiperbol,
simile atau persamaan, klimaks, dan anti klimaks. Selain itu, gaya humor pun diselipkan
pula oleh Suparto Brata di dalam novel Jemini.
·
Simbolisme merupakan salah satu bagian
dari sarana sastra. Simbolisme pada novel Jemini adalah upacara slametan
Jemini ketika dirinya mengalami masa menstruasi. Selain itu pada acara
“perkawinan” Jemini dan Urip diadakan acara tradisi Tayuban. Kedua peristiwa
tersebut masuk ke dalam simbolisme.
·
Pada umumnya ironi didefinisikan sebagai
suatu pernyataan yang berlawanan dengan apa yang diharapkan. Ironi yang muncul
pada novel tersebut adalah ketika Jemini menerima “lamaran” Urip maupun Radian.
Jemini sesungguhnya belum siap berumah tangga dengan kedua lelaki tersebut.
Akan tetapi karena paksaan dari orangtuanya, akhirnya Jemini menerima “lamaran”
tersebut.
3) Pesan/amanat
yang ingin diungkapkan pengarang kepada pembaca dapat tersampaikan melalui
novel tersebut. Amanat yang terkandung antara lain:
a. Pentingnya
pendidikan bagi orangtua dan anak
b. Orangtua
seharusnya melindungi dan menjaga anaknya, bukan menjerumuskannya dengan
melakukan praktik kawin paksa.
c. Seburuk
apapun tingkah laku anak, orangtua akan selalu memaafkan dan menerimanya
kembali.
d. Baik
buruk seseorang tidak berdasarkan warna kulit.
e. Jagalah selalu nama baik keluarga terutama
orangtua.
f. Jadilah
anak yang berbakti kepada kedua orangtua.
g. Roda
kehidupan itu selalu berputar, terkadang di atas tetapi terkadang juga bisa di
bawah.
h. Setelah
penderitaan akan datang kebahagiaan jika sabar dan tawakal menjalaninya.
i.
Cinta sejati akan datang diwaktu yang
tepat.
j.
Jangan suka mengumbar hawa nafsu dunia
semata.
Brata, Suparto. 2012. Jemini.
Yogyakarta: Narasi.
9.
Novel Anteping
Wanita (karya Any Asmara)
Judul novel Anteping Wanita oleh Any Asmra
menceritakan kisah hidup seorang wanita yang di dalamnya dia sedang mengalami
percintaan. Endra dan Intarti (tokoh wanita tersebut) kedua pemuda yang sudah
lama berkenalan dan juga sudah lama menjalin cinta kasih. Ketika keduanya akan
meresmikan tali kasih, mereka harus merelakan peresmian tersebut hancur. Endra
harus menikah dengan seorang wanita bernama Susilawati yang tidak lain adalah
adik angkatnya sendiri. Endra dan Intarti mengalami dilema yang sangat besar.
Keduanya saling berperang dengan hatinya masing-masing. Namun karena Intarti
digambarkan sebagai wanita yang memiliki hati yang sangat kuat maka dengan
kekuatan hati yang suci Intarti rela melepaskan Endra untuk menikahi
Susilawati. Intarti tidak memperdulikan dirinya sendiri, dia rela berkorban
demi nama baik Endra di hadapan keluarga Susilawati yang selama ini Endra sudah
banyak berhutang budi dengan keluarga Susilawati. Endra sudah diasuh sejak
kecil dan diangkat menjadi anak oleh R Ismangun dan R Ngt Ismangun. Maka mereka
berdua harus menikah walaupun sebenarnya Endra tidak mencintai Susilawati, hal
ini menyebabkan pernikahan mereka berdua tidak berlangsung lama. Susilawati
merasakan kejenuhan dirinya dan kemudian meninggalkan Endra dengan laki-laki lain.
Namun Endra tidak putus asa. Endra semakin kuat hatinya, sampai akhirnya dia
bertemu lagi dengan Intarti dan kemudian hidup bersama-sama. Namun, ditengah
kehidupan mereka berdua kedatangan seorang pengemis yang tidak lain adalah
Susilawati. Keadaannya sangat berubah. Awalnya, Susilawati tidak mau mengakui
drinya. Namun, atas desakan Endra yang sudah mengetahui bahwa pengemis itu
adalah Susilawati akhirnya dia pun mengakui. Susilawati kemudian dirawat oleh
Intarti dan ibunya, sampai akhirnya dia meninggal dan ibunya pun ikut
menyusulnya karena dia sangat terpukul sepeninggalan Susilawati. Novel
“Anteping Wanita” karangan Any Asmara ini termasuk novel lama. Novel ini
diterbitkan sekitar tahun 1955. Ini terbukti pada penulisan ejaan yang masih
menggunakan ejaan lama, seperti “dj” yaitu j, “tj” yaitu c, “oe” yaitu u, “nj”
yaitu ny, “j” yaitu y. Ejaan ini bisa dilihat pada kutipan novel dibawah ini.
“Trjita iki mung
fantasi bae, kang anggambarake lelakone wanita loro, sing sidji luhur bebudine
lan sing sijdine kang kosok balene.
Anane tjrita iki sak
karang, muga-muga dadija kupiya, awit ing kalangan masjarakat kita dewe,
sanjatane isih akeh banget lelakon kaja isine tjrita iki. Muga-muga tjrita iki
andadekna suka-pirenaning penggalihe para maos kabeh.
(hlm 3)”
Kutipan
tersebut juga menjadi dasar mengapa Any Asmara menulis novel tersebut. Novel
tersebut ditulis sebenarnya hanya untuk fantasi atau sebagai media penghibur,
namun setelah dilihat isi dari novel ini tidaklah hanya untuk hiburan semata.
Pengarang menerbitkan novel tersebut dengan menggambarkan dua orang wanita.
Seorang wanita memiliki watak yang berbudi baik sedangkan wanita yang satunya
memiliki watak yang bertolak belakang dengan wanita yang pertama, atau dengan
kata lain berbudi jelek. Pengarang mengambil cerita tersebut dengan harapan
bisa menjadi tauladan atau contoh bagi pembaca, karena cerita tersebut
mengangkat tentang kehidupan dua orang wanita dengan berbagai watakanya yang
masih banyak terdapat di kalangan masyarakat kita sendiri.
Di dalam novel ini digambarkan bahwa Intarti sebagai
wanita yang memiliki hati yang antep
atau kuat. Dengan stulus hatinya, dia merelakan kekasihnya untuk menikah dengan
wanita lain, yang tidak lain adalah adik angkat dari Endra kekasihnya tersebut.
Dengan tekad hati yang mantap Intarti memutuskan untuk menemui adik angkat dari
Endra yaitu Susilawati dan berkata kepadanya bahwa ia dengan ikhlas merelakan
kekasihnya, Endra menikah dengan Susilawati. Ini bisa digambarkan pada petikan
novel tersebut.
“Intarti
nedya ngalah, ngalah, kanggo Susilawati lan ibune Susilawati, wondene awake
dhewe ora dipikirake maneh. Kanthi sutjining atine lan eklas. Intarti kudu wani
korban! Pantjen abot bangetwong arep aweh korban kuwi, nanging kepriye maneh,
dalan lijane wis ora ana maneh. Intarti bisane ya mung kurban kuwi, kudu wani
medhot katresnane karo Endra, wong sing tansah ditresnani, dheweke kudu wani
korban sing semono gedhene, perlu kanggo kepentingan lijan, lan uga kanggo
ngluhurake djenenge Endra........”
Bareng
tekade wis mantep lan tetep, Susilawati bandjur dikandhani alon-alon,
mangkene..... (hlm 34).”
Hal tersebut diatas menjadi hal yang
sangat menarik yang terlihat dari novel Anteping Wanita karya Any Asmara ini.
Diceritakan tentang dua orang wanita yang memiliki watak saling berlawanan.
Intarti tokoh wanita utama yang memiliki watak berbudi luhur. Dia sangat
mencintai orang-orang yang di sekitarnya. Dia juga rela berkorban demi
kepentingan orang lain. Intarti rela kekasihnya menikah dengan wanita lain
dengan alasan bahwa kekasihnya harus berbalas budi dengan cara menikahi adik
angkatnya, Susilawati yang menjadi tokoh kedua wanita yang berwatak jelek.
1.1 Konsep Mitra Sekolah
Dalam konsep “Mitra Sekolah” ini pengarang
menceritakan tentang tokoh utama dengan menghadirkan orang lain atau dari
penghadiran orang lain. Dalam konsep ini pengarang baru mengenalkan tokoh utama
yaitu Intarti, dan yang ke dua adalah Endra sebagai kekasihnya. Konsep ini
dilatarbelakangi atas dasar hubungan tali kasih antara Intarti dan Endra dimana
hubungan mereka bermula sejak sekolah di SMP.
Di sini juga dikenalakan tokoh yang mendampingi
Intarti, yaitu Endra, serta Susilawati yang termasuk tokoh yang sering muncul
juga. Diceritakan juga latarbelakang kehidupan Endra. Dia adalah anak angkat
dari R. Ismangun yang sudah memiliki anak perempuan bernama Susilawati (adik
angkat Endra). Endra diangkat anak sejak umur 1 tahun ketika kedua orang tua
Endra sudah meninggal. Sampai umur 22 tahun dan akhirnya lulus sekolah S.G.A
Endra dan Intarti mengucapkan janji bahwa mereka akan saling setia, karena
mereka juga akan berpisah lama Ini bisa dilihat dari kutipan novel di bawah
ini.
“Endra
maune kenale karo Intarti ja mung kenal lumrah bae, nanging suwe-suwe, sekarone
pada kadunungan rasa sih – katresnan djati, pada dene tansah sih – sinihan,
wusana sekarone pada prasetya, jen ing ing tembe mburi nedya urip bebarengan. (hlm 9).”
‘Awalnya Endra kenal dengan Intarti
dengan hal-hal yang wajar saja. Namun, karena sudah lama terbiasa bersama
akhirnya rasa cinta mereka semakin tumbuh. Sudah seperti suami istri yang
berpasangan, dimana keduanya sudah saling berjanji bahwa nantinya akan hidup bersama-sama.’
1.2 Konsep Prasetya
Pada konsep ini pengarang bercerita menggunakan alur
maju, yaitu dengan menceritakan kisah tali kasih keduanya. Namun, disini
pengarang juga mulai menghadirkan konflik yang belum terlihat dengan jelas.
Pengarang menggunakan perantara untuk menghadirkan konflik tersebut.
Konsep ini merupakan kelanjutan kisah dari
perjalanan kesetiaan Intarti dan Endra setelah lulus dari sekolah S.G.A. Mereka
menjalin tali kasih yang saling berjauhan namun mereka tetap bisa menjaga
janjinya masing-masing. Pertemuan mereka hanya diwaktu hari libur saja.
Akhirnya dalam waktu dua bulan setelah keduanya bertemu, mereka bisa
membuktikan kesetiaan cinta mereka dengan peresmian hubungan mereka. Namun,
setelah itu kembali seperti biasa. Hubungan mereka dijembatani tempat dan waktu
yang jauh.
Pengarang menghadirkan pantun Jawa untuk memerpindah
cerita pada konsep ini, sekaligus arti yang tersurat sebagai bukti dengan
adanya kesetian tali kasih keduanya, seperti pada kutipan di bawah ini.
“Jen
kramas adja nganggo merang, nanging nganggo godhong kenikir...... Ja mung
kangmas, rina - wengi sing tansah dadi
pikir.”
‘Kalau keramas janganlah menggunakan merang, tapi
gunakanlah daun kenikir...... Ya hanya Kangmas, yang setiap malam selalu
difikir.’
“Tuku pasah njang Lohsemawe, pasahe ketul tanpa
garan...... Gelem pisah karo kowe jen njawaku wis dipundhut ing Pangeran.”
Beli pasah ke Lohsumawe, pasahnya tumpul
tanpa garan.... mau pisah dengan kau seorang jikanyawaku sudah kembali pada
sang Pangeran.
“Aduh......,
djeng, kaja-kaja wis tjukup prasetya kita wong loro iki, ja muga-muga bae Gunug
Lawu kang djenggereng ana ngarepku, dadija seksi, lan muga-muga idam-idaman
kita enggal bisa kasembadan. (hlm
22).”
‘Aduh......, djeng,
sepertinya sudah cukup saling setia kita berdua ini, semoga saja Gunung Lawu
yang ada di hadapanku, menjadi saksi, dan semoga yang kita harapkan bisa segera
terwujud.’
Dari kutipan tersebut bisa diketahui
bahwa pengarang menciptakan penokohan terhadap Intarti dan Endra termasuk tokoh
yang protagonis. Dimana keduanya memiliki sifat dan watak yang hampir sama,
yaitu saling memiliki prinsip yang kuat, saling menyayangi dan mencintai.
Pengarang juga memberikan nilai estetika
yang berbeda dengan penggambaran kisah cinta yang pada umumnya, terlebih pada
zaman sekarang ini. Intarti dan Endra menunjukkan rasa kasih sayangnya melalui
kata-kata indah (kiasan). Jika zaman dahulu bisa dinamakan dengan saloka, atau
yang termasuk “unen-unen Jawa”. Di zaman sekarang yang sudah modern ini mungkin
juga hampir sama, namun yang menjadi perbedaan adalah zaman sekarang saloka
tersebut disebut dengan puisi. Namun, tidakbanyak orang di zaman sekarang
menggunakan puisi-puisi tersebut untuk menyatakan perasaannya kepada orang yang
saling menyayangi. Adapun, mereka adalah orang-orang yang ahli dibidang bahasa
atau sastra. Orang di era modern ini cenderung lebih simple.
Pada konsep “prasetya”
ini, pengarang juga memberikan satu kejadian dimana kejadian itu merupakan
suasana hati yang bingung yang dialamai oleh Endra. Endra mendapatkan surat
dari ayah angkatnya, R. Ismangun. Di sinilah pengarang memberikan konflik awal yang belum jelas disuratkan.
1.3 Konsep Anak Polah, Bapa Kepradah
Konsep ini dapat diartikan “wong tuwa nemu reribed amarga saka polahe anakke”. Pengarang
menceritakan lebih jelas lagi, sebuah konflik dari yang sebelumnya. Konsep ini
didasarkan pada sebuah perilaku anak yang akhirnya orang tua pun ikut
merasakannya. Dalam konsep ini diceritakan bahwa anak polah bahwa anak dari R.
Ismangun yaitu Susilawati selama ini ternyata mencintai Endra dimana dia adalah
kekasihnya Intarti. R Ismangun memberitahu Endra setelah Susilawati mengirim
surat kepada R Ismangun dan R Ngt Ismangun, sebagai orang tuanya. Keduanya juga
merasakan kebingungan yang teramat sangat, sama seperti kebingungan yang sedang
dialami Endra. Namun, apa daya. Kebingungan itu juga harus berujung pada
persetujuan Endra untuk menikahi Susilawati dimana Susilawati tidak lain adalah
adik angkatnya sendiri. Kedua orang tua Susilawati sebenarnya tidak memaksakan
keputusan Endra. Namun, Susilawati sendiri yang justru memaksakan kehendaknya
terhadap Endra.
Dalam konsep ini pengarang yaitu Any Asmara
sangatlah terlihat lihai dalam membuat cerita kisah percintaan. Konsep ini
dapat dikatakan juga sebagai konsep “Cinta Segitiga”. Dalam konsep ini adalah
konsep yang mengandung konflik yang sangat memuncak. Konflik tersebut adalah
konflik yang mengandungcerita yang menarik atau menonjol dari novel “Anteping
Wanita”. Seperti judulnya, sang pengarang menggambarkan cerita dengan tokoh
utama yaitu Intarti sebagai wanita yang memiliki hati yang antep atau kuat. Dengan stulus hatinya, dia merelakan kekasihnya
untuk menikah dengan wanita lain, yang tidak lain adalah adik angkat dari Endra
kekasihnya tersebut. Dengan tekad hati yang mantap Intarti memutuskan untuk
menemui adik angkat dari Endra yaitu Susilawati dan berkata kepadanya bahwa ia
dengan ikhlas merelakan kekasihnya, Endra menikah dengan Susilawati. Ini bisa
digambarkan pada petikan novel tersebut.
“Intarti
nedya ngalah, ngalah, kanggo Susilawati lan ibune Susilawati, wondene awake
dhewe ora dipikirake maneh. Kanthi sutjining atine lan eklas. Intarti kudu wani
korban! Pantjen abot banget wong arep aweh korban kuwi, nanging kepriye maneh,
dalan lijane wis ora ana maneh. Intarti bisane ya mung kurban kuwi, kudu wani
medhot katresnane karo Endra, wong sing tansah ditresnani, dheweke kudu wani
korban sing semono gedhene, perlu kanggo kepentingan lijan, lan uga kanggo
ngluhurake djenenge Endra........”
‘Intarti bersedia mengalah, mengalah,
demi Susilawati dan ibunya, walaupun dirinya sendiri tidak Ia pikirkan. Dengan
hati yang suci dan ikhlas. Intarti harus berani berkorban! Memang sangat berat
orang yang harus berkorban itu. Namun, harus bagaimana lagi, jalan yang lain
sudah tidak ada lagi. Intarti hanya bisa berkorban demikian, harus berani
memutuskan tali cintanya dengan Endra, orang yang sangat dicintainya, dia harus
berani berkorban yang sebegitu besarnya, hanya untuk kepentingan orang lain,
dan untuk menjaga nama baik Endra....’
“Bareng
tekade wis mantep lan tetep, Susilawati bandjur dikandhani alon-alon,
mangkene..... (hlm 34).
Dengan tekad yang mantap dan kuat,
Susilawati lalu dinasehati pelan-pelan, seperti ini......
Hal tersebut diatas menjadi hal yang sangat
menarik yang terlihat dari novel Anteping Wanita karya Any Asmara ini.
Diceritakan tentang dua orang wanita yang memiliki watak saling berlawanan.
Intarti tokoh wanita utama yang memiliki watak berbudi luhur. Dia sangat
mencintai orang-orang yang di sekitarnya. Dia juga rela berkorban demi
kepentingan orang lain. Intarti rela kekasihnya menikah dengan wanita lain
dengan alasan bahwa kekasihnya harus berbalas budi dengan cara menikahi adik
angkatnya, Susilawati yang menjadi tokoh kedua wanita yang berwatak jelek.
Jika dilihat di sekitar kita mungkin masih banyak
terdapat cerita nyata seperti itu. Namun, sedikit sekali orang yang berwatak
sama seperti Intarti, yang memiliki hati yang sangat kuat, walaupun sebenarnya
dia rapuh. Namun, demi kebaikan semua dia bersedia merelakan segalanya dan
meninggalkan kehidupannya tersebut untuk mencari kehidupan yang baru. Any
Asmara membangun watak Intarti tidak hanya sekedar direkayasa, namun Any Asmara
memiliki alasan lain, yaitu dia percaya bahwa wanita yang memang berbudi luhur,
yang meiliki cinta sejati itu akan bersedia berkorban demi orang yang
dicintainya.
3)
Latar Belakang Kehidupan Pengarang
Any
Asmara, nama aslinya adalah Achmad Ngubaeni Ranusastraasmara. Kelahiran
Banjarnegara, 13 Agustus 1913. Any Asmara terkenal karena menulis buku roman
yang menceritakan tentang budi pekerti dengan menambahkan cerita-cerita yang
menegangkan, kekejaman, dan khususnya tentang percintaan. Menurut saya, salah
satu alasan Any Asmara mengangkat tentang percintaan adalah karena nama yang
dimilikinya.
a.
Ideologi
Dalam
cerita novel Anteping Wanita ini pengarang juga mencantumkan namanya sebagai
tokoh dalam cerita. Walaupun tidak menempati tokoh utama namun Any Asmara
selalu mencantumkan namanya disetiap karangan-karangannya. Entah nama asli yang
dicantumkan atau hanya nama yang disamarkan? Hal ini masih menjadi dilema bagi
para pembacanya. Any Asmara dalam novel ini memposisikan dirinya sebagai orang
tua yang hanya menceritakan kisah anaknya yang bernama Intarti sebagai tokoh
utama dalam cerita tersebut. Ini tergambar dalam petikan novel berikut.
“Intarti mau putrane R.
Ranuasmara, pensiunan Asisten Wedana ing Sidoarjo Surabaja, putrane ja mung
sidji til Intarti mau, kang saiki wis ngantjik umur 20 tahun, dadi
nedeng-nedenge prawan diwasa. Intarti saiki sekolah ana ing S. G. A. Ngajodja,
mlebu Ikatan Dinas. (hlm 7).
‘Intarti
adalah anak dari R. Ranuamara, pensiunan Asisten Wedana di Sidoarjo Surabaya,
anaknya hanya satu saja yaitu Intarti, yang sekarang ini sudah berumur 20
tahun, jadi menuju wanita yang dewasa. Intarti sekarang sekolah di S. G. A.
Yogyakarta, masuk Ikatan Dinas.’
Berdasarkan
pada kutipan di atas dapat diketahui pula bahwa Any Asmara dalam menghadirkan
tokoh-tokoh dalam karangannya tidak lain adalah orang-orang yang ada di
keluarganya sendiri. Seperti halnya Any Asmara yang menyebutkan dirinya dengan nama R Ranuasmara yang mempunyai anak
bernama Intarti. Tokoh lain yang masih berhubungan dengan keluarga Any Asmara
adalah wanita yang bernama Susilawati. Wanita ini adalah adik angkat dari
Endra. Orang tua dari Susilawati bernama R. Ismangun dan R Ngt Ismangun.
Sebuah
hal yang menarik juga dapat kita lihat dari cerita-cerita yang dikarang oleh
Any Asmara tersebut, bahwa cerita-cerita yang dikarangannya tidak lain adalah sebuah
kisah nyata yang kemudian diangkat menjadi sebuah novel. Namun, di sisi lain,
masih terdapat kebingungan. Apakah kisah nyata yang diangkat oleh Any Asmara
ini dialami sendiri atau hanya sekedar menceritakan dengan sebuah penggambaran
dari orang lain? Hal ini dapat dibuktikan dari dua novel karangan Any Asmara.
Dalam novel Anteping Wanita, Any Asmara tidak mengalami langsung kisah
tersebut. Dia hanya memposisikan dirinya sebagai orang tua tokoh utama dan
hanya diperkenalkan di awal cerita seperti cuplikan yang sudah tertera di atas.
Sedangkan di dalam novel yang berjudul Kumandhanging Katresnan, Any Asmara
menjadi tokoh utama dalam novel tersebut sekaligus kisah yang diangkatnya
adalah dari cerita nyata.
b.
Lingkungan Kehidupan
Lingkungan kehidupan menjadi sesuatu yang penting di
dalam sebuah cerita novel. Menegapa demikian? Lingkungan kehidupan inilah yang
menjadi suatu cerita dapat dikenali keberadaannya. Any Asmara mengambil cerita
novel “Anteping Wanita” ini adalah tidak lain
di daerah-daerah dimana Ia sendiri yang mengalami cerita tersebut. Dalam
novel “Anteping Wanita” ini disajikan langkungan kehidupan di daerah-daerah
yang asri, daerah-daerah pedesaan yang memiliki hawa sejuk, namun juga sebuah
daerah dimana terdapat sebuah aktivitas yang ramai dari daerah tersebut.
Contohnya adalah, daerah Djogdjakarta. Daerah ini merupakan daerah pelajar.
Dimana dapat dipastikan sebuah aktivitas yang mendominasi adalah di bidang
pendidikan. Sama seperti pengarang menceritakan latarbelakang dari perasaan
kisah cinta dari Intarti dan Endra.
Dalam novel ini pengarang tidak hanya menyajikan
sebuah kehidupan lingkungan yang asri, sejuk dan ramai juga, melainkan sebuah
daerah dimana tempat tersebut memang tempat terjadinya cerita. Daerah-daerah
lingkungan kehidupan tersebut tidak hanya di sekitar tempat kelahiran
pengarang, namun pengarang menyajikan daerah-daerah secara merata.
4)
Penutup/Pesan
Mengenai Novel
Berdasarkan cerita novel “Anteping Wanita” beserta
analisisnya, dapat kita lihat sebuah pesan yang sangat menarik jika dilihat
dari sudut pandag zaman sekarang. Jika dilihat di sekitar kita mungkin masih
banyak terdapat cerita nyata seperti itu. Namun, sedikit sekali orang yang
berwatak sama seperti Intarti, yang memiliki hati yang sangat kuat, walaupun
sebenarnya dia rapuh. Namun, demi kebaikan semua dia bersedia merelakan
segalanya dan meninggalkan kehidupannya tersebut untuk mencari kehidupan yang
baru. Any Asmara membangun watak Intarti tidak hanya sekedar direkayasa, namun
Any Asmara memiliki alasan lain, yaitu dia percaya bahwa wanita yang memang
berbudi luhur, yang memiliki cinta sejati itu akan bersedia berkorban demi
orang yang dicintainya tersebut, dan dia percaya bahwa akan ada hikmah yang
diberikan Allah Swt dibalik semuanya.
10. Novel
Wewadi Alas Pejaten (karya
C. Is Sarjoko)
1) Latar
Belakang
Novel
ini banyak menonjolkan permasalahan peristiwa-peristiwa sosial meliputi
kehidupan dari tokoh utamanya, yang memiliki latar kehidupan yang kurang baik,
serta pergaulan Budi Angkoro yang keliru sehingga membuat dia menjadi sosok
perampok di masa dewasanya. Sikap pendendam dan aroganya terbentuk karena dia
tumbuh pada lingkugan yang kurang baik. permasalahan dalam batinnyapun juga
ikut berpengaruh dalam cerita. Secara
sadar atau tidak
sadar,keadaan batin Budi Angkoro
terkadang menentang serta tidak setuju
dengan kelakuan kasarnya, akan tetapi juga
sering kalah dengan
kebutuhan dan tuntutan untuk
bertahan hidup, sehingga
dia nekat untuk melakukan pembalakan liar di hutan.
Diceritakan
bahwa saat Budi Angkoro masih kecil sudah melakukan pencurian kayu di hutan.
Budi Angkoro sedikit demi sedikit mencuri
kayu sehingga sudah
menjadi kebiasaan. Kebiasaannya yang demikian membuat Budi Angkooro
semakin nekat sehingga ketika ia telah dewasa. Ia mendirikan kelompok pembalakan
liar dan diangkat menjadi ketua kelompok tersebut.Budi
Angkoro menjadi dalang peristiwa pembalakan liar yang terjadi di hutan.
Peristiwa pembalakan itu merupakan titik awal kemunculan permasalahan yang
terdapat pada novel ini.
1.2.Pembalakan
Peristiwa
pembalakan saat Budi Angkoro masih kecil dan pada masa remaja merupakan
peristiwa pendukung menuju peristiwa pembalakan utama. Pembalakan besar yang
dia pimpin tidak selalu berhasil dengan lancar, pada saat Dibyo bertugas
(seorang polisi baru) dan mencium pembalakan Budi Angkoro beserta kelompoknya.
Keberadaan Dibyo yang menjadi polisi membuat Budi Angkoro menjadi berhati- hati
dalam bertindak sehingga suatu malam saat menjalankan aksinya, kaki Budi
Angkoro tertembak timah panas milik polisi baru tersebut. Kejadian tersebut
membuat Budi Angkoro menjadi marah dan memiliki rasa dendam kepada polisi
Dibyo. Kemarahan Budi Angkoro yang tak terbendung, membuat Budi Angkoro
menjadi lebih nekat.
Budi Angkoro membalaskan
dendamnya dengan cara merampok dan membunuh dan menculik anaknya polisi Dibyo.
Novel
Wewadi Alas Pejaten ini, selain banyak
menonjolkan peristiwa pembalakan yang terjadi, juga menyuguhkan
tentang kisah percintaan yang dibumbui beberapa permasalahan. Prabowo dan Rara
Prananti adalah dua makhluk
yang dirundung cinta, meski terhalang mereka berusaha untuk
mempertemukan dan melabuhkan cinta mereka. Permasalahan dalam kisah ini
merupakan dampak dari permasalahan pembalakan yang dilakukan Budi Angkoro,
sehingga dapat dikatakan permasalahan percintaan dalam novel ini adalah
sebagai selingan dari
peristiwa pokoknya. Rentetan permasalahan yang rumit tersebut menjadikan
novel Wewadi Alas Pejaten karya C. Is Sarjoko lebih menarik lagi
Wewadi
Alas Pejaten karya Catarina Is Sarjoko merupakan novel yang di dalamnya
ditemukan keistimewaan-keistimewaan yang memberikan ciri khas. Keistimewaan
dalam novel Wewadi Alas Pejaten ini adalah peristiwa- peristiwa pembalakan
yang merambat dari bagian awal hingga akhir cerita. Struktur
dalam novel Wewadi Alas Pejaten menyuguhkan unsur- unsur pembangun strukur
cerita melalui alur (plot), tokoh dan penokohan, dan latar serta amanat cerita.
Selain unsur intrinsik tersebut, juga
terdapat unsur-unsur ekstirinsik
dan rentetan permasalahan-permasalahanyang terus berkembang. Rentetan
permasalahan yang sedemikian rupa membuat cerita dalam novel ini menjadi
menarik untuk diteliti. Permasalahan diawali dengan kisah pembalakan liar oleh
Budi Angkoro kemudian merembet pada kepada Prabowo saat
menjalankan kewajibannya sebagai
polisi dan seterusnya.
Berdasarkan uraian
tersebut, novel ini akan dikaji dari unsur-unsur struktur
cerita akan mengupas peristiwa-peristiwa pembalakan melalui alur, tokoh
penokohan dan latar serta amanat ceritanya akan terasa menarik. Pengkajian ini
dilakukan sebab dari analisis tersebut
terungkap fakta-fakta yang
menarik serta dapat dilihat seberapa besarnya keistimewaan dalam novel
Wewadi Alas Pejaten karya C. Is
Sarjoko ini.
Latar yang
terdapat dalam novel
ini adalah latar tempat, latar waktu dan . Berikut adalah salah
satu kutipan yang
menunjukan latar tempat dalam novel ini.
“Budi Angkoro mono wiwit cilik omahe ya kono kuwi. Desane Kedung Jati,
Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Dohe saka alas jati sing
jembare atusan hektar iku mung kira- kira rong atusan meter. Mula ya ora mokal
yen wiwit cilik sabane , dolane, ya neng alas jati kuwi ngiras golek rencek
kanggo masak mbokne...”(WAP Halaman 6)
“Budi
Angkoro dari kecil merupakan warga dari Desa Kedung Jati, Kecamatan Gubuk,
Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak
tempuh antara rumahnya ke hutan
jati diperkirakan sekitar
dua ratus meteran. Maka dari itu
tidak heran kalau dari kecil dia sering bermain disitu. Ya di alas jati itu dia
mencari kayu kering untuk memasak ibunya.”
Kutipan
di atas menjelaskan tentang latar tempat secara detail dari daerah asal Budi
Angkoro. Hutan jati
tempat kejadian pembalakan juga
disebutkan dalam kutipan di atas. Tempat tersebut berada di Desa Kedung Jati,
Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak tempuh antara
rumahnya ke hutan jati diperkirakan sekitar dua ratus meteran.
Latar
waktu dalam novel ini antara lain waktu Budi Angkoro masih kecil hingga Budi
Angkoro dewasa dan menjadi seorang bapak. Budi Angkoro hidup di jaman yang sudah
termasuk moderen karena dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sudah menampilkan adanya gergaji mesin dan pistol yang dipergunakan dalam
cerita sebagai barang masa kini. Adanya bandara menjunjukan latar waktu yang
sudah maju yaitu di jaman sekarang ini. Berikut adalah salah satu kutipan yang
menunjukan latar waktu dalam novel ini.
“Polisi
wis tekan bandara Ahmad Yani. Jadwal pesawat Garuda iku take off jam 17.00 mangka
wektu wis nuduhake jam 14.30 kanyata Kolonel Jatmiko lan Kolonel Wicaksono wis
ngerikake anak buahe kanthi sesidheman tumuju bandhara Ahmad Yani Semarang.”
(WAP halaman 36)
“Polisi sudah sampai di Bandara Ahmad Yani. Jadwal pesawat Garuda itu take off
pukul 17.00 lalu waktu sudah menunjukan pukul 14.30 kenyataannya Kolonel
Jatmiko dan Kolonel Wicaksono sudah menyiapkan anak buahnya menuju Bandara
Ahmad Yani Semarang.”
Kutipan
di atas menunjukan bahwa cerita ini berada pada jaman moderen karena sudah ada angkutan umum
berupa pesawat terbang. Adanya
bandara dan pesawat menunjukan bahwa latar waktu yang belum terlalu lama.
Tata
cara kehidupan sosial dalam novel ini menggambarkan status sosial yang
rata-rata menengah. Kehidupan Budi Angkoro kecil yang diceritakan mencari
recek untuk bahan
bakan masak ibunya menunjukan bahwa untuk membeli minyak tanahpun dia
tidak mampu sehingga menggunakan dahan-dahan kering untuk bahan bakarnya.
Kehidupan sosial Prananti juga digambarkan sebagai wanita yang tidak dapat
meneruskan pendidikannya dan memilih tinggal di desa kemudian mencari uang
sebagai penari dan berkebun untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya. Itu
ditunjukan dari beberapa peristiwa sebagai berikut:
“Budi Angkoro mono wiwit cilik omahe ya kono kuwi. Desane Kedung Jati,
Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Dohe saka alas jati sing
jembare atusan hektar iku mung kira- kira rong atusan meter. Mula ya ora mokal
yen wiwit cilik sabane , dolane, ya neng alas jati kuwi ngiras golek rencek
kanggo masak mbokne...(WAP halaman 6)”
“Budi
Angkoro dari kecil merupakan warga dari Desa Kedung Jati, Kecamatan Gubuk,
Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak
tempuh antara rumahnya ke hutan
jati diperkirakan sekitar
dua ratus meteran. Maka dari itu
tidak heran kalau dari kecil dia sering bermain disitu. Ya di alas jati itu dia
mencari kayu kering untuk memasak ibunya.”
Kutipan
di atas merupakan gambaran sosial yang cenderung rendah, dikarenakan cara
memasakya saja masih menggunakan kayu sebagai
bahan bakarnya. Kayu
tersebut diperoleh secara gratis, hanya perlu mengais dahan-dahan kering
yang sudah bergeletakan di hutan tersebut.
Setelah
menentukan unsur intrinsik alur, tokoh penokohan dan latar, tahapan selanjutnya
adalah menemukan amanat dalam novel ini. Adapun nilai moral yang terkandung
dalam novel ini yaitu hormat kepada orang tua, berani menyampaikan pendapat,
selalu membela kebenaran, berani dan
bertang-gung jawab, sabar dalam
menghadapi permasalahan apapun itu, mendidik anak dengan sebaik-baiknya
walalupun orang tua tersebut bukan orang baik- baik.
Faktor-Faktor Pembalakan dalam
Novel Wewadi Alas Pejaten Karya C. Is. Sarjoko. Peristiwa pembalakan
yang terjadi dalam Novel Wewadi
Alas Pejaten Karya C. Is.
Sarjoko pastinya memiliki faktor yang melatarbelakanginya. Berikut ini
merupakan kutipan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pembalakan.
a.
Faktor
Keserakahan
“Budi Angkoro
mono, yen atine
dhong wening, jane ya getun yen mentas nyentak-nyentak sing wadon
sing tansah setya
bekti iku. Ngrumangsani uripe
sing lethek, tangane sing wis kelepotan getihe wong sing ora dosa, mung merga
nuruti kamurkaning ati srakah. Pingin urip kepenak lan numpuk
bandha, kanthi tanpa
nyambut gawe sing halal. Budi
Angkoro ngakune laku dagang, bathon karo kancane sing jeneng Candholo. Kerep-
kerepe budhal saka ngomah wayah sore, lungane sok nganti pirang-pirang dhina.
Mangka sejatine, Budi Angkoro mono tetuwane rampong jroning alas jati sing
padha dieringi ing anak buahe.
Dheweke kawentar lan
julig ngatur strategi marang begundhale nganti wis ping pira wae dheweke
digrebeg polisi alas, nanging tansah slamet, lolos saanak buwahe. Kejaba kayu
jati seng tansah diincer, kepepete nggarong ngrampog ing karang padesan sing
adoh karo omahe uga kerep ditindakke.
Tekan wektu iku,
pakaryan mau mulus, nganti bojo lan anake wae ora padha ngerti, pakaryan
apa sing ditindakke. (WAP halaman 2-3)”
“Budi
Angkoro itu, kalau hatinya kadang sedih, kalau habis memarahi istrinya yang
berbakti itu. Sadar diri hidupnya yang hina, tangannya yang sudah berlumuran
darah orang yang tidak berdosa, hanya karena menuruti keinginan hatinya yang
serakah. Ingin hidup enak dan menumpuk harta, dengan cara bekerja yang tidak
halal. Budi Angkoro mengakunya berdagang, dengan temanya Candholo.
Sering-
sering pergi dari rumah sore hari, perginya kadang sampai beberapa hari.
Padahal sejatinya, Budi Angkoro itu ketua rampok dalam hutan jati yang
diiringi oleh anak
buahnya. Dia terkenal pandai
dalam mengatur strategi kepada anak buahnya sampai sudah beberapakali digrebek
pilisi hutan, tetapi selalu selamat, lolos semua termasuk anak buahnya. Kalau
kayu jati yang dia incar,
terpaksanya dia merampok didesa yang jauh dari rumahnya
sering juga dilakukan. Sampai waktu itu, peristiwa itu berjalan dengan
mulus, sampai istri
dan anaknya tidak mengetahui apa yang dia kerjakan.”
Kutipan di
atas menunjukan faktor keinginan hatinya yang serakah. Budi
Angkoro ingin hidup enak dan kaya tetapi tidak mau menempuh jalan yang halal.
Ingin menumpuk kekayaan tetapi dengan cara yang salah. Merampok, mencuri, serta
melakukan pembalakan adalah cara dia untuk dapat memperoleh harta dengan cepat.
Cara yang haram tersebut dia lakukan dari kecil hingga lanjut usia.
Sikapnya yang kurang
terpuji tersebut merupakan sikap
yang tidak layak untuk ditiru. Tindakan perampokan
sering dilakukan jika dia tidak berhasil membalak kayu dihutan. Target oprasi
pencurian yang dilakukan itu ialah daerah
yang jauh dari
daerah rumahnya.
b.
Faktor
Lingkungan dan Kebutuhan
“Oh…apurane aku, Le.
Bapak pancen wong leletheking jagad
sing ora pantes
tinulad ing anak putu.
Mbokmu lan kowe ora
ngerti, yen aku
seng ngaku bapakmu iki, sejatine wong sing ala lan culika. Anggonku
seneng maling, ngrampok, ngecu kuwi ora mung saiki wae, ning taklakoni wiwit
aku isih jaka. Wiwitane ya mung nyolong kayu jati kuwi cilik- cilikan, ning
wusanane merga srawungku karo wong- wong ala sing seneng keplek, kecek, main
madon, uripku bubrah. Kanggo nyukupi kesenenganku, apa wae sing cepet ngolehake
dhuwit ndaktemah. Kabeh tindak kudu daklakoni, wis ora ana rasa wigah- wigih,”
jlentrehe Budi Angkoro kanthi ukara teges.(WAP halaman 59)”
“Oh..
maafkan aku, Nak. Bapak memang orang yang paling kotor didunia ini tidak pantas
mengajari anak lan cucu. Ibumu dan kamu tidak tahu, kalau aku yang mengaku
bapakmu ini, sebenarnya orang yang jahat dan licik. Kebiasaanku suka mencuri,
merampok, itu semua tidak hanya sekarang saja, tetapi aku lakukan dari masih
perjaka. Awalnya ya Cuma mencuri kayu jati itu secara kecil-kecilan, lalu
karena aku bermain dengan orang-orang yang jahat dan gemar main kartu, main
perempuan, hidupku hancur. Untuk mencukupi hobiku, apa saja yang cepat
menghasilkan uang aku jalani. Semua tindakan harus aku lakukan, sudah tidak ada
rasa tidak enak,” kata Budi Angkoro dengan tegas.
Kutipan
di atas menunjukan bahwa Budi Angkoro melakukan pencurian, perampokan itu dari
dia masih hidup sendiri. Keadaan lingkungan pergaulan yang membuatnya berani
melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Selain itu, pada dasarnya
Budi Angkoro sudah memiliki bakat
untuk menjadi pencuri, awal dia
mencuri secara kecil-kecilan dia melakukannya sendiri. Setelah
sering bermain dengan orang
yang gemar bermain
kartu, keplek, main perempuan dan orang-orang jahat lainnya, Budi
Angkoro menjadi berani melakukan perampokan dan pembalakan secara besar-besaran
untuk mencukupi kebutuhan hobinya tersebut. apapun yang menghasilkan uang secara
cepat, dia akan lakukan. Bahkan
jika dengan membunuh orang dia bisa mendapatkan uang, itu pasti sudah ia
lakukan secara berulang-ulang. Tanpa
rasa takut dan was-was dia hanya memikirkan ingin
mendapatkan uang secara cepat dan mudah tanpa bekerja keras meskipun hasil uang
tersebut bukanlah uang halal. Lingkungan tempat tinggal serta lingkungan
pergaulan merupakan faktor utama dalam pembentukn karakter seseorang. Lingkungan
yang baik, akan menciptakan manusia yang baik juga. Sedangkan lingkungan
penjahat, pasti akan menghasilkan pencuri, perampok serta pembunuh.
c.
Faktor
Dendam
“Komandhan anyar Dibyo
sing limpat iku tanggap, grumbul sing
obah-obah iku disasak nganggo tembakan pistol. Salah
sijine timah panas saka pistol nyata mampir nyrempet ing lengene Budi Angkoro
sing banjur tembus. Budi Angkoro wis apal banget kahanan jroning alas jati kono
sing polisi alas dhewe ora mangeteni. Lumrah yen wong sing awatak culika mono
mesthi sugih akal lan cara. Ya ing guwa iku Budi Angkoro bisa ngaso lan
ngrasakake larane. Atine mangkel lan ngigit-igit banget marang komandhan Dibyo
sing wis njugarake rencanane lan gawe tatu awake. Niyate males embuh kapan,
ning kekarepan kuwi pinatri ing atine. Batine, utang lara kudu nyaur lara,
syukur bisa nganaki nganti atine krasa marem. “Awas kowe Dibyo” ngono
grenengane. (WAP halaman 3-4)”
“Komandan
Baru Dibyo itu cekatan, semak yang bergoyang-goyang itu ditembakterus menerus
menggunakan senapan api. Salah satu timah panasnya menembus lengan dari Budi
Angkoro. Budi Angkoro lalu merangkak menuju gua kecil yang berada dalam alas
itu. Budi Angkoro sudah sangat
hafal tentang lokasi- lokasi dari hutan tersebut yang
bahkan polisi hutan saja tidak mengetahuinya. Sudah menjadi hal yang wajar
kalau orang yang memiliki watak curang itu
pastilah banyak akal dan cara. Ya didalam gua itu Budi Angkoro dapat
istirahat dan merasakan sakitnya.
Hatinya marah dan lainnya, Budi Angkoro menjadi berani
melakukan perampokan dan pembalakan secara besar-besaran untuk mencukupi
kebutuhan hobinya tersebut. apapun yang menghasilkan uang secara
cepat, dia akan lakukan. Bahkan
jika dengan membunuh orang dia bisa mendapatkan uang, itu pasti sudah ia
lakukan secara berulang-ulang.
Tanpa rasa
takut dan was-was dia hanya
memikirkan ingin mendapatkan uang secara cepat dan mudah tanpa bekerja keras
meskipun hasil uang tersebut bukanlah uang halal. Lingkungan tempat tinggal
serta lingkungan pergaulan merupakan faktor utama dalam pembentukn karakter
seseorang. Lingkungan yang baik, akan menciptakan manusia yang baik juga.
Sedangkan lingkungan penjahat, pasti akan menghasilkan pencuri, perampok serta
pembunuh.
d.
Faktor
Kesetiakawanan
“Mangka sejatine, Budi
Angkoro mono tetuwane rampong jroning alas jati sing padha dieringi ing anak
buahe. Dheweke kawentar lan julig ngatur strategi marang begundhale nganti wis
ping pira wae dheweke digrebeg polisi alas, nanging tansah slamet, lolos saanak
buwahe. (WAP halaman 3)”
“Padahal sejatinya,
Budi Angkoro itu ketua
rampok dalam hutan
jati yang diiringi oleh anak buahnya. Dia terkenal
pandai dalam mengatur strategi kepada anak buahnya sampai sudah beberapakali
digrebek pilisi hutan, tetapi selalu selamat, lolos semua termasuk anak
buahnya.”
Teman-teman dari
Budi Angkoro mengetahui
bakat Budi Angkoro yang
pandai mengatur strategi dan pandai mengatur kawanannya. Setiap
perampokan yang digagas Budi Angkoro selalu berhasil dan jarang gagal. Sebab
itu Budi Angkoro dipilih dan dijadikan ketua rampok oleh para teman-temannya.
Teman-temannya yang setia menjadi anak buahnnya sangat tunduk dan selalu
menurut perintah dari Budi Agkoro, sikap-sikap seperti itu merupakan faktor
pendukung tindakan nyata dari para teman kepada Budi Angkoro.
e.
Faktor
Tempat/Geografis/Letak
“Budi Angkoro mono wiwit cilik omahe ya kono kuwi. Desane Kedung Jati,
Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Dohe saka alas jati sing
jembare atusan hektar iku mung kira- kira rong atusan meter. Mula ya ora mokal
yen wiwit cilik sabane , dolane, ya neng alas jati kuwi ngiras golek rencek
kanggo masak mbokne... (WAP halaman 6)”
“Budi Angkoro
dari kecil merupakan warga dari Desa Kedung Jati,
Kecamatan Gubuk, Kabupaten Grobokan, Daerah Semarang. Jarak tempuh antara rumahnya ke hutan jati
diperkirakan sekitar dua
ratus meteran. Maka dari itu tidak heran kalau dari kecil dia sering
bermain disitu. Ya di alas jati itu dia mencari kayu kering untuk memasak
ibunya.”
Cuplikan
di atas menunjukan bahwa antara rumah Budi Angkoro dan Hutan jati hanya berjarak
dua ratus meter.
Merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Budi Agkoro berani
melakukan pencurian kayu, karena hafal secara detail tentang seluk beluk dari hutan tersebut
membuat Budi Angkoro merasa bebas leluasa dapat masuk serta mengambil apapun
yang ada di hutan. Faktor tersebut muncul karena adanya rasa kepemilikan Budi
Angkoro yang merasa bahwa dia besar dan saat kecil bermainnya di hutan
tersebut.
Berikut
ini merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pembalakan antara
lain: faktor keserakahan, lingkungan dan kebutuhan, dendam, setia kawan, tempat
atau geografis/letak. Keserakahan merupakan sifat yang dimiliki manusia, namun
pada Budi Angkoro sifat tersebut terlalu dominan sehingga mendorongnya
untuk melakukan pembalakan. Lingkungan
yang tidak baik serta kebutuhan yang banyak membuatnya melakukan pembalakan.
Dendam
di hati Budi Angkoro membuat dia berani melakukan pembunuhan serta perampokan
di rumah Dibyo. Teman merupakan faktor yang mempengaruhi Budi Angkoro menjadi
ketua perampok dan melakukan pembalakan dimana-mana, karena teman-temannya
memberikan dorongan kepada Budi Angkoro untuk memimpin jalannya Perampokan.
Letak geografis atau tempat yang berdekatan dengan hutan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya pembalakan di hutan jati tersebut.
2) Latar
Belakang Pengarang
Wewadi
Alas Pejaten karya Catarina Is Sarjoko merupakan novel yang di dalamnya
ditemukan keistimewaan-keistimewaan yang memberikan ciri khas. Keistimewaan
dalam novel Wewadi Alas Pejaten ini adalah peristiwa- peristiwa pembalakan
yang merambat dari bagian awal hingga akhir cerita.
Struktur dalam novel Wewadi Alas Pejaten menyuguhkan unsur- unsur pembangun
strukur cerita melalui alur (plot), tokoh dan penokohan, dan latar serta amanat
cerita. Selain unsur intrinsik tersebut, juga
terdapat unsur-unsur ekstirinsik
dan rentetan permasalahan-permasalahanyang terus berkembang. Rentetan
permasalahan yang sedemikian rupa membuat cerita dalam novel ini menjadi
menarik untuk diteliti. Permasalahan diawali dengan kisah pembalakan liar oleh
Budi Angkoro kemudian merembet pada kepada Prabowo saat
menjalankan kewajibannya sebagai
polisi dan seterusnya.
2.1.
Ideologi
Catarina
Is Sarjoko adalah seorang penulis novel maupun karya sastra lainnya. Dia
mendapatkan penghargaan dari Yayasan Sastra Yogya (Yasayo) sebagai novelis bahasa
jawa. Catarina Is Sarjoko, seorang Perempuan kelahiran Sleman, 25
November 1939 ini banyak menulis cerita cekak (cerita
pendek) yang dimuat di berbagai majalah Jawa, seperti Joko
Lodang dan Penyebar Semangat. Selain menulis
cerita cerkak, Catarina juga menulis beberapa novel berbahasa Jawa,
seperti Wewadi Alas Pejaten (2012), Kumpulan Cerita
Cekak (2012), dan Ketemu Suwaraning Daging (2013).
2.2
Lingkungan kehidupan pengarang
Pengarang
mengambil judul ini kemungkinan mengetahui secara langsung bagaimana
orang-orang membalak hutan secara ilegal dan besar-besaran. Sehingga penulis
mengangkat cerita tersebut menjadi hal yang menonjol dalam novel ini.
3) Pesan/amanat
tentang novel wewadi alas pejaten
·
Jagalah lingkungan kita dengan tidak
menebang hutan secara liar.
·
Tanamlah kembali pohon yang telah
ditebang supaya suhu udara tetap stabil.
·
Janganlah mempunyai sifat serakah
Sumber
:
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete